4. COMMENT

418 52 5
                                    

Plan bangun pada malam harinya. Ia sangat kaget mendapati Mean amsih dengan seragamnya tengah memeluknya dan sang lelaki tengah tidur dengan lelapnya.

Plan bergeser pelan, melepaskan dirinya dari pelukan Mean dan meskipun lemah, ia menuruni ranjang dan berjalan perlahan keluar kamarnya. Ia bertanya kepada sang pelayan dan pelayan menjelaskannya dan kini ia paham mengapa Mean Da di dalam kamarnya.

Plan berjalan keluar rumahnya. Saat ditanya pelayan, ia bilang bahwa ia ingin ke rumah pohon, tempatnya kala ia sedih dan merasa sendirian. Ia berjalan ke rumah pohon, menaikinya dan tidur di sana.

Mean bangun tak lama setelah Plan berjalan menuju rumah pohon. Ia langsung keluar dan bertanya kepada sang pelayan tentang keberadaan Plan dan bergegas menuju rumah pohon dengan sang pelayan.

Sang pelayan kembali pulang. Sementara Mean menaiki pohon dan membuka pintu yang ukurannya sangat pas dengan tubuhnya. Ia melihat Plan tergeletak di sana dengan selimut tipis dan memeluk sebuah foto dengan mata terpejam.

"Plaan, hei," lirih Mean membelai kepala Plan. Plan membuka matanya. Ia menatap Mean dengan lemah.

"Aku belum siap berdebat denganmu. Nanti kalau sudah sehat, aku akan melayanimu," lirih Plan dan ia kembali memejamkan matanya.

Mean kaget dan ia tergelak.

"Aku datang bukan untuk berdebat," sahut Mean lagi dengan lembut.

"Kalau tugas, simpan saja di atas meja. Nanti aku mengerjakannya. Jangan ganggu! Aku ingin tidur!" nadanya semakin lemah.

"Uhm," gumam Mean.

Ia merebah di sisi Plan dan kemudian menarik Plan lagi ke pelukannya dan memeluknya erat dan mereka kembali tidur sampai keesokan harinya.

Plan duduk di bawah pohon. Ia bersender pada batang pohon dengan syal menyelimuti tubuhnya. Matahari bersinar tenang dan memberi kehangatan pada tubuh Plan. Mean bangun dan melihat Plan di bawah lalu berjalan mendekatinya dan duduk di sebelahnya.

"Kau seharusnya pergi ke sekolah," ujar Plan. Suaranya lebih baik sekarang. Setidaknya tidak lemah seperti semalam.

"Kau sudah sarapan?" tanya Mean, mengabaikan yang dikatakan Plan baru saja.

"Aku menunggu staf pelayan mengantarkan. Sebentar lagi, mungkin sedang di jalan sekarang," sahut Plan melirik pada jam tangan Mean.

"Uhm," gumam Mean.

Ia menatap Plan yang memejamkan matanya, membiarkan wajahnya disinari matahari yang membuat nyaman dirinya.

"Sebenarnya kau sakit apa?" tubuhmu menggigil semalam. Kenapa tak ke dokter? Kenapa tak ada yang merawatmu?" Mean menyerang Plan dengan pertanyaan.

"Kau cerewet! Kepalaku pusing," sahut Plan sambil membuka matanya sejenak lalu kembali memejam.

Mereka diam dan tak lama berselang, beberapa pelayan datang membawa banyak makanan.

"Makanlah dulu, setelah itu, kau pergi ke sekolah. Masih bisa mengejar pelajaran kedua," ujar Plan. Ia mengambil napkin dan memberikannta satu kepada Mean dan satu dipasangkan pada dirinya. Lalu ia mengambil semua sayuran yang ada di piring Mean dan mengganti dengan dagingnya.

"Pelayanku tak tahu kau tak suka sayuran. Makanlah!" ujar Plan lagi sambil memberikan piringnya kepada Mean.

"Kau ingat ini dengan baik," sahut Mean terharu, lalu ia mengambil piringnya.

"Ada alasan kenapa aku di kelas akselerasi, Mean," ujar Plan dan mulai menyantap makanannya.

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa tak ke dokter?" tanya Mean.

Track 6 Mean and Plan Short Stories CollectionsHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin