36: TERSENYUM (REVISI)

69 10 45
                                    

Ethan memasuki ruang rawat Nisa. Yang ia lihat adalah Nisa yang sedang tertidur dengan Daniel yang tengah memainkan ponselnya.

"Lo ke toilet apa ke pasar pagi sih?" Tanya Daniel kala Ethan mendudukan dirinya di sofa. Tidak mengindahkan pertanyaan Daniel, Ethan malah lantas memejamkan matanya. Ingin rasanya Daniel menempeleng kepala sahabat es nya itu.

Perlahan Nisa membuka matanya. Daniel yang masih jengkel dengan Ethan pun tidak menyadarinya.

Masih dengan mata yang terpejam, Ethan menghela nafasnya pelan. "El meninggal." Ucap Ethan pada akhrinya. Nisa yang sudah bangun pun mendengar itu langsung menatap ke arah si pembicara. Begitu juga Daniel yang langsung membulatkan matanya.

"Apa?"

"Nisa." Mata Ethan terbuka sempurna. Ia kira Nisa belum bangun, makanya dengan santainya ia mengatakan seperti itu. Daniel lantas memicingkan matanya takut dengan reaksi Nisa. Daniel dan Ethan takut Nisa semakin terpuruk.

Nisa tersenyum ke arah Ethan. "Gak usah bercanda, Than. Es es gini, ternyata lo juga suka bercanda ya." Kata Nisa sambil terkekeh diujung kalimat. Melihat reaksi Nisa seperti itu, bukan malah membuat Daniel juga Ethan lega, namun malah membuat mereka semakin khawatir.

Ethan pun menghampiri Nisa, mau tak mau ia harus memberitahukannya. Ia tak mau Nisa semakin bertambah sakit. "Nisa, El kecelakaan. Dia udah meninggal." Ucap Ethan mencoba memberi pengertian.

Nisa nampak menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskannya bersamaan dengan senyum manis yang ia keluarkan. "Gak usah ngarang Than, gue gak akan ke tipu sama prank dari kalian." Lagi-lagi Nisa terkekeh di ujung kalimat. Mulutnya memang tersenyum, tapi Ethan dapat melihat aura ketakutan dari matanya. Mata itu jendela hati, ia tak bisa berbohong.

"El kecelakaan, Sa. Ini bukan prank, gue gak bohong."

Mendengar itu, Nisa pun bangkit untuk duduk. "Gue yakin dia gak kenapa-napa, bentar lagi El pasti ke sini." Katanya mencoba untuk tenang.

"Nisa, please. Lo jangan senyum kaya gitu, kalo mau nangis ya nangis aja. Gue tau hati lo makin sakit, tolong jangan dipendem." Ucap Daniel yang kesal melihat senyum Nisa yang nampak dipaksakan.

Namun Nisa masih tetap tersenyum. "Gue ga pengen nangis kok." Mulut berkata demikian, namun matanya sudah mulai berkaca-kaca. Percayalah, menahan tangis dan rasa sesak dengan menggantikannya dengan senyuman sangatlah sulit. "Gue yakin bentar lagi El dateng, dia pasti seneng liat gue udah sadar." Sambungnya lagi dengan suara yang sedikit bergetar.

"Nisa, plis jangan dipendem. Nangis aja." Kata Ethan dengan lembut sambil mengusap kepala Nisa pelan. Namun Nisa enggan dan malah menggelengkan kepalanya.

"Engga, El udah janji kalo gue sembuh bakal ajak gue liat senja. El gak mungkin ingkar janji."

"El gak mungkin ninggalin gue, dia sayang sama gue."

"El gak mungkin biarin gue sendiri. El b-bakal selalu ada buat gue. Gue bakal nungguin dia datang ke sini."

"D-dia pasti dateng bentar lagi kan? El sayang sama- hiks." Akhirnya pertahanan Nisa runtuh juga.

Hiks

"E-elang, k-kamu pasti -hiks -kamu pasti kesini kan? Hiks k-kamu bentar lagi pasti sampe."

Hiks

Ceklek

"Ayu, El bentar l-lagi sampe kan?"

Hiks

Ayu, Tata, Chalista dan Yessa yang baru masuk pun lantas menahan air matanya kuat-kuat agar tak terjatuh dihadapan Nisa. Mereka harus bisa kuat dan menguatkan Nisa.

"Sa, ikhlas ya?" Pinta Yessa sambil mengusap punggung tangan Nisa. Nisa menggeleng kuat sebagai jawaban.

Hiks

"Ikhlas apa? Semuanya baik-baik aja. Gak harus ada yang diikhlasin."

Hiks

"Nisa, biarin El pergi dengan tenang."

"ENGGAK!" Teriak Nisa. "DIA PASTI DATANG KE SINI! DIA MASIH HIDUP!"

"Hey, Nisa. Tenang, Sa."

Hiks

"Gue mau ketemu El!"

"Dia mungkin ada di sini Nisa, dia pasti seneng liat lo udah sadar dari koma."

Hiks

"Enggak! El gak boleh pergi! Daffi udah pergi! Bunda gak ada! Masa El juga mau ninggalin gue!"

Hiks

"KENAPA SEMUANYA PERGI NINGGALIN NISA?! TUHAN, KENAPA?! Ya Allah."

Hiks

"B-bunda kemana? Bunda udah gak sayang Nisa lagi ya?"

Ethan, Daniel, Ayu, Tata, Yessa juga Chalista membuang pandang tanpa menoleh ke arah Nisa yang sudah nampak putus asa. Mereka menengadahkan wajahnya agar air mata tak terjun di pipinya.

Ethan menghela nafasnya pelan. "Bunda lo sayang banget sama lo, Nisa."

"Sayang?! Tapi kemana Bunda?! Kenapa dia gak ada di sini, Than?!"

Hiks

"PERGI! KALIAN SEMUA PERGI! GUE MAU SENDIRI!" Teriak Nisa dengan tangisannya.

"Nisa-" Chalista hendak menenangkan Nisa, namun Ethan mengintruksikan semuanya untuk keluar dari ruangan tersebut memberikan Nisa waktu untuk sendiri menenangkan pikirannya.

Akhirnya tinggalah Nisa sendiri di ruangan tersebut. Rasa sesak yang tak terkira membuat dadanya bertambah nyeri. Luka lama belum sembuh, namun Tuhan menambahkannya luka yang baru lagi.

"Perlahan, semua orang yang gue sayang pergi ninggalin gue."

Hiks

"Apa gue ini orang pembawa sial?"

Hiks

"Ayah."

"Bunda."

"Daffi."

"El."

Hiks

"Kenapa kalian ninggalin aku di sini sendiri? Aku takut."

"A-aku takut ditangkep dan disiksa s-sama orang-orang jahat itu lagi. M-mereka menakutkan. M-mereka jahat!" Rasa pedih di kaki juga perut bahkan semua anggota tubuh Nisa bersahut-sahutan menghujamnya tanpa ampun.

Hiks

"A-aku pingin ikut kalian. A-aku gak mau di sini."

Hiks

"D-disini sangat mengerikan. Hiks - Bunda... Nisa pingin ikut ke sana. I-ini sakit, Bunda."

"A-ayah, putri k-kecil Ayah kesakitan. P-putri kecil Ayah p-pingin - hiks- pingin bebas." Nisa pun mencabut infus yang menancap di tangannya dengan kasar. Darah pun keluar dan mengotori selimut rumah sakit tersebut.

"Aw, sakit." Ringis Nisa. Ia pun meraih pisau buah yang berada di nakas samping brankarnya.

Nisa tersenyum getir. "Nisa mau i-ikut Ayah sama Bunda."

...

Jangan lupa vote dan komen ya :)
Makasi😘

NISAWhere stories live. Discover now