30th Day

584 121 76
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Dalam tahap awal kehilangan, tidak ada fase lain yang sepopuler penyangkalan.

📷📷📷

Pulasan sembab masih menggulung manja di wajah Adis. Meski senyumnya terulas tipis, tidak sedikit pun kesedihan yang menggelayut dapat tertutupi. Adis mengulurkan helm yang baru dilepasnya, membuat Jati yang berdiri di depannya menyambut benda itu.

Sudah pukul delapan lebih dan mereka baru sampai di depan indekos Adis. Kenyataan yang baru saja didengar semesta dari mulut Jati membuat mereka berdiam di Landasan Pacu Depok untuk waktu yang cukup lama. Adis terus menangis. Bahkan, di jalan pun sesekali pegangannya pada sisi jaket parka Jati mengerat, menyalurkan kesedihan yang dibarengi turunnya air mata.

"Masuk, Adisa. Saya tahu ini sulit, tapi jangan terlalu dipikirkan dan berakhir mengganggu aktivitas kamu. Sekali lagi, saya minta maaf," kata Jati memecah hening.

Suara itu tidak bersambut. Adis hanya memandangi ujung sepatu putihnya yang sudah ditempeli ribuan butir debu. Sambil memainkan ujung kaki, tundukan gadis itu semakin dalam dan tidak butuh waktu lama tangannya terangkat, menyembunyikan wajahnya di sana.

"Hei."

Adis merasakan gerakan di depannya saat isakan halus tidak bisa lagi dia tahan. Sungguh, segalanya terasa sangat menyakitkan. Realitas seperti ini tidak pernah sekali pun terlintas di kepala. Maka, kala kakinya tidak mampu menopang segala sesak yang ada, tubuh Adis meluruh. Dia berjongkok dan tanpa bisa ditahan mulai mengeraskan isakan.

"A-aku nggak tahu harus gimana," gumamnya patah-patah. "Bilang ini cuma mimpi, Kak."

Tidak ada sepatah pun kata yang menyahut, membiarkan Adis bergeming dalam rintihnya. Gadis itu membenamkan wajah di antara lututnya yang tertekuk.

Namun, tidak lama dari itu, pundaknya merasakan rengkuhan yang menuntunnya untuk kembali berdiri. Bersama badannya yang menegak, orang yang sama menarik kedua tangan Adis, membebaskan wajahnya dari gelap yang mengungkung.

Adis merapatkan bibir, memandang Jati yang kini menyejajarkan tinggi mereka. Netra mereka bertemu, dengan bola mata Jati bergerilya seperti mengabsen apa pun yang terlukis di wajah Adis.

"Kak ...."

Begitu saja, tatapan Jati berhenti di satu titik: mata Adis yang memerah. Lalu, dengan mantap, Jati merengkuh tubuh Adis ke dalam pelukannya. Membiarkan gadis itu membuncahkan sisa kesedihan yang entah masih sebanyak apa.

"Kak ...."

"Iya, saya tahu. Nangis dulu, nggak apa."

Bersama kalimat itu, sedu sedan Adis semakin mengeras. Tangannya terangkat membalas pelukan Jati dengan erat. Remasannya di punggung pria itu semakin menjadi saat segala kenyataan kembali menghampiri, mengingatkannya bahwa Radit telah tiada.

Day With Yesterday [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang