13th Day

808 170 278
                                    


Katamu, aku yang seperti ini saja sudah cukup

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Katamu, aku yang seperti ini saja sudah cukup. Namun, apakah dunia setuju bahwa kita yang seperti ini saja juga cukup untuk bersama?

📷📷📷

Seusai berpisah dengan Fau setelah kelas tadi, Adis duduk di salah satu kursis kayu yang ada di koridor gedung kuliah Manajemen. Sambil menyumpal telinga dengan earphone, mata bulatnya menjelajah, mengikuti barisan kalimat yang memuat topik interpolation and extrapolation dalam buku cetak Introduction to Mathematics for Economics di tangannya. Di tangan kanan, pensil 2B tergenggam, sesekali menggoreskan warna keabuan di buku tersebut.

Sesekali, bibir Adis mencebik diikuti kerutan samar di dahi, ketika tidak kunjung menemukan variabel dalam rentang data yang tersedia. Dia menggerutu. Seingatnya, Mas Haryo—dosen mata kuliah tersebut—berhasil membuatnya paham di kelas tadi. Mengapa sekarang pemahamannya menguap saat menemui satu soal berbasis study case ini?

Kursi panjang yang didukinya bergerak sedikit, menandakan ada beban lain yang harus ditopang. Adis menoleh, dengan kerutan yang belum pudar. Lalu, ketika dia sadar bahwa Prasaji-lah yang kini duduk di sampingnya, gadis itu tersenyum lebar.

"Serius sekali, ya, Pra, sampai nggak lihat saya datang?" Prasaji melemparkan tatapan jail, dengan senyum hangat yang tak pernah tanggal.

"Serius aja nggak masuk-masuk, Kak. Apalagi nggak serius," jawab Adis sambil meniup poninya, lalu menggaruk kening dengan pensil di tangan. Kini, wajah itu cemberut.

Prasaji tergelak. Tidak habis pikir dengan perubahan ekspresi di wajah Adis yang begitu cepat, seolah setiap ekspresi dimiliki oleh jiwa yang berbeda, saking kontrasnya.

"Ish. Kakak kok malah ketawa?" rajuk gadis itu.

"Sori, sori." Prasaji menetralkan tawa. "Kamu serius baca buku, mereka serius lihatin kamu." Pria yang sedang menghadap Adis itu menunjuk ke belakang dengan ekor mata, membuat Adis mengikuti arahannya.

Ketika melakukan hal itu, Adis menangkap basah seorang pria di kursi kayu berjarak lima meter di belakang Prasaji sedang curi pandang ke arahnya, yang kemudian langsung mengalihkan pandangan. Lalu, tatapannya jatuh pada mahasiswa berkemeja kotak-kotak yang berjalan searah dengan keberadaannya. Pria itu juga menjatuhkan tatap ke arah Adis.

"Udah, biarin mereka lihatin kamu. Asal kamu lihatnya ke sini aja, udah cukup, kok."

Mendengar kalimat itu, Adis menoleh dan menemui Prasaji yang tengah menatapnya dengan sorot jahil. Lalu, sebelah matanya mengedip untuk menggoda. Adis mereponsnya dengan mengerjapkan mata beberapa kali. "Kakak nyeremin!" Kelewat manis soalnya. Serem buat gula darah, lanjut Adis dalam hati.

Seperti biasa, Prasaji hanya tergelak, membuat Adis sulit memalingkan wajah dari sana. Senyum Prasaji itu tidak membosankan, Adis betah berlama-lama menikmatinya. Apalagi senyum dan tawanya selalu dihiasi lesung pipi dan didukung warna kulit sawo matang. Sungguh perpaduan yang sangat indah.

Day With Yesterday [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang