1st Day

3.8K 420 720
                                    


Seribu kali pun menjumpai perpisahan, tidak ada manusia yang bisa terbiasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seribu kali pun menjumpai perpisahan, tidak ada manusia yang bisa terbiasa.

📷📷📷

Untuk pengalaman pertama berkelana di rimba, bukan realitas seperti ini yang ada di bayangan Adis. Tidak sekali pun ia berpikir bahwa ketenanganlah yang paling banyak ia dapatkan. Tanpa sadar, Adis tersenyum. Mungkin perasaan seperti ini yang dirasakan Radit, sampai-sampai pria itu rela mengulangi penat untuk kembali menjelajah gunung.

Pandangan Adis memutar. Objek terdekat dari jangkaunnya hanya pohon-pohon rimbun, juga puluhan pendaki yang berlalu-lalang, turun maupun bergegas menuju puncak Gunung Salak. Bak semut-semut yang selalu bersalaman saat berpapasan dengan sesamanya, para pendaki pun demikian. Saling melempar senyum, menebar keramahan meski tidak saling mengenal. Menghangatkan suhu yang berada di angka sepuluh derajat celsius.

Pantas jika Radit menyukai tempat ini. Semua tentang gunung tampak serasi dengan kepribadian lelaki itu. Dingin dan hangat dalam satu waktu. Kokoh dan kesepian di sisi lainnya.

Tanpa sadar, satu bulir bening meluruh, membasahi pipi Adis yang sudah pias diterpa dinginnya udara gunung. Satu karena sebuah hal di belakang, satu lagi karena ia akan mengulang hal serupa mulai sekarang. Apa itu? Tentu saja, perpisahan. Hal yang tidak pernah disukai Adis.

Terakhir kali menemui kata perpisahan, seluruh sesak bergumul di dadanya. Sampai sekarang pun rasanya masih tetap menyakitkan. Perpisahan tanpa selamat tinggal, tanpa doa dan janji agar kelak bertemu kembali. Kini, saat sakit itu belum sepenuhnya hilang, Adis harus merasakannya lagi. Berpisah dengan sahabat-sahabat yang selalu bersamanya. Meski kali ini, ada segunung doa dan ikrar untuk tetap mengingat dan kembali bersua di kemudian hari, tetapi kesenduan tidak juga menjauh dari dirinya. Ah, dengan atau tanpa kata, perpisahan tetap sama menyesakkan.

"Astaga, Dek. Kenapa, sih, lo?"

Di balik pandangan yang mengabur, Adis melihat Bas berjongkok di depannya. Tangan pemuda itu menggenggam sebotol air mineral berukuran 750 mililiter. Bukan cemas yang tergambar di wajah Bas, tetapi kekesalan yang tidak susah-susah disembunyikan. Memang ekspresi anti mainstream bagi seorang kakak yang melihat adiknya menangis.

Adis memusatkan pandangan ke arah Bas. Seperti sudah memprediksi, Bas menghela napas lelah saat sedetik kemudian mendapati Adis mengencangkan tangisannya. Bahkan, kini suara rengekan terdengar jelas di telinga.

"Bang, masa aku pisah sama Imel? Nanti yang nyeberangin aku di Jogja siapa?" rengek Adis di tengah tangis. Membuat keempat sahabatnya mendekat dengan gerakan malas, mengerubungi gadis itu.

"Astagfirullah temen gue gini banget, sih?" Imel menyahut. Suaranya terdengar heran dan kehabisan akal.

Sambil mengusap air mata dan tanpa memperhatikan respons Imel, Adis melayangkan tatapan memohon. "Mel, kamu ke Jogja aja, ya, bareng aku?"

Day With Yesterday [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang