PROLOG : HOME (?)

251 13 0
                                    

Mendengar kisahku mungkin adalah salah satu cara dirimu menyembuhkan diri, dengan terus membandingkan seberapa dalam kesedihan yang menetap dalam pelupuk matamu, dengan duka yang terus menghantamku, lalu dengan air mata yang merebak, kau mulai men...

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Mendengar kisahku mungkin adalah salah satu cara dirimu menyembuhkan diri, dengan terus membandingkan seberapa dalam kesedihan yang menetap dalam pelupuk matamu, dengan duka yang terus menghantamku, lalu dengan air mata yang merebak, kau mulai menerka-nerka ada duka apalagi yang akan kau lihat. Kemudian kau merasa bahwa akulah yang paling menderita. Namun, penderitaan mana yang lebih menyakitkan daripada rumah yang semula tidak aku yakini rumah, sekarang benar-benar bukan rumahku?

Satu minggu yang lalu aku kembali ke Korea, bujukan Jimin berhasil membuatku memantapkan diri untuk memesan tiket pulang. Aku sendiri bahkan tidak tahu apa arti kata pulang, seperti asing dan membuatku terus-terusan mempertanyakan apa itu pulang.

Aku membahas naskah baruku, memperbaiki beberapa hal yang memang harus dilakukan secara langsung di kantor Jimin. Royalti sudah beres semua, tinggal data pembelian buku yang memang harus selesai dulu, baru uang akan bisa mengalir ke rekeningku. Aku bisa saja meminta Jimin untuk mempercepatnya, tapi aku sadar posisi, aku sudah terlalu banyak membuat masalah di masa lalu, jadi aku tidak akan berpikir untuk macam-macam lagi. Aku akan mengikuti semua prosedur yang ada di sini. Aku juga tidak akan memaksakan apa pun yang memang seharusnya tidak aku dapatkan.

Aku sudah berjanji hanya akan di Korea selama seminggu, lagi pula urusanku sudah selesai, tidak ada yang harus diselesaikan lagi, terlebih juga masa laluku yang aku nyatakan sudah selesai sejak tiga tahun yang lalu.

Sempat aku berpikir bahwa tiga tahun itu lama sekali, aku bahkan sempat berpikir kalau waktunya yang tidak berjalan atau bahkan melamban. Ternyata karena hatiku yang kosong, aku hanya menulis dan menulis sampai tertidur, aktivitas semacam itu seolah menjadi rutinitasku di samping aku sering berjalan-jalan di tepian menara condong. Aku berkali-kali melihatnya memang condong. Dulu aku tidak percaya karena belum melihatnya langsung, tapi sekarang aku sudah beratus-ratus kali duduk di pelataran sana dan berfoto dengan menara miring itu yang memang benar-benar miring.

Jimin sempat memberitahuku perihal anakku, Arkein. Katanya sekarang sudah bisa berlari, bernyanyi, bahkan kemarin sudah bisa mengerjai ayahnya dengan pura-pura terjepit pintu dan membuat ayahnya berlari dari lantai bawah menaiki tangga dengan napas berantakan. Dua minggu sebelumnya katanya Arkein masuk ke dalam kulkas dan ayahnya sangat terkejut karena tidak mau dikeluarkan bahkan setelah merasa kedinginan. Aku tidak tahu mana yang dominan dalam diriku, antara aku ingin kembali, atau aku akan pergi lagi setelah mendengar cerita Jimin.

Aku egois? katanya. Padahal aku sedang berusaha menjaga jarak dengan duri-duri semesta itu. Jimin menyuruhku pulang, bahkan di saat aku tidak memiliki rumah. Rumah mana yang menantiku? sedangkan Jungkook melepasku tanpa menahanku. Aku mana bisa lupa, saat yang lain menangis, Jungkook memilih menghadiri rapat kantor dan absen dari bandara sejak pagi.

Aku berjalan ke sebuah rumah besar di jalan persimpangan antara sebuah gedung agensi dan club & bar. Rumahnya megah, seperti istana kalau dari luar, banyak penjaga dan beberapa maid ada yang sedang menyapu halaman. Ini belum terlalu siang, makanya aku bisa menyaksikan aktivitas sibuk para pekerja di rumah-rumah orang-orang korporat.

Perfect Dandelion ✓Where stories live. Discover now