22. The Greatest Fear

52 4 7
                                    

Rafif dan Amel
❤❤

(Terima kasih buat siapapun yang edit ini hehe)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

(Terima kasih buat siapapun yang edit ini hehe)

🍂🍂🍂







"Uwek... uw--" Rafif buru-buru menutupi mulutnya dengan telapak tangan kirinya, sementara telapak tangan kanannya terangkat ke arahku. Dia memberi tanda agar aku menunggunya yang akan pergi ke toilet.

Aku termenung memikirkan kesehatan laki-laki itu. Dia jadi sering sekali mual-mual, mirip ibu-ibu yang sedang hamil muda. Kedua lututku mendadak lemas, jadi aku berjongkok di bawah lampu besar.

Cahaya temaramnya membentuk bayangan tubuhku. Aku menunduk untuk menuliskan sesuatu di jalan beraspal menggunakan jari telunjukku. Merangkai nama Rafif tanpa tercetak.

"Kok jongkok? ayo bangun, udah malem nih." Rafif telah kembali dari urusan muntah-muntahnya.

Aku mendongakkan kepala, kini cahaya temaram itu tertutup oleh kepala Rafif. Laki-laki itu tersenyum kemudian, lalu mengulurkan kedua tangannya di depanku.

"Lo muntah tadi?" tanyaku.

Rafif mengangguk kecil. "Dikit kok, tau nggak? tadi ice cream yang rasa vanilla itu nggak enak banget, bikin eneg. Mending nanti gue kalau beli yang rasa strawberry aja deh."

"Pembohong." sungutku dengan wajah kesal.

"Siapa pembohong?"

Aku membuang napas kasar seraya melempar pandangan ke arah yang lain, ke mana saja asal jangan melihat kedua mata Rafif.

"Aktris yang jadi bintang iklan ice cream vanilla itu, katanya enak kan, kok malah bikin eneg."

"Iya bener, penipu ya."

Dalam hati aku berseru, penipu itu Rafif. Dia sering berbohong agar aku tidak khawatir, padahal aku tahu apa saja gejala yang akan dihadapi laki-laki itu.

"Ayo pulang Mel, gue izin ke Tante Ani cuma sampe jam sembilan. Bentar lagi jam sembilan." ujarnya sambil menggerak-gerakkan kedua tangannya yang masih terulur ke hadapanku.

"Bentar, kaki gue capek."

Tadi itu aku hanya berbohong, sejujurnya aku hanya sedang berusaha menurunkan kekesalanku. Kesal karena terus dibuat bodoh untuk berpura-pura percaya kalimat Rafif. Namun, cowok itu kini berjongkok membelakangi tubuhku.

Tangan kanannya menepuk-nepuk pundaknya sendiri. Rafif menoleh sekilas ke arahku.

"Naik, gue gendong." katanya.

"Eh nggak usah."

"Udah sini, kapan lagi lo digendong sama gue." Rafif inisiatif menarik lengan kananku dan membawanya menyentuh pundaknya.

Our Time [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang