24. Love Talk

51 5 23
                                    


Benda pipih bernama smartphone di tanganku masih setia kuguncang untuk menimang apakah aku harus menghubungi Langit atau tidak. Sebenarnya aku merasa tidak enak, Langit pasti sibuk. Sebentar lagi dia ada promosi film terbaru bersama rekan-rekannya. Sudahlah, lupakan saja, lagipula sudah ada Mama dan Papa yang datang ke rumah sakit.

Kedua orangtuaku panik saat aku menelfon bahwa Rafif tidak sadarkan diri. Mereka kini tengah berada di ruangan dokter untuk membicarakan keadaan sahabatku. Tadinya aku ingin ikut, tetapi mereka bilang itu khusus orang dewasa.

Rafif masih belum sadarkan diri. Meski aku mencolek-colek pipinya yang tirus, atau menggenggam tangannya. Dia masih setia menutup mata dengan hembusan napas yang teratur.

Pasti dia sangat lelah. Seluruh badannya kesakitan, Rafif harus istirahat. Dokter pun bilang sebelum pamit ke ruangannya kalau Rafif sepertinya akan bangun lama. Prediksi dokter mengatakan paling lambat malam ini.

Aku melihat gelang persahabatan di pergelangan tangannya. Gelang yang aku berikan di malam ulang tahun Salvina. Rafif masih memakainya, itu membuatku merasa sedikit lega.

"Terima kasih banyak, Dok. Tolong lakukan apapun untuk menyembuhkan Rafif."

"Iya, Pak, Bu. Kami pasti melakukan semuanya yang terbaik, sisanya mari serahkan kepada Tuhan."

Mendengar suara obrolan dari Mama dan Dokter, aku beranjak dari kursi di sebelah bangsal Rafif hendak keluar ruangan.

Mama menyambutku dalam pelukannya begitu aku membuka pintu. Dokter yang menangani Rafif pamit kembali untuk bekerja, dan Papa ikut menenangkanku dengan menepuk bahuku lembut.

"Apa kata dokter, Ma?" aku bertanya begitu pelukan kami terlepas.

Mama mengukir senyuman, entah apa maksudnya. Tetapi bukannya menjawab pertanyaanku, Mama malah membahas hal lain.

"Kamu pasti belum makan ya, makan dulu yuk." ajak Mama.

Papa mengangguk, "Sama Papa aja, kita pulang dulu ke rumah. Amel bersih-bersih diri, habis itu kita ke sini lagi."

"Nggak mau, aku mau sama Pipip." rengekku.

"Nak, Rafif sudah baik-baik saja. Tadi dokter bilang anak itu hanya harus beristirahat yang cukup dan melakukan cuci darah secepatnya--"

"Bohong, Pipip butuh lebih dari sekedar cuci darah Pa. Iya, kan?" ucapku memotong kalimat Papa.

Papa masih terlihat tenang, beliau hebat dalam mengatur raut wajahnya. Dia nampak biasa saja walau yang aku katakan adalah benar.

"Kamu benar, dia butuh apa Ma tadi?" Papa menoleh pada Mama dengan senyum mengembang.

Kemudian kembali menatapku, kedua tangannya telah bertengger di atas bahuku. "Rafif butuh energi dari sahabatnya agar dia cepat sembuh. Makanya kamu harus makan dulu supaya seger lagi."

"Papa benar, kamu pulang sama Papa nanti ke sini lagi. Mama yang akan menjaga Rafif, tenang saja ya."

"Ayo, kita berangkat..."

Curang, Papa mendorong bahuku sebelum aku bilang iya. Kami berjalan menjauhi Mama dan ruang rawat Rafif tanpa persetujuanku. Kendati tidak setuju, aku tetap saja menurut. Sepertinya mereka benar, aku perlu banyak energi untuk membantu cowok itu.
















🍂🍂🍂


















Selesai membersihkan diri dan kembali mengumpulkan energi, aku dan Papa pergi ke rumah sakit lagi. Tepat pukul delapan malam kami sampai di dalam kamar rawat Rafif. Laki-laki itu sudah sadar, dia tengah mengobrol ringan bersama Mama.

Our Time [Completed]Where stories live. Discover now