Sheet 69
Spasména Fterá
Rumah itu berukuran besar, tetapi tidak ada seorang pun yang datang menyambutnya masuk. Itu sangat menyakitkan jika mengingat bahwa rumah ini sangat nyaman dulunya.
Pemuda bermata heterokromia itu masih ingat saat di mana ia berlari melewati kursi-kursi dengan gelak tawa polos khas anak kecil karena 'monster' yang mengejarnya.
Yap, monster menyeramkan yang selalu ia rindukan.
Sage memang bukan anak kecil lagi. Namun, bukan berarti ia tidak merindukan momen-momen hangat itu. Sesibuk apapun ayah dan ibunya, mereka pasti tetap akan memiliki waktu untuk dihabiskan bersama.
Kini, bahkan di saat Sage datang membawa kabar baik sekalipun, tidak akan ada yang menyadarinya. Ia bahkan tidak tahu apakah ayah dan ibunya sudah melihat hasil nilai miliknya atau belum.
Meski sebenarnya pemuda itu sedikit penasaran dengan bagaimana ekspresi mereka saat mengetahui kabar baik ini, tetapi pengalaman membuatnya tidak terlalu banyak berharap pada orangtuanya.
"UNTUK APA KAU DATANG KEMARI?!"
Suara teriakan yang menggema itu cukup untuk membuat Sage bergidik dan bersandar dengan cepat pada dinding.
Napasnya tertahan tanpa ia sadari, tubuhnya dengan cepat melakukan semua kebiasaan itu ketika mendengar suara melengking dari dalam rumahnya.
Hanya ada satu penyebab mengapa ibunya berteriak seperti itu. Saat ini, ayahnya pasti sedang berada di dalam sana. Berhadapan dengan ibunya dan berakhir saling membentak.
"Apa aku tidak boleh berada di rumahku sendiri?!"
Sage terdiam pada dinding ruang tamu. Itu benar-benar suara ayahnya. Selama apa pun ia tidak pernah mendengar suara itu bersarang di telinganya, Sage akan tetap hafal pada suara itu.
Entah keberanian apa yang muncul saat ini, ia menggerakkan kepalanya dan mengintip pada ruang keluarganya yang ia yakini tempat dimana ayah dan ibunya berada.
Mereka memang ada di sana. Saling melemparkan tatapan membenci dan sahutan tajam. Jika itu tetap terjadi, mungkin ruangan itu akan berubah menjadi medan pertempuran dan ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini.
Ia menatap sepasang kaus kaki abu-abunya yang tebal sembari memikirkan langkah selanjutnya. Sage tidak mungkin akan masuk begitu saja dan menyapa mereka dengan senyuman, lalu berkata;
'hai, bagaimana kabar kalian? Aku dapat peringkat satu di semester ini, lho!'.
Itu adalah pilihan yang bodoh. Sage mungkin akan mengubur dirinya sendiri jika ia berhasil mengatakan hal itu nanti.
Namun, apa Sage memang sebaiknya ada di sana dan melerai mereka, mengajak mereka duduk dengan menuangkan teh hangat beraroma lavender, lalu mengatakan jika semua masalah akan selesai dengan kepala dingin?
Tangan Sage menyentuh tengkuknya, lalu ia menghela napas panjang. Ia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa.
Matanya kembali melirik kedua orang tuanya dengan sedih, entah kapan ini semua akan berakhir, entah apa yang akan membuat ini semua berhenti.
Pastinya, nilai sempurna yang ia dapat kali ini tidak akan membuat kedua orang tuanya akur, tersenyum bersama, dan memeluknya dengan hangat.
Sage berbalik, berjalan seperti seseorang yang jika tidak memperhatikan langkahnya akan menginjak ranjau yang berbahaya, memasang kembali work boots berwarna tortilla-nya dan keluar dari rumahnya, berhati-hati agar tidak menimbulkan suara sekecil apapun.
YOU ARE READING
Welcome to Class A
Teen Fiction[BLURB WELCOME TO CLASS A] Orang bilang Kelas A adalah kelas unggulan yang berisi anak-anak cerdas yang penuh keberuntungan, tetapi pada kenyataannya kelas A hanya berisi anak-anak malang yang penuh dengan kesengsaraan, yang membutuhkan perhatian me...
