2.2

120 11 0
                                    

-Enjoy!-

Nando menginjakkan kakinya di depan basecamp Vector yang hampir satu Minggu kemarin tak pernah ia kunjungi kembali. Anka yang meminta dirinya untuk datang ke tempat ini. Kedatangan Nando langsung disambut dengan sangat tak baik. Terutama dengan Junius dan Edwin.

"Ngapain lo ke sini?!" Tanya Edwin, memperlihatkan rasa tak sukanya kepada Nando secara terang-terangan.

"Lo tuh definisi kulit lupa sama kacang tau, ngga?" Sindir Junius.

"Kebalik bego!" Frans menimpali ucapan Junius. "Gini, nih, kalau pas pelajaran Bahasa Indonesia malah bolos terus. Otak kosong, tak ada isinya!"

"Lo kok malah bawa-bawa otak gue, sih! Kasihan, nih, otak gue, setiap hari dinistakan terus. Tanggung jawab, ya, lo, kalau otak gue ngambek terus ngga mau bekerja lagi," tutur Junius.

"Ngga usah belagu, kalau ngerjain ulangan aja masih lihat google." Anka baru saja datang dari arah dapur.

"Duduk, Nan," titah Anka. Nando hanya mengangguk, lalu duduk di sofa yang berada di dalam basecamp tersebut.

"Gue akan terima lo lagi sebagai bagian dari Vector." Semua orang langsung tercengang, kala Anka berucap seperti itu.

"Ka, lo apa-apaan, sih? Ngga seharusnya, pengkhianat seperti dia lo terima lagi menjadi bagian dari Vector!" Emosi Edwin langsung menguap, karena merasa tak terima dengan tuturan Anka barusan.

"Lo pilih gue atau Nando? Kalau dia masuk ke dalam Vector lagi, gue yang akan keluar dari Vector." Anka melirik ke arah Junius. "Keluar aja, sana." Anka menjawab seperti itu, karena ia tahu, Junius tak benar-benar dengan ucapannya.

Junius semakin menggeram kesal. "Lo kok ngga nahan gue sih, Ka?"

"Gertakan lo basi banget, Jun," jawab Anka santai.

Anka menyerahkan satu buah pin ke arah Nando. Di jaket setiap anggota Vector, memang tersemat sebuah pin. Pin itu akan menghilang dari setiap jaket, kalau anggotanya mengundurkan diri ataupun dikeluarkan dari Vector. "Kita semua keluarga. Masalah lo, masalah Vector juga." Anka menepuk bahu Nando dua kali, lalu berjalan keluar dari basecamp.

"Tanya ke orang suruhan gue, kalau kalian mau tahu apa yang sebenarnya terjadi," teriak Anka, saat dirinya dan orang suruhannya berpapasan di depan pintu keluar.

Flashback

Pukul tiga sore, Nando baru saja tiba di kediamannya. Teriakan sang Ibu membawanya untuk mempercepat langkah kakinya.

"Ada apa ini?" Nando membantu Ibunya berdiri. Sedari tadi, Ibunya terus memegangi dada tempat jantungnya berada. Nando sangat khawatir dengan kesehatan Ibunya. Mengingat, Ibunya menderita penyakit lemah jantung. Pandangan Nando melihat ke segala penjuru rumah. Rumah yang awalnya tertata dengan sangat rapih, kini sudah tak berbentuk sama sekali.

Satu orang yang berbadan kekar, melemparkan selembar kertas ke depan wajah Nando. "Hutang keluarga kalian sudah sangat menumpuk! Sesuai dengan perjanjian, kalau kalian tidak bisa membayarnya, rumah ini akan kami sita!"

Nando mengambil selembar kertas yang jatuh ke atas lantai. Ada sekitar lima puluh juta lagi hutang yang belum bisa keluarga Nando lunasi.

Ibu Nando berlutut di hadapan kedua orang itu. "Saya mohon, Pak, jangan sita rumah kami. Kalau rumah ini disita, kami ngga tahu harus tinggal di mana," lirih Ibu Nando.

"Bangun, Bu. Ibu ngga seharusnya seperti ini," peringat Nando.

"Hutang Ibu lo akan gue anggap lunas." Semua orang mengarahkan pandangannya ke arah Danial yang baru saja datang.

Dua orang berbadan kekar itu sedikit membungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat. Membuat kerutan di dahi Nando timbul. "Biar saya yang urus." Dua orang berbadan kekar itu mengangguk.

"Entah lo yang terlalu bodoh atau bagaimana. Selama ini, keluarga lo berhutang kepada Dirgantara's Corp. Gue adalah pewaris tunggal Dirgantara's Corp. Hutang keluarga lo bisa dengan sangat mudah gue anggap lunas, kalau lo mau ikut kerja sama dengan Boris."

"In your dream!" Jawaban Nando terdengar sangat tegas. Danial menyeringai. "Semua keputusan ada di tangan, lo. Ikut kerja sama dengan Boris atau pergi dari rumah ini sekarang juga!"

Nando mulai goyah dengan tawaran yang Danial berikan, saat melihat kondisi Ibunya yang semakin parah. Manik mata Nando bertatapan dengan manik mata Ibunya. Dari tatapan matanya, wanita paruh baya itu seakan berkata 'Ibu baik-baik saja' kepada Nando. Walaupun Nando tahu, itu semua hanya sebuah kalimat penenang untuk dirinya.

Sejenak, Nando memejamkan matanya untuk berpikir. Tak ada jalan lain, berkhianat kepada Vector adalah jalan yang ia pilih demi kesehatan Ibunya.

Bodohnya, laki-laki itu tak mengetahui kalau Danial merekam semua percakapan mereka berdua. Tak terkecuali, saat Nando menyetujui tawaran Danial.

°°°

Kara duduk di sebuah taman belakang yang terletak di dalam rumah milik Kenzo. Kedua remaja itu sedang menunggu kedatangan seorang pengacara yang tak lain adalah Om dari Kenzo sendiri. Paman Kenzo itu, berencana akan membantu Ayah Kara dalam acara persidangan nanti.

Benda pipih yang tergeletak di atas meja berbunyi. Kenzo mengangkat sambungan telepon tersebut.

"Wa'alaikumsalam, Om."

[...]

"Ok, Om. Nanti akan Ken sampaikan ke Kara."

[...]

"Iya, Om. Wa'alaikumsalam."

"Kenapa, Ken?" Tanya Kara saat Kenzo berjalan mendekat ke arahnya.

"Om gue ngga jadi datang hari ini. Sepupu gue sakit dan harus di rawat di Rumah Sakit," jelas Kenzo. Kara mengangguk paham. Walaupun gurat kesedihan tercetak jelas di wajah gadis itu.

°°°

Kenzo mengajak Kara ke sebuah rumah pohon yang letaknya tak begitu jauh dari kediamannya berada. Pemandangan beberapa rumah megah yang berjejer dengan sangat rapih, langsung tersaji saat Kara tiba di atas rumah pohon itu.

"Lo yang ngukir?" Kenzo mengangguk. Bukan ukiran indah seperti ukiran-ukiran para seniman yang terkenal. Lebih tepatnya, hanya sebuah ukiran anak SD. Ukirannya membentuk sepasang orang tua serta seorang anak laki-laki yang berdiri di tengah. "Ini pasti kedua orang tua lo, dan yang di tengah ini pasti lo." Lagi dan lagi, Kenzo membenarkan ucapan Kara.

"Pasti lo sangat bahagia, karena kedua orang tua lo masih lengkap. Gue jadi teringat sama Bunda, gue. Hari ini, tepat satu bulan, Bunda pergi untuk selama-lamanya," lirih Kara seraya memandangi langit biru dengan awan-awan yang bertaburan sebagai pelengkapnya.

Kara serta Kenzo sedang duduk di tepi rumah pohon dengan kedua kaki yang menggantung-gantung di udara. "Ra?" Kara yang sedang asik menikmati semilir angin yang lewat langsung menolehkan kepalanya ke arah samping.

"Menurut lo, tiga kata yang sulit banget gue ucapkan ke orang lain, tapi ngga berlaku kalau sama lo, itu apa?" Kara berpikir sejenak. "Maaf, tolong, makasih?" Tebak Kara yang dihadiahi gelengan kepala oleh Kenzo.

"Terus?" Tanya Kara penasaran. "I love you."






.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

BTW, kalau kalian di posisi Nando, apa yang akan kalian lakukan?

Terimakasih yang sudah berkenan singgah di cerita ini!

Hope you like and enjoy my story!

Vote, comment, saran, serta kritik selalu aku tunggu di setiap partnya!

Selama malam Minggu semua!





Salam.

ANKARA (END)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt