bos genit

38 1 0
                                    

Jika boleh aku jujur, kerja hari ini benar-benar melelahkan. Ditambah semalaman aku tidak tidur, setelah membuat suami sahabatku tertidur dan membawanya ke peristirahatan terakhir. Mataku hanya terpejam dua jam.

Hari masih pagi dan aku harus sekuat tenaga menahan kantuk. Sampai sudut mata menangkap sosok lelaki yang paling aku benci masuk ke dapur dan berjalan mendekat.

"Na ... makin cantik aja!" Tangan Heru, si supervisor restoran yang terkenal genit kini bergelayut manja di bahu. Aku menoleh kiri dan kanan, semua karyawan yang ada di dapur tengah menatap ke arahku. Riri, gadis itu tentu saja menyingkir entah ke mana sejak kedatangan Heru.

Trak! Pisau kutancapkan di atas talenan. Kedua tangan yang semula akan memotong daging sapi untuk siap diolah, kini kulipat di depan dada.

"Ada apa?" tanyaku dengan nada dingin.

"Malam ini ada waktu, nggak? Aku mau ajak kamu jalan."

"Maaf. Saya sibuk!" Aku mengedikkan bahu, isyarat agar tangan itu segera turun. Heru melakukannya saat aku melirik dengan tatapan marah.

Tanpa banyak kata, Heru berlalu meninggalkan dapur. Penghuni restoran di sini paham bagaimana tabiatku. Harusnya lelaki itu cukup paham untuk tidak mengganggu di saat jam kerja.

Aku mengambil pisau yang menancap di atas talenan, kembali memotong daging yang sempat tertunda. Riri masuk dengan menenteng satu keranjang besar berisi sayuran yang akan dimasak, sedangkan beberapa karyawan lelaki masih sibuk dengan kegiatannya. Riri kembali entah dari mana, setengah berbisik ia mengatakan jika Pak Heru mencintaiku.

"Tapi aku nggak mau memiliki kekasih seorang lelaki yang sudah beristri!" tegasku saat kami berdiri bersisian.

"Hah? Masa?" Riri menoleh, dan menatapku dengan tatapan tak percaya.

Astaga! Ke mana saja Riri selama ini? Masa ia tidak tahu soal itu?

"Heru Riyanto. Lelaki berusia 32 tahun kelahiran Brebes. Memiliki satu orang istri dan sepasang anak kembar," ucapku meyakinkan.

"Kok kamu bisa tahu semua profil Pak Heru?” Riri bertanya dengan nada semakin heran.

"Jangan panggil aku Ana, kalo hal sepele begini aja nggak tahu!"  Aku meletakkan pisau, dan mengambil daging yang sudah siap untuk dimasak beef teriyaki. Berusaha tidak peduli meski Riri terus saja masih mengoceh.

***

Seorang wanita yang sudah menikah, akan memiliki kepekaan seperti seorang ibu pada anaknya, bukan? Seperti halnya yang aku rasakan saat menjadi seorang istri. Aku pun merasakan hal itu, di saat suamiku bertingkah di luar batas. Aku selalu mengetahui meski dirinya tidak mengatakan yang sebenarnya.

Dulu ia gemar menyawer biduan di atas panggung jika ada tetangga hajatan. Lelakiku itu akan menjadi orang pertama yang akan menaiki panggung dan menghujani wanita berpakaian kurang bahan dengan uang yang harusnya menjadi nafkahku.

Akan tetapi, sudahlah, itu masa lalu. Aku pun malas membahas itu semua. Rasa sakit bekas pengkhianatannya masih menganga di dada, begitu pun dengan keluarganya yang membuangku layaknya sampah.
Mata dan hati mereka tertutup saat aku kehilangan pekerjaan dan lebih banyak membantu di rumah. Namun, apa yang aku lakukan selalu salah, dan tak jarang adik iparku memfitnah dengan mengatakan jika pekerjaanku hanya tidur saja.

Riri mendengarkan dengan air mata mengalir di pipi. Iya ... teman seprofesiku begitu ingin tahu, kenapa aku begitu dingin pada laki-laki. Mau tidak mau, aku harus menceritakannya.

"Maaf, Na. Aku nggak tahu kalo kisahnya setragis itu." Riri mengucapkan penyesalannya. Ya, aku pun tak ambil pusing. Setidaknya bercerita bisa sedikit mengurangi beban yang bergelayut di ingatan.

"Tapi ...." Riri menggantung kalimatnya. Menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Jangan lihat aku yang sekarang, Ri. Setelah berpisah, aku mulai bangkit dan mencari pekerjaan baru dan mulai menabung lantas kuliah. Jurusan tata boga yang aku idam-idamkan kutekuni. Sampai aku berada di titik sekarang ... dan itu tidak gila!" seruku sambil tersenyum.

Yah ... bagaimana mungkin aku akan terus-menerus larut dalam kegalauan? Hidup harus maju, dan masa depanku harus cerah. Guna membuktikan jika aku masih layak untuk bahagia.

Aku bangkit dan mengakhiri obrolan ini, kembali bekerja dan tetap bersemangat. Meski belum menemukan seseorang yang benar-benar memiliki cinta dan hati yang tulus, setidaknya aku harus berjuang untuk kebahagiaan dan masa depan yang lebih baik.

***

Jam istirahat, aku lebih senang duduk di taman belakang restoran menikmati semilir angin. Berulang kali gadis berambut sebahu itu membujuk agar mau mendatangi Pak Heru, tapi berulang kali juga aku tegaskan enggan menjalin hubungan dengan lelaki yang sudah menikah.

“Ana ... kamu cantik. Mirip artis Korea, punya tubuh tinggi proporsional, bodi langsing,” ucap Riri.

“Makasih. Tapi aku nggak suka kamu puji begitu, Ri!” seruku tegas.

“Kamu kalo buka hati buat lelaki, pasti banyak yang mau, An.”

“Sayangnya aku belum siap, Ri!”

“Sampe kapan, Ana?”

“Entah. Aku masih nyaman sendiri. Meski katamu Pak Heru menyukaiku. Tapi aku sama sekali tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengan lelaki yang sudah menikah.”

“Aku ngerti, An.”

“Kalaupun aku mau, bisa saja dengan mudah menjalin hubungan dengan lelaki mana pun. Sayangnya, aku sama sekali tidak tergoda, Ri.”

Riri hanya diam menanggapi ucapanku. Wajahnya yang polos hanya menatapku tanpa kata. Aku pun beranjak meninggalkannya, kembali ke dapur.

***

Ponselku kembali berdering saat baru sampai di kontrakan. Ratna kembali menelepon dan bertanya perihal Ari. Aku ... tentu saja menjawab tidak tahu dan berdalih sibuk saat dia meminta tolong lagi untuk mencari sang suami.

Aku merebahkan tubuh di kasur, menatap langit-langit kamar. Pikiranku mengembara, mengingat bagaimana asyiknya saat aku menguliti dan bermain dengan tubuh Ari.  Juga bagaimana aku memisahkan bagian-bagian tubuhnya yang sama sekali tidak terlihat indah.

Sebuah pesan masuk membuatku terkejut, Pak Heru kembali mengirimkan pesan. Mengajakku makan malam di sebuah restoran mewah bintang lima di pusat kota. Aku ... tentu menolaknya. Terbersit bayangan wajah istri sahnya di ingatan.

Aku masih ingat betul saat istri dan kedua anaknya menyambangi restoran ketika dirinya berulang tahun—tahun lalu di saat restoran baru dibuka dan hanya aku koki di sini. Wanita itu cantik, bahkan sempurna.

Lantas apa yang dicarinya dengan menggodaku? Cihh ... lelaki playboy!

Dua jam berlalu, aku memejamkan mata, berusaha untuk tidur. Akan tetapi, mata ini enggan untuk terpejam. Aku putuskan untuk menonton televisi, sampai pada sebuah channel menayangkan siaran langsung berita, bahwa mayat lelaki yang terbungkus plastik hitam sudah ditemukan identitasnya. Di sana, tampak Ratna, sahabatku meraung-raung menangisi Ari yang sudah tertutup rapat  dalam peti jenazah.

“Ah, ternyata Ari sudah pulang. Jangan sedih, Ratna, sayangku. Bahkan kau tak pantas untuk menitikkan air mata. Kau bukan manusia, Ratna. Saat aku masih sangat mencintai Ari. Tanpa hati kaurebut dan menikah dengannya di belakangku,” ucapku seolah ada Ratna di hadapanku.
Televisi kumatikan, acara yang ditayangkan tidak menarik perhatianku. Semuanya menayangkan berita identitas Ari. Aku menutup badan dengan selimut, sampai kantuk benar-benar datang.

***

Pagi ini Riri terlambat bangun, dan terpaksa aku berangkat sendiri menuju restoran. Seperti biasa, jam pagi begini belum ada yang datang. Aku diberi kepercayaan untuk memegang kunci cadangan jika sewaktu-waktu diminta untuk datang lebih awal.

Aku berjalan melewati ruangan Pak Heru yang terlihat masih gelap, tapi langkah ini terhenti saat sebuah tangan menarikku ke dalam ruangan tersebut. Kedua tangan berada dalam cengkeraman Pak Heru, dan aku tidak bisa mengelak. Lelaki berkumis tipis itu menatapku dengan penuh nafsu.

“Apa!” seruku dengan kesal. Bisa-bisanya Heru melakukan ini. Sudah dengan jelas dari sikapku bahwa aku enggan didekati lelaki buaya sepertinya. Dan Heru bukan manusia bodoh yang tidak bisa menerka sikap seseorang.

“Aku menginginkanmu, Ana!” Wajah Heru begitu dekat denganku. Embusan napasnya yang hangat menerpa wajah.

“Ingat anak istrimu di rumah!” Aku membentak lelaki yang menjadi atasanku selama ini. Peduli setan jika setelah ini aku dipecat.

“Kamu janda saja sok jual mahal!”
Kalimat yang dilontarkan membuat darahku mendidih. Kutatap lekat wajah Heru. Kuakui dia memang tampan, tapi aku sama sekali tidak tergoda. Di saat situasi seperti ini, aku sama sekali tidak bisa melepaskan diri dari cekalan tangannya. Namun, tiba-tiba aku teringat akan sebuah adegan bela diri yang pernah tayang di televisi tentang titik lemah laki-laki.

Buk!

Lutut kuayunkan ke arah selangkangannya. Seketika lelaki itu ambruk dengan memegangi bagian alat vitalnya. Dengan cepat aku berlalu keluar. Aku takut, tubuh pun bergetar. Kejadian ini membuat traumaku semakin menjadi-jadi.

Di depan pintu masuk restoran tubuhku menabrak Riri. Air mataku luruh dan terus berlari menjauh dari restoran. Aku butuh ketenangan, bahkan teriakan Riri memanggil pun tak kuhiraukan.

***

Riri menyodorkan tisu ke arahku. Sudah satu kotak kuhabiskan untuk mengusap wajah yang basah oleh air mata. Aku berada di kontrakan, tak kuduga jika gadis itu mengikuti dari belakang. Rasa khawatirnya padaku membuatnya bolos kerja. Iya ... biarlah restoran kewalahan karena dua kokinya tidak masuk.

“Biar kapok!” Akhirnya Riri buka suara. Ia pun tak habis pikir jika Heru mampu melakukan itu semua. “Aku minta maaf, An. Udah paksa kamu buat terima Pak Heru!” ucap Riri penuh penyesalan. Aku tentu mau memaafkan.

Aku menyandarkan punggung di kasur, sementara gadis itu menemaniku dengan merebahkan tubuhnya di kasur, bermalas-malasan seharian. Aku memperhatikan Riri bangkit lalu melangkah menuju kamar kecil, tapi pandangannya tertuju pada kotak kayu yang tergeletak di sudut ruangan dekat pintu kamar mandi.

“Itu, kotak apaan, Na?” Tunjuknya. Aku menoleh, lalu menjelaskan jika itu koleksi pisau yang aku beli sejak memasuki dunia tata boga. Dari ukuran kecil sampai besar, bahkan kapak buat memotong ikan besar pun aku punya. Riri memandang kagum saat kotak itu dibukanya.

“Ini pasti mahal, Na!” serunya dengan mata berbinar. Aku tak menanggapi. Gadis itu pun masuk ke kamar mandi guna menuntaskan hajatnya.

Saat melihat Riri kembali ke kamar, aku memintanya pulang dan mengatakan jika besok harus menyiapkan mental jika kena marah Pak Heru karena bolos berjamaah. Aku sendiri sudah tidak ambil pusing jika harus dipecat, lelah jika harus bekerja dalam tekanan. Bisa gila lama-lama.
Riri pulang jalan kaki, karena jarak kontrakan kami tidak terlalu jauh.

Kontrakan gadis itu diapit beberapa kamar, sedangkan aku mengontrak sebuah rumah kecil yang letaknya berada di sudut gang. Jauh dari kebisingan tetangga. Awalnya, Riri memintaku untuk tinggal bersama, tapi kutolak dengan alasan privasi.

“Aku nggak mau ganggu kamu kalo lagi berduaan pacaran, Ri,” ucapku kala itu dan sukses membuat pipinya memerah. Aku sudah tahu, jika temanku itu bukan tipe gadis nakal. Jangankan untuk pacaran, didekati dan digombali karyawan lelaki saja dia mengadu sambil menangis.

Yah, Riri anak manja yang ingin mandiri. Penakut dan lembut, makanya aku sayang padanya sejak awal masuk dalam tim memasak.

Suamimu di Atas Ranjangku (SUDAH TERBIT)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz