dasar ganjen

15 1 0
                                    

Aku mencium aroma kebebasan, saat kulihat ruang kerja Heru. Lelaki genit itu tidak akan lagi mengusik ketenangan hidupku. Di sana hanya tampak Pak Arya. Manajer ganteng yang dikenal sopan. Bahkan sejauh ini, sikapnya saat mengunjungi restoran terlihat baik, bahkan sesekali melirik Riri. Hanya saja temanku ini terlalu cupu mengenal gerak-gerik lelaki yang sedang mengintainya.

“An, Pak Heru ke mana? Kok, nggak pernah kelihatan?” tanyanya heran. Pasalnya sudah dua bulan, lelaki itu tidak terlihat batang hidungnya dan kini Pak Arya, yang biasa datang sesekali, hampir setiap hari berada di ruangan milik Pak Heru.

“Aku nggak tahu, Ri. Kamu kalo penasaran sana cari ke rumah istrinya,” ucapku dengan sedikit kesal. Riri urung melanjutkan pertanyaannya saat mataku sudah melotot ke arahnya. Ah, gadis ini benar-benar paham akan diriku.

Restoran pagi ini masih sepi. Meski sudah dibuka satu jam yang lalu, baru beberapa pengunjung yang datang.

Saat sedang memasak, dari luar terdengar suara gaduh di depan ruangan Pak Arya. Suara lelaki dan perempuan. Penasaran, aku pun mendekati ke arah sumber. Di sana tampak Hani—istri Heru, atau lebih tepatnya, mantan istri Heru, sedang menangis. Ia menanyakan tentang suaminya yang sudah dua bulan ini tak pulang.

Aku bukannya tidak iba pada wanita yang memiliki anak kembar itu, hanya saja aku lebih tidak rela jika ia terus-menerus dibodohi oleh cinta Heru padanya. Selama ini lelaki itu tidak pernah pulang, ia lebih memilih ngekost layaknya bujang daripada pulang ke rumah. Padahal jarak restoran ke rumah bisa ditempuh dalam waktu dua jam.

Akan tetapi, Hani dengan mudahnya dibohongi dengan alasan capek, dan Heru lebih leluasa menghabiskan waktu bersama wanita lain. Soal pengakuan Heru waktu itu, bahwa mereka sudah pisah ranjang. Apa aku bisa dibodohi begitu? Tentu tidak!

Hani datang dengan wajah panik saat aku tengah berbicara dengan Reno dari balik meja kasir. Setengah tergesa-gesa ia masuk ke dalam ruangan khusus manajer. Mungkin saja karena suaminya tidak juga mengirimkan uang. Ah ... tentu saja, bagaimana mungkin Heru akan melakukan itu, jika untuk bangkit dari kubur saja ia tidak mampu. Tak peduli dengan apa pembicaraan mereka, aku kembali ke dapur.

***

Aku tengah sibuk menata sayur posayu yang akan segera dimasak, tiba-tiba Riri berdiri di sebelahku, dengan tubuh sedikit dicondongkan.

“Ana, Pak Arya chat aku!” serunya dengan sedikit berbisik.

Aku yang sedang membuat sayur capcay menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada wajan.

“Pak Arya ngajak aku jalan akhir pekan besok. Dia bilang restoran tutup sehari dan karyawan boleh libur.”

Aku cukup terkejut mendengar penuturannya. Selama satu tahun mengabdi, belum pernah sekali pun hal ini terjadi. Supervisor sebelum Arya  biasanya akan terus memforsir tenaga karyawan, bahkan jarang memberikan libur. Jika pun ada, hanya satu kali dalam sebulan. Gila!

“Kamu serius, Ri?” tanyaku memastikan.

Aku tak memberikan komentar. Bingung. Aku tahu, Arya terlihat jauh lebih baik dari Heru. Ia pun terlihat sopan jika berhadapan dengan wanita. Terlebih sikapnya tidak celamitan. Sedikit percaya jika ia memiliki hati yang tulus.

“Kamu balas apa?” tanyaku ketika Riri mengambil piring untuk masakanku yang sudah matang.

“Baiknya gimana, An?” Riri terlihat lebih bingung. Aku tahu, selama satu tahun bekerja bersama, belum pernah kulihat gadis ini berkencan dengan seorang pria. Ia bahkan akan menangis tersedu-sedu jika ada karyawan atau pelanggan yang menggodanya. Biasanya, ia akan mengadu padaku meminta perlindungan. Riri ... kenapa kamu bisa sepolos ini?

“Jawab aja, ‘iya’!” tegasku.

Riri menatapku tak percaya. Mungkin dalam benaknya bertanya-tanya kenapa aku bisa memberikan izin agar menerima ajakan kencan Arya, karena selama ini aku selalu melarangnya dekat dengan lelaki. Bukan karena apa-apa, aku takut Riri sakit hati. Hatinya terlalu lemah juga lembut.

“Jangan banyak pikiran. Kamu terima aja ajakan Pak Arya. Dia lelaki baik, kok. Aku tahu!” seruku berusaha meyakinkan Riri.

“Ya udah. Aku terima aja. Tapi kamu ikut nanti, ya?”

“Kamu gila, Ri. Aku nggak mau ya jadi nyamuk liat kalian bermesraan,” ucapku berlalu, memberikan pesanan pada waiters.

“Tapi aku takut kalo cuma berdua aja.” Riri mulai dengan gayanya, merengek padaku seolah aku ini ibunya.

“Kalo kamu nggak belajar dari sekarang, kapan kamu dewasa? Udah gede, jangan merengek begini, Ri.”

Bahu Riri merosot. Wajahnya menatap sayu padaku. Bagaimanapun kami selalu menghabiskan waktu bersama. Nonton bioskop, makan di luar, pun jalan-jalan ke suatu tempat pun berdua.

Ah ... untuk kali ini, aku ingin memberikan ruang untuk Riri belajar dewasa.

***

Aku masih memejamkan mata saat ponsel yang kuletakkan di bawah bantal berdering. Aku meraih ponsel, sedikit memicingkan mata menatap layar ponsel, telepon dari Riri. Ngapain itu anak ganggu orang pagi-pagi? Harusnya kan, dia sudah jalan dengan Arya. Sudah pasti lelaki itu mengajaknya kencan ke tempat yang romantis. Ancol misalnya.
“Iya ... kenapa, Ri?” Ponsel kutempelkan di telinga, sementara mata masih terpejam.

“Ana ... temani aku. Ya ... pliss.” Suara Riri tetap terdengar seperti anak kecil berusia tujuh tahun. Padahal usianya sudah 24 tahun, harusnya mampu mengendalikan perasaan itu.

“Ri ... aku ngantuk. Masih mau tidur,” ucapku dengan nada malas. Memang semalaman aku menghabiskan waktu bermain game online di ponsel. Mumpung hari ini libur, jadi bisa tidur seharian.

“Ana ...,” rengeknya lagi. Ahh, ya ampun. Manja sekali.

“Ri ... sumpah. Aku ngantuk. Nanti deh, agak siang aku samperin. Kamu chat aja lokasinya, ya.”
“Ya udah.” Terdengar nada pasrah dari seberang sana. Telepon terputus, aku menggeliat sebentar dan berusaha kembali tidur.

***

Pukul satu siang setelah mandi dan berganti pakaian, aku sudah bersiap hendak menyusul Riri. Sejak terputusnya sambungan telepon tadi, aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. Ada sedikit rasa khawatir mengingat Riri begitu merengek memintaku menemaninya.

Bergegas, aku keluar kontrakan. Pukul dua siang, Riri belum juga mengirimkan lokasi kencannya dengan Arya. Panik, aku lantas mengecek keberadaannya melalui GPS.
Ojek online adalah pilihan yang tepat jika sedang terburu-buru seperti ini. Dari layar ponsel, lingkaran merah petunjuk keberadaan Riri berada di daerah Jakarta Utara.

Jujur saja aku panik. Riri bukan tipe orang yang pelupa, justru dirinya yang selalu mengingatkan jika aku melupakan sesuatu. Riri ... kamu di mana, sih? Kenapa nggak share lokasi. Aku khawatir.
Keberadaan ponsel Riri yang terlihat dari layar ponselku mengarah pada sebuah bangunan yang jauh dari keramaian, dan aku tahu jika gedung itu sudah lama kosong. Pikiran buruk memenuhi otakku. Setelah membayar ongkos ojek, aku segera berlari memasuki tempat itu.

Bangunan dua lantai yang sudah lama kosong itu masih kokoh berdiri. Cat dindingnya yang sudah mulai mengelupas juga sampah yang berserak membuat udara semakin terasa pengap.

Dengan sedikit mengendap aku melangkah terus masuk ke dalam, mencari titik keberadaan sahabatku. Samar-samar aku mendengar suara rintihan juga isak tangis dari sudut bangunan dekat toilet.

Riri?

Pikiranku semakin kacau. Kalau sampai terjadi apa-apa padanya, aku akan menjadi orang yang paling merasa bersalah karena sudah memberikan izin padanya menerima ajakan Arya.

Aku berusaha melangkah perlahan agar tidak menimbulkan suara. Aku bersembunyi di balik dinding, berusaha menajamkan pendengaran di mana asal suara tangis itu.

“Riri salah apa, Pak? Tolong lepasin Riri!” seru Riri dengan tangisnya yang pecah. Sepertinya Arya sudah merencanakan ini dengan baik, dan tahu benar lokasi ini jarang ada orang yang mau datang. Selain memang sepi, tempat ini juga terkenal angker.

“Jangan sok jual mahal kamu, Riri. Wanita itu sama saja. Kamu sok polos pura-pura tidak tahu maksud saya? Dasar wanita munafik! Cih ...!”

Badanku mematung saat Arya mengatakan itu semua. Sedikit mengintip, saat tawa Arya semakin membahana membuat Riri benar-benar tidak berdaya. Lelaki itu sepertinya cukup paham wanita jenis apa yang sedang di hadapinya. Manja dan lemah.

“Riri mohon, Pak. Biarin Riri pergi!” Tangis Riri semakin menjadi, tubuhnya semakin terpojok antara tubuh Arya yang tinggi kekar dengan pintu toilet.

“Dasar wanita jalang! Kamu sama Ana sama-sama munafik. Kamu gadis sok suci. Dan sahabatmu Ana, janda sok jual mahal. Kalian berdua wanita tidak tahu diri!”

Aku memejamkan mata, menahan amarah. Rasanya darahku kembali mendidih. Semua penilaian baikku terhadap sosok Arya runtuh sudah. Bajingan itu sama saja dengan Heru!
Sial! Bagaimana aku menyelamatkan Riri dari Arya? Minta tolong pada orang lain pun tidak akan sempat. Riri bisa celaka. Aku berpikir keras memikirkan cara. Tiba-tiba mataku melihat sebuah batu tak jauh dari tempatku berdiri.

Tanganku mengambil batu itu, lalu keluar dari persembunyian. Melangkah perlahan. Riri masih terisak sembari memohon pada Arya agar melepaskannya, tapi dengan congkak lelaki itu seolah-olah tetap tidak akan melepaskannya sebelum semua permintaannya dikabulkan.
Kini aku berdiri tepat di belakang Arya, aku memberikan isyarat dengan tangan pada Riri agar tetap tenang.

Buk!

Dengan satu kali pukulan lelaki itu ambruk. Batu itu kuayunkan tepat mengenai kepala bagian belakang, mungkin saja mengenai tepat syarafnya. Aku tidak peduli. Lelaki bajingan seperti dirinya tidak perlu dikasihani.

Riri masih menatapku bingung, tapi tanpa membuang waktu, aku menarik tangannya dan berlari dari tempat itu.

Suamimu di Atas Ranjangku (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang