Riri dihipnotis

24 1 0
                                    

Jam istirahat, aku urung duduk bersantai di belakang restoran, kini dengan siaga berdiri di meja kasir bersama Reno. Sejak Riri masuk ke dalam ruangan Arya, debar jantungku berdetak lebih kencang, takut terjadi sesuatu padanya.

Tak lama, Riri keluar dari dalam ruangan dengan wajah biasa saja. Tidak tampak ketakutan seperti sebelum dirinya masuk ke ruangan itu. Aku dan Reno saling beradu pandang saat Riri berjalan mendekati kami yang menantinya dengan rasa cemas

“Gimana, Ri? Pak Arya ngomong apa?” tanyaku. Riri memandang ke arahku dan Reno bergantian.

“Pak Arya cuma minta maaf atas kejadian waktu itu, An,” ucapnya datar. Aku cukup percaya dengan apa yang dikatakan Riri.

Pasalnya gadis ini akan memberikan respons tidak baik jika dirinya merasa tidak nyaman.

“Syukurlah.” Aku berucap. Sementara Reno terus menatap Riri dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.

“Emang kejadian apa sih, Ri?” tanya Reno.
Ah, aku lupa jika lelaki itu tidak mengetahui apa yang sudah menimpa gadis yang disukainya. Andai Reno tahu jika Pak Arya nyaris memperkosa Riri, tidak menutup kemungkinan jika kedua lelaki itu bisa terlibat perkelahian.

“Nggak ada apa-apa, kok. Kepo kamu, Ren!” seruku seraya menarik tangan Riri menjauh dari meja kasir meninggalkan Reno.

Di dapur, Riri menceritakan semuanya yang terjadi saat dirinya berbicara empat mata. Riri mengatakan jika Arya sama sekali tidak macam-macam padanya, dan benar-benar menyesali perbuatannya waktu itu. Aku hanya bisa bernapas lega, semoga saja itu benar adanya.

***

Sejak kejadian Pak Arya meminta maaf pada Riri, lelaki itu kembali bersikap seperti biasa. Membuatku nyaris lengah. Akan tetapi, aku tidak boleh menganggap remeh hal ini, taruhannya adalah keselamatan Riri.

Hari selanjutnya, Hani masih sering datang berkunjung ke restoran, tanpa anak kembarnya. Sepengetahuan Reno yang tanpa sengaja menguping pembicaraan Hani dan Pak Arya di ruangannya, kedua anak itu Hani titipkan pada orang tuanya di kampung. Jadi Hani dengan leluasa menghabiskan waktu dengan Pak Arya berdua saja tanpa ada gangguan.

Aku tidak peduli, toh, Hani sudah lama berpisah dengan Heru. Terserah mereka mau berbuat apa.

“An, tapi aku juga mendengar Hani mendesah kemarin!”

Aku membelalakkan mata, sungguh sulit dipercaya jika wanita yang dulunya memuja seorang Heru, dengan mudahnya berpindah ke lain hati. Akan tetapi ... aku harus menyelidiki sendiri kebenaran ucapan Reno. Tidak bisa menelan mentah-mentah ucapan yang belum ada kejelasannya. Terlebih keselamatan Riri yang menjadi taruhannya.

Sementara itu, Pak Arya semakin intens memberikan perhatian lebih pada Riri, itu artinya siaga satu. Tidak bisa dianggap remeh dan tidak bisa dibiarkan. Lelaki buaya seperti Arya harus segera diberikan ketegasan. Jangan sampai kebablasan.
“Ana ... Pak Arya ngasih aku cokelat!” Riri mengadu padaku saat jam istirahat. Kulirik sekilas buket cokelat besar yang disodorkannya.

“Makanlah.”

“Nggak mau. Aku takut.”

“Kalo takut, kasih aja sama Reno. Biar dibagikan sama yang lain. Itung-itung kamu sedekah,” ucapku enteng. Tanpa menunggu lama, Riri berlalu meninggalkanku dan masuk ke dalam dapur. Samar-samar terdengar suara riuh para pegawai yang mengucapkan terima kasih pada Riri atas cokelatnya.

Riri ... kapan kamu bisa mandiri, kalo sama makanan pemberian lelaki saja kamu takut?

Lelaki punya 1001 cara untuk menaklukkan hati wanita yang diincarnya. Terkadang, lelaki akan menjadi sosok yang terlihat bodoh jika berhadapan dengan wanita pujaannya. Seperti halnya yang terjadi siang tadi saat aku duduk santai di belakang restoran saat jam istirahat.

“Ana ... Pak Arya kasih aku boneka!”

“Ana ... Pak Arya kasih aku cokelat lagi. Kali ini lebih banyak!”

Masih banyak lagi pengaduan Riri tentang pemberian Pak Arya padanya. Boneka pemberian lelaki itu akan berakhir tragis di tempat sampah, tentu sebelumnya boneka itu sudah menjadi mainan pisau kesayanganku. Dan makanan  pemberian lelaki itu ... sudah pasti teman-teman di restoran yang kenyang.

Cemburu? Tentu saja tidak. Jika dilihat dari kacamata lelaki, aku dan Riri memiliki wajah yang sama-sama cantik. Hanya saja, sikap Riri yang pemalu bahkan cenderung penakut lebih disukai kaum lelaki daripada aku yang terkesan galak bahkan lebih seperti manusia batu. Hahaha ... itu adalah julukan dari Reno padaku. Sial memang. Akan tetapi aku tidak peduli, biarlah. Toh aku tidak menyukai lelaki. Bagiku kaum mereka itu menjijikkan! Banyak tingkah!

***

Hari ini wajah Riri tampak lebih senang. Wajahnya bersemu merah muda saat kutatap lekat dan bertanya kenapa.

“Pak Arya menyatakan cintanya padaku, An!”

Bagai tersambar petir di siang bolong. Sumpah demi apa Riri tampak begitu bahagia saat lelaki bajingan itu menyatakan cinta padanya. Oh, come on, Dear. Dia itu orang yang sangat manipulatif!

“Are you serious?”

“Yes, i am, Ana!”

“No, Riri! Buka mata kamu. Hey ... apa kamu lupa apa yang sudah Pak Arya lakukan waktu itu? Jangan gila kamu!” Aku berbicara dengan nada sedikit berbisik, cemas jika ada yang mendengarkan pembicaraan kami.

“Tapi kali ini dia serius sama aku, An. Aku juga suka sama Pak Arya!”

Aku benar-benar kehilangan kesabaran menghadapi Riri. Kenapa ia sama sekali tidak peka pada Reno yang terlihat jelas mencintainya? Sementara dengan tangan terbuka Riri menerima cinta bajingan itu.
Bukan tanpa alasan aku begitu membenci Pak Arya. Aku memiliki alasan yang cukup kuat untuk itu.

“Riri ... kamu sudah gila!”

“Iya ... aku gila karena cinta Arya!”

What? Sejak kapan Riri memanggil dia dengan sebutan “Arya” saja? Biasanya dia akan dengan sopan memanggil lelaki itu dengan embel-embel ‘Pak’.

Kutinggalkan Riri di dapur, menuju kamar mandi, hendak membasuh wajah yang terasa panas. Apa yang terjadi dengan Riri?

Apa lagi yang direncanakan lelaki itu? Samar-samar dari dalam kamar mandi, terdengar suara seorang wanita yang sedang berbicara dengan siapa, entah.

“Sebentar lagi juga akan bereaksi. Tunggu saja. Wanita sok polos itu akan menjadi santapan para petinggi di tempat karaoke milikmu, Sayang. Tapi jangan lupa malam nanti. Aku kangen ... pengen berduaan sama kamu.” Begitu kira-kira yang kudengar.

Menjijikkan! Ada wanita begitu murahan dengan mudah mengatakan hal sevulgar itu pada orang lain? Cih!

Namun, yang membuatku semakin ingin tahu, siapa orang yang ada di balik pintu toilet itu? Penasaran, segera aku masuk ke dalam toilet kosong di sebelahnya.
Lima menit menunggu, aku mendengar pintu toilet sebelah terbuka. Aku mengintip dari celah pintu yang sengaja kubuka sedikit. Jantungku seolah berhenti berdetak saat melihat siapa sosok itu.

Hani?

***

Tidak ada yang aneh berapa hari ini, meski jarang kulihat Hani bersama Pak Arya. Biasanya wanita itu akan menempel seperti perangko, ikut ke mana pun lelaki itu pergi. Ada rencana apa sebenarnya? Bahkan hari ini di saat Pak Arya tidak ada di restoran, Hani datang.

Aku menceritakan apa yang kudengar pada Reno bahwasanya Hani dan Pak Arya sedang merencanakan sesuatu pada Riri. Reno mengatakan jika Riri sedang dalam pengaruh hipnotis. Ia juga merasa resah melihat tingkah Riri yang berbeda beberapa hari ini. Entah apa yang sudah dilakukan Pak Arya, sehingga Riri menjadi orang lain.

Riri lebih sering melamun, menyanyikan lagu romantis, bahkan memanggil-manggil nama lelaki itu dengan mesra “Arya sayang”. Lelaki itu benar-benar sudah membuat Riri menjadi orang lain.
Aku semakin kalut melihat Riri berperilaku seperti itu. Biasanya ia akan fokus pada pekerjaannya. Kini ia lebih sering melamun, bahkan ia lebih intens menyambangi ruangan Pak Arya di saat jam istirahat. Oh ... come on?

Reno dan aku masih mengamati dari jauh saat Riri dan Pak Arya berduaan di dalam sana. Tak lama Hani datang dengan wajah penuh amarah.

Hani membuka pintu dan membantingnya kasar. Panik ... Reno dan aku mendekat. Beberapa pengunjung yang sedang menikmati makan siang pun turut menoleh menyaksikan kegaduhan yang dibuat Hani.

Di sana tampak telunjuk Hani berada tepat di depan wajah Riri, tapi gadis itu hanya diam mendapat perlakuan kasar seperti itu. Aku segera masuk, dan menyeret paksa tangan Riri sebelum Hani menghajarnya lebih jauh karena sudah berani berduaan dengan Pak Arya.

“Kamu nggak usah ikut campur. Kamu cuma koki di sini!” telunjuk Hani kini pindah ke arahku yang berdiri di sebelah Riri. Sementara Pak Arya berdiri di belakang Hani, mencoba menenangkan wanitanya yang sedang dilanda cemburu. Kepalaku panas, darahku kembali mendidih dihina seperti itu. Reno mengusap lenganku, berusaha menenangkan agar tidak termakan ucapan Hani yang pedas.

“Ayo, Ri!” Aku menarik paksa tangan Riri yang bergeming. Dibantu Reno, akhirnya Riri berhasil kami bawa keluar ruangan itu. Hani menutup pintu dengan keras, tak lama terdengar adu mulut antar keduanya.
Pandangan mata Riri tampak kosong, tidak ada gairah kehidupan di sana. Reno memperhatikan dengan penuh sayang. Kami bertiga duduk di tempat biasa. Tidak perlu khawatir, karena restoran akan ditutup saat jam istirahat.

“An ... ambilkan air minum!” seru Reno dengan nada memerintah. Aku pun segera masuk ke dapur mengambilnya.

Aku melihat tangan kanan Reno menyentuh kening Riri saat kembali. Gelas yang berisi air kuserahkan padanya. Mulut lelaki itu tampak komat-kamit dengan mata terpejam, entah apa yang sedang dia lakukan.

Beberapa saat kemudian, Reno membuka mata, dan menyodorkan gelas itu ke arah Riri.

“Ri ... minum!” seru Reno.

Riri meminumnya beberapa tegukan. Kedua matanya mengerjap sebentar lalu menoleh ke arahku dan Reno.

“Aku kenapa?”

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 09, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Suamimu di Atas Ranjangku (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now