lezatnya jantung Heru

21 1 0
                                    

Berbekal kunci cadangan, aku dan Riri berangkat lebih pagi dari biasanya. Saat kaki hendak masuk ke dapur, Pak Heru memanggil dan meminta kami menghadapnya. Dengan perasaan sedikit berdebar dan takut, aku dan Riri memasuki ruangan Pak Heru. Lelaki berkumis tipis itu tersenyum simpul.

“Kalian ke mana kemarin?” tanya lelaki berambut ikal itu, bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapanku.

“Ana sakit, Pak. Saya antar ke dokter kemarin,” jawab Riri. Pak Heru menoleh ke arah Riri dan diam sejenak.

“Ya sudah. Kamu boleh kembali bekerja!” seru Pak Heru singkat. Riri pun keluar meninggalkan kami berdua.

Aku cukup heran dengan sikapnya hari ini, biasanya jika ada karyawan yang membolos dengan sengaja, ia akan mencaci maki lalu memotong gaji tanpa perasaan. Dan lebih parah, tanpa menoleh ia akan memecatnya langsung.

Pak Heru masih berdiri di hadapanku dengan tatapan aneh. Bibirnya yang berwarna merah muda tersenyum manis padaku.

“Dan kamu, Ana. Gajimu saya tahan untuk bulan ini. Dan bisa kamu ambil bulan depan,” ucapnya dengan tanpa rasa bersalah. Mataku membelalak, sumpah demi apa jika aku diancam dengan hal lucu seperti ini.

“Tapi, Pak ....” Belum selesai aku berkata, telunjuk lelaki buaya itu tertahan di bibirku.

“Saya tidak suka dibantah,” ucapnya. Aku menahan napas saat tangannya juga membelai pipi.

“Pak ....”

“Saya akan berikan gaji kamu, asal kamu mau menemani makan malam, Ana,” ucapnya lagi.
Aku mundur satu langkah, menghindar saat kedua tangan lelaki itu menyentuh wajahku lebih dalam. Dengan pandangan sedikit kecewa karena aku sama sekali tidak tertarik dengan rayuannya, Pak Heru membalikkan tubuhnya dan kembali duduk.
“Saya butuh uang itu buat bayar kontrakan juga biaya adik saya sekolah, Pak. Mohon Bapak mengerti,” ucapku berusaha tetap sopan. Awalnya, aku mengira akan dipecat, dengan mendapatkan uang gaji terakhir.

“Saya tidak akan mempersulit kamu, An. Saya hanya meminta kamu menemani saya makan malam. Itu saja!”

Shit!

Dasar buaya! Playboy! Biadab! Sudah berapa koki sebelumku yang kau ajak makan malam, lantas menjadi pemuas nafsu bejat dalam semalam? Berakhir pemecatan, hingga depresi dan berakhir bunuh diri. Miris. Setidaknya itu yang kutahu dari seorang koki saat pertama masuk restoran ini.
Lelaki ini pandai berkilah. Aku bukan tidak berani menghajarnya sekarang, tapi  melakukan itu  malah akan memperkeruh suasana.

“Bisa saya pikirkan dulu, Pak?” tanyaku kemudian, setelah beberapa saat kami terdiam.
“Tentu!” Heru tersenyum miring saat mendengar jawaban yang kuberikan.

“Kalo gitu, saya permisi.” Aku memutar badan, tidak peduli bagaimana tatapan lelaki itu padaku.
Pintu yang seluruhnya terbuat dari kaca kubanting keras. Dengan hati kesal aku kembali ke dapur.

***

Akhir minggu ini aku berencana pulang. Menghibur Ratna yang sedang berduka, juga menengok adik perempuanku satu-satunya yang terpaksa kutinggal sendiri di rumah. Yang kumiliki hanya dia setelah kedua orang tuaku meninggal.

Ah ....

Otakku beku memikirkan cara mengambil gaji tanpa harus menuruti permintaan lelaki iblis itu. Mau pinjam pada Riri, itu tidak mungkin.

Pertengahan bulan kemarin ia mengatakan jika akan membelikan kado untuk ulang tahun ibunya.

Kulirik buku tabungan. Kosong. Terakhir uang itu aku gunakan membiayai paman yang sedang dirawat karena demam berdarah. Awalnya aku enggan membantu, pasalnya lelaki yang mengaku adik dari ibuku itu sama sekali tidak pernah peduli saat keluargaku dalam keadaan susah. Terlebih di saat aku mengalami depresi akibat perceraian.

Aku harus menghadapi itu hingga bisa bangkit sendiri. Kekuatan yang aku miliki adalah adikku. Hanya dia.

Aku melempar buku itu sembarangan, menyandarkan punggung yang terasa lelah. Di dalam sini ada hati yang terluka parah. Kenapa kaum lelaki bisa semena-mena mempermainkan kaum perempuan, terlebih jika perempuan itu menyandang status janda sepertiku?

Aku memang janda, tapi aku tidak murahan. Bukan pula pelakor yang sering dituduhkan orang-orang.

Riri memandangku dengan tatapan iba. Ia mengetahui jika gajiku bulan ini ditahan. Awalnya, ia menawarkan meminjamkan separuh gajinya, tapi kutolak. Enggan membagi duka padanya.

“Kamu kan Sabtu ini pulang, Na. Terus gimana?” tanyanya dengan nada penuh khawatir. Aku terdiam, lalu menyeruput ice lemon sampai tersisa setengah.

“Nggak tahu, Ri. Gimana nanti aja.” Aku tertunduk lesu, berusaha tersenyum. Menenggelamkan diri dengan sibuknya pekerjaan. Terlebih memasuki waktu menjelang dinner. Ah, setidaknya kesibukan ini bisa membuatku lupa jika aku tidak punya uang.

***

Sebuah pesan masuk saat aku hendak mandi. Pesan dari Pak Heru.

[Bagaimana, kamu mau saya ajak makan malam, Sayang?]

Cih .... Dengan pede-nya memanggil aku dengan embel-embel 'sayang’. Dasar kadal!

[Maaf, Pak. Saya tidak bisa!]

[Apa kamu nggak butuh uang! Jangan sok jual mahal. Janda saja kok belagu!]

Aku terduduk lemas di sisi ranjang. Tuduhannya membuatku semakin jijik pada kaum berjenis kelamin laki-laki. Terutama pada mereka yang mudah merendahkan kaum wanita.

[Tapi ... hanya sebatas makan malam saja, kan? Nggak lebih?]

[Tentu saja!]

[Baik kalo gitu. Tawaran Bapak saya terima. Tapi tolong transfer dulu gaji saya!]

[Gitu dong dari tadi. Aku mengerti wanita seperti apa dirimu. Jadi berhenti bersikap angkuh dan datanglah ke pelukanku!]

Cih! Astaga. Ada lelaki menjijikkan begitu.
Ponsel kulempar ke kasur, lalu beranjak mandi guna mendinginkan seluruh tubuh yang kurasa semakin panas. Tak lama terdengar sebuah notifikasi khas M-banking, tanda gajiku sudah ditransfer.

***

Malam ini terasa sedikit berbeda, pasalnya lelaki itu menagih janjinya. Pukul tujuh malam, aku sudah bersiap berangkat dengan Pak Heru. Lelaki hidung belang itu sudah berdiri di depan kontrakan dengan mobil putih.  Lelaki itu bisa sedikit bersantai, kendaraannya tidak akan mengganggu para tetangga, karena rumah ini berada di sudut gang dan hanya bisa dimasuki satu kendaraan saja. Aku sendiri heran dengan dia, seringnya gonta ganti mobil. Untuk apa? Pamer?
Tanpa menunggu lama, aku keluar dengan penampilan seadanya. Jeans hitam dengan kaus biasa, tanpa make up tentunya.

Dengan perasaan sedikit takut, aku masuk ke dalam mobil saat lelaki itu membukakan pintu. Mobil pun melaju ke arah jalan raya yang ramai. Tidak ada percakapan selama perjalanan, karena aku lebih memilih diam dan tidak menanggapi semua ucapannya.

Suamimu di Atas Ranjangku (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang