rencana Arya

10 2 0
                                    


Dengan cepat aku menuju ojek yang sedang mangkal, lalu memintanya mengikuti mobil putih tersebut. Setelah melakukan pengintaian selama lima belas menit kurasa, mobil Arya berhenti di sebuah rumah lantai dua. Entah itu milik siapa, yang jelas keduanya masuk setelah memarkirkan mobil di luar pagar. Aku turun dari ojek dan membayarnya, lalu berjalan perlahan mendekati pagar cokelat itu.

Sial!

Aku hanya bisa mengumpat saat pintu rumah itu tertutup rapat. Aku berpikir ulang, untuk apa menyelisik lebih jauh hubungan mereka? Sejauh yang kutahu tentang kehidupan keduanya, Arya masih single. Dan Hani? Dia terlihat sudah tidak peduli pada suaminya itu, terlebih saat Heru tak ada kabar selama dua bulan lebih. Yang membuatku heran, wanita itu sama sekali tidak mencari keberadaan suaminya. Aneh.

***

Entah sejak kapan gosip tentang kedekatan Arya dan Hani beredar. Aku yang bodoh atau memang tidak terlalu peduli. Beberapa karyawan yang sedang bergosip mengatakan jika Hani sudah lama menjalin hubungan dengan Arya di belakang Heru. Ah, ribet. Tak mau ambil pusing dengan apa yang terjadi, aku lebih memilih fokus bekerja.

Riri menyikut lenganku, setengah berbisik mengatakan. Aku tidak terlalu terkejut menanggapinya, karena mata ini sudah menangkap basah saat keduanya masuk ke dalam sebuah rumah kemarin lusa.

“Kok, kamu biasa aja sih, An? Nggak kaget denger berita ini?” Riri yang sedang memotong bawang bombay menghentikan pekerjaan, tubuhnya diputar menghadap ke arahku.

“Apa?” tanyaku dengan nada ketus.

“Kok, kamu nggak kaget. Pak Arya pacaran sama istrinya Pak Heru, An? Kok, kamu bisa secuek ini?” Riri kesal karena aku tidak menanggapinya. Aku memilih menghindari ucapannya, malas.

“Ana!” panggilnya lagi.

Aku bungkam. Tak menjawab perkataannya. Sepertinya dia sadar  karena aku tidak mengindahkan, Riri pun kembali fokus memasak dan membiarkan aku sendiri.

Di dapur hanya ada aku dan Riri, koki yang bertugas memasak, juga tiga orang asisten koki yang bersiap jika kami memerlukan bahan yang harus dimasak. Satu orang khusus mencuci perkakas kotor. Reno dan beberapa waitress berjaga di depan  melayani para tamu yang datang.

“Ana ... Hani datang lagi ke ruangan Pak Arya.” Reno tiba-tiba datang mengajak bergosip ria. Aku masa bodoh. Lelaki itu  memasang wajah antusias, seolah menanti reaksi yang akan aku berikan.

“Ana!” seru Reno dengan nada kesal saat aku tidak menanggapi pengaduannya. Riri yang bersisian denganku memberikan isyarat agar Reno pergi, tapi dasar lelaki yang notabene kepala batu, ia sama sekali tidak menggubris Riri. Dengan usaha keras Reno berusaha mengambil alih perhatianku yang sedang fokus memotong daging sapi.

Pisau daging menancap lurus di atas talenan. Kutatap wajah Reno yang berdiri di hadapan. Pandangan kami beradu, seketika wajah lelaki itu mendadak pucat seperti mayat.

“Profesional di jam kerja. Kalo mau ngobrol nanti jam istirahat, Ren!” seruku kesal. Tanpa berkata lagi, Reno keluar dari dapur.

Heran, tidak biasanya lelaki itu kepo urusan orang, bahkan mengajakku untuk bergosip. Ah, sikap dan hati manusia memang tidak bisa ditebak.

Jam istirahat saat aku dan Riri sedang mengobrol santai di belakang restoran menikmati lemon ice.  Reno datang turut bergabung.

“Tadi kamu mau gosip apa, Ren?” tanyaku saat lelaki itu mengambil posisi duduk sebelah kiri, dan aku di antara keduanya.

“Hani datang lagi ke ruangan Pak Arya tadi. Lama banget, tapi tadi pas aku lihat Hani keluar dari sana rambutnya berantakan!”

Aku mendengarkan saksama, mulut Riri tampak menganga saat Reno menjelaskan apa yang sudah dilihatnya.

“Maksud kamu apa, Ren?” tanya Riri.

“Kayaknya mereka habis ngelakuin sesuatu. Tapi ... entah juga. Aku nggak mau berasumsi tanpa bukti,” tutur Reno.

“Kemarin lusa saat aku libur, aku melihat Hani jalan sama Pak Arya,” ucapku enteng. Membuat mulut Riri dan Reno menganga.

“Sumpah kamu, An?” tanya keduanya bersamaan. Aku mengangguk. Reno dan Riri menatapku seolah tak percaya.

“Terus?” tanya Reno semakin ingin tahu.

“Aku ikuti mereka, dan ....”

“Dan apa, An?” tanya Reno tidak sabaran.

“Eh, kamu tau rumah Pak Arya di mana?” tanyaku pada Reno.

“Di perumahan, daerah Cilandak,” ucap Reno.

Tepat dugaanku, bahwa lelaki itu mengajak Hani ke rumahnya. Untuk apa? Ah, semakin bingung membayangkan itu semua.

“Kamu nanya rumah Pak Arya ada apa? Kamu lihat Pak Arya ngajak Hani ke rumahnya?” tanya Reno tepat sasaran. Aku mengangguk.

Reno dan Riri seolah anak kembar saat keduanya menepuk jidat masing-masing. Pertanyaan besar dalam otakku, ada hubungan apa keduanya? Hani yang kulihat begitu mencintai sosok Heru, kini dengan mudah jalan dengan Arya? Ya ampun, hati manusia.

***

Seperti biasa, jika pulang kerja Riri mengajakku bersantai sejenak di taman yang tak jauh dari kontrakan. Kuiakan ajakannya, berbekal dua cup es krim, kami duduk di ayunan menikmati waktu santai berdua dengan semilir angin menerpa wajah, sejuk.

“Ri ... Reno suka sama kamu. Benaran!” seruku membuka percakapan setelah beberapa saat hanya diam dan menikmati dinginnya es krim.

“Menurutmu begitukah, An?” tanya Riri, menatapku dengan wajah lugunya. “Tapi aku belum siap pacaran, An.”

“Nggak harus pacaran. Kamu bisa lebih peka sama sikapnya aja. Jangan cuek kaya aku, Ri. Kamu masih muda, jalanmu masih panjang.” Aku melirik sekilas ke arah Riri. Gadis itu hanya diam dengan wajah menunduk.

“Tapi aku takut.” Riri mengangkat wajahnya dan menatapku.

“Belajarlah mengatasi hatimu. Buang rasa takut. Jika nanti kamu sakit, anggap saja itu vitamin agar kamu lebih kuat ke depannya.”

“Aku pun ingin begitu. Tapi aku belum siap!”

“Kamu bisa lebih baik dari aku, Ri. Terima kehadiran Reno dalam hidupmu. Kamu pun berhak mendapatkan cinta dari orang lain. Jangan kurung kebahagiaanmu sendiri.”

“An ....”

“Jangan menjadi pecundang sepertiku, Ri.”

“Kamu bukan pecundang, An. Aku salut kamu bisa kuat dan tegar di saat orang memandang rendah dirimu hanya karena status janda yang kamu sandang. Jika aku ada di posisi kamu, aku nggak akan bisa sekuat dirimu!”

“Jangan berlebihan!” tegasku. Selama dua tahun menyandang status janda, baru kali ini ada yang merasa bangga akan diriku.

“Aku nggak berlebihan, Ana. Kamu seperti sosok kakak bagiku. Selama ini aku selalu bergantung padamu. Terima kasih,” ucap Riri, terdengar penuh ketulusan.

“Udah malam, Ri. Pulang, yuk,” ajakku seraya berjalan terlebih dulu. Malas melanjutkan percakapan yang sudah bisa dipastikan malah Riri memaksaku yang harus membuka hati untuk lelaki.

***

“Pagi, Riri!” Entah ada angin apa, pagi ini Pak Arya menyapa di dapur.

Riri yang tengah sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk menu hari ini tampak terkejut. Dengan sigap aku berdiri di sebelahnya, firasatku mengatakan ada hal yang tidak beres yang akan terjadi.

“P-pagi, Pak!” seru Riri gelagapan. Terkejut akan mendapat sapaan pagi dari seorang pria yang nyaris akan memperkosanya.
“Kamu sehat?” tanyanya dengan nada bicara selembut mungkin.

Aduhai tumben sekali. Ke mana aja kamu, Pak, belakangan ini? Sikapmu sukses membuat temanku nyaris depresi akibat ulahmu.

Jika aku ada di posisi Riri, tidak akan kujawab sapaannya yang begitu menjijikkan. Ingin rasanya kusobek mulut itu dengan pisau, agar tidak bisa lagi berkata manis. Cuih!

Riri hanya menganggukkan kepalanya, tak menjawab pertanyaan Pak Arya. Aku pun hanya diam memerhatikan keduanya tanpa ikut campur dalam pembicaraan.

“Jam istirahat tolong ke ruangan saya. Ada hal penting yang ingin saya bicarakan.”
Mulut Riri menganga. Tanpa menunggu persetujuan, lelaki berambut lurus itu berlalu meninggalkan dapur. Aku melirik sekilas ke arah Riri, tampak tangannya yang sedang memegang pisau gemetar. Tanda ia sedang ketakutan.

“Tenang, Ri. Ini restoran. Ramai orang. Temui saja Pak Arya nanti. Aku dan Reno akan berjaga-jaga dari jauh. Oke!” ucapku menenangkan Riri.

Suamimu di Atas Ranjangku (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now