Prolog

2K 287 56
                                    

Jakarta, 2019.

For most girls, their dad is meant to be their first love. But for me, he was my first love and my first heartbreak.

Sembari melangkahkan kaki di Stasiun Manggarai yang tak pernah sepi, pikiran gue melayang pada kenangan masa kecil. Rasanya aneh ketika gue mengingat betapa harmonisnya hubungan gue dengan ayah gue dahulu. Kalau dipikir-pikir, ayah adalah sosok yang sangat gue kagumi. Namun, itu semua berubah sejak sebelas tahun yang lalu.

Ingatan ketika gue menghadiri pemakaman bunda masih menjadi memori buruk untuk gue. Bunda meninggalkan gue yang kala itu baru berusia sepuluh tahun. Tidak ada yang menyangka kalau Tuhan akan menjemput bunda lebih dulu, semua terjadi secara tiba-tiba.

Awalnya, hidup berdua dengan ayah terasa begitu berat. Keadaan memaksa ayah untuk berperan sebagai sosok ibu bagi gue. Cinta ayah kepada bunda yang amat besar membuat ayah tidak rela dengan kepergiannya. Ayah berubah menjadi seorang workaholic, ia menjadi sangat gila kerja untuk mengalihkan pikirannya dari bayangan bunda.

Kepergian bunda juga memberikan dampak lain untuk ayah. Orang yang dahulu gue kenal sebagai orang paling lembut pun berubah menjadi temperamen. Banyak tekanan yang diterima oleh ayah pasca bunda pergi, hal itu berdampak pada psikologisnya.

Gue yang masih kecil saat itu sering menjadi samsak amarah ayah tatkala beliau sedang diliputi amarah. Ayah berteriak, melempar barang, bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap gue. Seolah dirasuki oleh sesuatu yang jahat, ayah gue berubah. Gue tak lagi mengenal sosoknya yang lama. Tentu kekerasan yang gue terima saat itu juga berpengaruh pada perkembangan gue, terutama mental.

Ayah yang mengenalkan gue pada cinta, tetapi ia juga yang mengenalkan gue pada trauma.

Gema teriakan ayah ketika ia marah masih sering menggema di pikiran gue. Sesak, gue menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Tangan gue merogoh isi tas untuk mencari permen kopi yang selalu gue bawa ke mana-mana.

"Manusia itu perasa dan sensitif, ya. Perasaan kalian mudah banget goyah karena ingatan masa lalu." Suara asing itu terdengar di telinga kiri gue. Panasnya Jakarta siang hari ini bercampur dengan hawa tidak mengenakkan dari sisi kiri tubuh gue.

Walaupun gue mendengar dengan jelas kata-kata yang diucapkannya, gue memilih untuk mengabaikannya. Makhluk itu sepertinya enggan menyerah, ia tetap mengikuti gue menyusuri peron.

"Sombong banget, aku tahu kamu bisa lihat aku. Coba sini cerita, apa masalahmu?" ucap makhluk yang rupanya terlihat seperti manusia, padahal aku tahu ia hanyalah jin yang tengah berwujud menyerupai manusia.

Karena gue risih diikuti olehnya, gue pun membalas, "Bukan urusan makhluk kayak kamu."

Ya, gue adalah salah satu dari mereka yang disebut sebagai indigo. Kemampuan ini sudah gue miliki sejak kecil walaupun sempat tertutup. Bunda bilang, kemampuan gue adalah turunan dari salah satu abangnya yang merupakan paman gue. Penglihatan mata batin gue ditutup paksa ketika gue berumur delapan tahun sebab dulu gue sering kali sakit-sakitan akibat tak kuat menahan energi yang berdatangan. Namun, entah bagaimana ceritanya, tahu-tahu empat tahun yang lalu—tepatnya waktu gue ulang tahun yang ke-17, kemampuan ini kembali.

Makhluk itu berdecih, kemudian mengalihkan topik pembicaraan, "Kamu sering pergi ke sini, ya? Sepertinya aku pernah lihat kamu di stasiun ini."

Sebagai pengguna setia commuter line, tentu saja Stasiun Manggarai adalah salah satu stasiun yang sering gue singgahi untuk transit. "Iya, sering."

"Kalau begitu, kamu sudah pernah melihat kereta hantu?" tanyanya lagi. Kali ini sepertinya ia terlihat lebih antusias.

Dahi gue mengernyit, kisah horor tentang kereta hantu di Stasiun Manggarai memang sudah melegenda sejak lama, tak sekali atau dua kali gue mendengar kisah tersebut. Akan tetapi, sejujurnya gue belum pernah melihat kereta hantu itu secara langsung.

Hey Jakarta [CITY]Where stories live. Discover now