Menyesal

1.3K 167 68
                                    

☆ Author

Sudah hampir satu minggu lamanya Renata berdiam diri di kamarnya. Kondisinya memang sudah membaik, tapi dia masih takut berada di luar rumah.

Kerjaannya hanya melamun saja, membuat orang-orang disekitarnya khawatir. Dia bahkan sengaja menahan kantuknya hingga menimbulkan lingkaran hitam di sekitar matanya karena tiap kali dia tidur, mimpi buruk akan selalu mendatanginya.

Dalam lamunannya, dia juga memikirkan keberadaan Leona. Teman-temannya bilang kalau kekasih hatinya itu sudah beberapa hari ini tak masuk sekolah. Mereka tak mendapatkan kabar apapun dari Leona.

Lamunannya buyar saat sebuah tangan mendarat lembut di kepalanya, membuat gadis itu menoleh ke belakang.

"Bunda." Lidya tersenyum lembut pada putrinya.

"Lagi mikirin apa sayang?" Renata tersenyum tipis dan menggeleng pelan.

"Gak mikirin apa-apa kok bun, aku cuman lagi mikirin berapa banyak pelajaran yang aku tinggal," ucap Renata yang tak ingin membuat sang bunda khawatir.

"Oh.. anak bunda ini lagi mikirin pelajaran? Mending kita makan siang dulu yuk!" Ajak Lidya yang ingin mengalihkan perhatian putrinya karena dia tau anaknya tidak benar-benar sedang memikirkan pelajaran.

"Ayo bun."

Keduanya berjalan beriringan menuju meja makan dimana telah tersedia berbagai macam makanan kesukaan Renata.

"Sini kak, duduk sebelah Vivi," ucap Alvi antusias.

Ketiganya mulai makan tanpa suara, hanya terdengar dentingan sendok dan garpu yang menyapa piring saja yang meramaikan suasana di meja makan itu.

"Ahh kenyang! Bun, kak, Vivi ke kamar dulu ya, mau ngerjain pr." Alvi berlalu meninggalkan ibu serta kakaknya yang masih duduk tenang berhadapan dengan piring kosong bekas mereka.

"Biar Rena aja yang beresin bun," ucap Renata yang merasa tak enak karena selama dia diam di rumah dia tak melakukan apapun.

"Kita beresin bareng aja yuk!" Ajak Lidya mencari jalan tengah.

Akhirnya ibu dan anak itu pun membersihkan peralatan bersama-sama. Lidya menyabuni peralatan yang kotor dan Renata yang membilasnya. Mereka memang terbiasa melakukan hal ringan seorang diri tanpa bantuan Asisten Rumah Tangganya.

"Bun, akhir-akhir ini papa sibuk banget ya?" Renata membuka obrolan, dia merindukan papanya yang belum terlihat sejak beberapa hari ini.

"Sepertinya begitu, kamu tau sendiri kan gimana papa kalo udah kerja? Apalagi gak bunda temenin. Biar aja papa kewalahan karena gak ada bunda, hehe." Lidya terkekeh puas, dia memang menghukum suaminya dengan cuti dari pekerjaannya sebagai sekretaris sang suami.

"Rena kangen sama papa," lirih Renata. Lidya tersenyum sendu mendengar keluhan sang putri.

"Papa tau keadaan Rena gak bun? Pasti papa marah ya sama Rena?" Kejar Renata.

"Papa tau kok sayang, tapi kenapa papa harus marah? Justru bunda yang marah sama papa karena sudah melakukan kesalahan."

"Tapi.. kayaknya papa gak khawatir sama Rena." Lidya membersihkan tangannya yang penuh busa sabun sebelum fokus pada putrinya.

"Papa khawatir kok sama kamu, percaya deh sama bunda." Renata terdiam dan memandang wajah serius Lidya kemudian memeluk bundanya itu erat.

"Rena percaya kok sama bunda. Makasih bun udah dengerin Rena."

"Sama-sama sayang."

'Andai saja kamu tau betapa menyesalnya papa kamu,' batin Lidya. Dia bersyukur karena suaminya sudah menyadari kesalahan yang selama ini dilakukan pada putrinya.

Can I ? [Slow Update]Where stories live. Discover now