It's Better That We Break (2)

719 94 30
                                    

☆ Author

"Nata sayang, kalau kamu sudah selesai sarapan papa tunggu di ruang kerja ya. Papa mau ngomong sama kamu." Arya beranjak setelah mengecup kening ketiga perempuannya.

"Ada apa ya bun?" Renata yang penasaran bertanya pada Lidya.

"Nanti juga kamu tau, sudah habiskan dulu sarapannya," ucap Lidya memberi senyuman untuk menenangkan putri sulungnya.

"Nanti kita jadi ke mall-nya kan kak?" Alvi mengalihkan perhatian Renata.

"Jadi dong Vi, nanti kita main sepuasnya."

"Asik!"

Renata melanjutkan sarapannya dengan hati resah, rasanya seperti akan ada hal buruk yang terjadi.

Toktok...

"Ada apa pa?" Tanya Renata setelah membuka pintu ruang kerja papanya.

"Sini masuk sayang," ajak Arya sambil beranjak untuk pindah duduk ke sofa agar pembicaraan mereka terlihat lebih santai.

Renata masuk setelah menutup pintu dan mengambil tempat duduk tepat disebelah papanya.

"Papa mau ngomongin apa?" Tanya Renata, nampak sekali ketegangan diwajahnya.

"Putri cantik papa kok tegang sekali?" Arya tertawa melihat ekspresi putrinya yang berubah cemberut.

"Santai aja sayang, papa gak lagi sidang kamu kok." Arya menjeda ucapannya untuk menghilangkan ketegangan yang putrinya rasakan.

"Renata, papa sayang sekali sama kamu. Selama ini papa selalu menutup mata dan mencoba untuk membenci putri papa sendiri padahal kamu tak bersalah sama sekali, papa menyesali perbuatan papa sampai rasanya minta maaf setiap menitpun belum bisa membayar penyesalan itu."

"Papa.." Renata tak kuasa memeluk papanya. Arya membalas pelukan putrinya dengan mata berkaca-kaca.

"Saat papa sadar ternyata papa sudah terlambat, kamu sudah beranjak remaja. Papa sangat menyesal sudah mengabaikan putri kecil papa ini selama bertahun-tahun. Papa melewatkan kesempatan untuk mendampingi masa kecil hingga remaja kamu. Maafkan papa sayang." Setitik air mata jatuh dipipi Arya.

"Nggak pa, papa jangan ngomong gitu. Nata udah maafin papa sejak lama. Yang harusnya minta maaf itu Nata karena udah kecewain papa, Nata belum bisa bikin papa bahagia." Renata sudah terisak dipelukan papanya.

"Kamu salah sayang. Hari saat kamu lahir merupakan hari terhebat buat papa, itu sudah menjadi kebahagiaan terbesar buat papa."

"Nata sayang banget sama papa."

"Harus dong! Papa kan cinta pertama kamu, hahaha." Arya mencoba untuk mengakhiri suasana haru antara dia dan putri sulungnya. Perlahan pria yang masih terlihat tampan di usia pertengahan empat puluh itu melepas pelukan putrinya. "Udah jangan nangis lagi. Liat muka kamu jadi merah kayak pantat baboon."

"Ihh papa." Renata merengek mendengar ejekan dari papanya yang malah asik tertawa.

Dengan kedua tangannya, Arya menyapu air mata Renata. "Papa lebih suka lihat muka cemberut kamu daripada nangis seperti ini, seperti habis disiksa saja." Masih saja dia mengejek putrinya.

"Liat tuh papa juga nangis!" Renata ikut mengejek sambil ikut mengusap air mata dipipi papanya. Keduanya terkekeh melihat tingkah satu sama lain.

Hening beberapa saat, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

Can I ? [Slow Update]Where stories live. Discover now