Part 34 "Mode perang"

76.5K 3.5K 159
                                    

Selang satu bulan setelah peristiwa lamaran yang berujung penolakan, Aya benar-benar menepati janjinya untuk tidak berhubungan lagi dengan pak Bisma.

Sebisa mungkin Aya menghindari dosennya, baik di lingkungan kampus atau pun diluar kampus. Bahkan nomor telfonnya pun sudah ia blok. Semua akses komunikasi ia tutup. Perempuan kalau terlanjur kecewa memang tidak main-main.

Tatkala terdapat makul yang di ajar pak Bisma, Aya memilih berhalangan hadir. Entah dengan alasan sakit, izin, ataupun membolos.

Seperti hari ini, Aya kembali tidak mengikuti kelas pak Bisma. Tentu saja membuat pria itu semakin uring-uringan, sebab selama sebulan penuh ia tidak bertatap muka dengan gadisnya. Jangankan bertemu langsung, lewat ponsel saja tidak di gubris.

Rindu? Sekalipun iya, namun pak Bisma tetap tak mengakuinya. Harga diri yang begitu tinggi, menuntutnya bersikap gengsi.

"Hayati tidak masuk lagi? Ada yang tahu kenapa?" Pak Bisma bertanya kepada murid-muridnya sembari matanya sibuk berkeliling.

"Katanya kucingnya mati, Pak!" jawab seseorang dengan lantang. Ia tidak sadar dengan apa yang dilontarkannya.

Pria tambun berambut jabrik tersebut bernama Bimo. Dia terpaksa menggantikan posisi Dina, yang mana menjadi ketua kelas sebelumnya pada makul Sastra Inggris. Karena suatu hal, Dina memilih mengundurkan diri.

Sebagai ketua kelas, Bimo harus mengkoordinir teman-temannya. Dengan kata lain, ia bertugas menjadi jembatan penghubung antara dosen dan murid. Seperti pengumpulan tugas, informasi ulangan, dan lain-lain.

Kembali ke hal tadi.

Pak Bisma lantas menoleh ke sumber suara dengan dahi mengernyit.

"Kucingnya ... mati?"ulangnya setengah tak percaya.

Alasan macam apa yang gadis nakal itu berikan? Sangat tak masuk akal, sambungnya dalam hati.

"Maaf, Pak. Maksud saya Encingnya meninggal."Bimo meralat ucapannya dengan cepat.

Sedangkan pak Bisma mangut-mangut paham dan tidak bertanya terlalu jauh. Bimo pun bernafas lega. Hampir saja ia ketahuan, bisa gawat di amuk Aya. Menyandang predikat badgirl dan berandalan kampus, jelas tidak ada yang berani menentang titahnya.

Andai gue gak takut sama tuh cewek tarsan, mana mau disuruh bohong begini, batin Bimo kesal.

Pak Bisma mengajar tanpa gairah. Karena tidak fokus, beberapa kali ia melakukan kesalahan, seperti salah menjelaskan materi.

Emosinya pun menjadi tak stabil. Ia tidak tahu mengapa dirinya menjadi sesensitif sekarang. Yang terkena dampaknya adalah mahasiswa-mahasiswinya. Mereka dimarahi tanpa sebab.

"Pak Bisma kenapa sih? Sempaknya bolong ya? Pantes marah-marah mulu," celetuk Cici sembari berbisik ke arah Jojon. Bukannya menjawab, Jojon justru diam dan menunduk. Enggan menanggapi celetukan sahabatnya.

"Heh, Jon? Menurut lo sempak pak Bisma bolong apa enggak?" desaknya. Cici belum sadar jika objek yang digunjingnya tengah berada di sebelahnya dengan tangan bersedekap serta mata berkilat marah.

Tiba-tiba, sebuah deheman keras mengagetkannya. Cici yang kualitas otaknya sebelas dua belas dengan Aya, ia pun menoleh gugup.

Mampus gue! Cici meringis dalam batin ketika pandangannya bertubrukan dengan mata elang sang dosen.

"keluar!"

"Siapa, Pak?" tanya Cici ragu-ragu.

"Kamu! Segera keluar saat ini juga!" nadanya meninggi satu oktaf sembari tangannya menunjuk ke arah pintu.

Aya dan Pak Dosen Galak!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang