Arabella 31

7.1K 789 56
                                    

Happy reading 🖤
.
.
.
.
.
.

Dengan kekuatan yang tersisa, Via berusaha untuk bisa kuat dalam memapah tubuh Ara. Ya, saat ini kedua gadis itu tengah berada di jalan malam yang sepi. Rasanya mereka sudah berjalan cukup lama, namun jalan ini tak kunjung berakhir. Tidak ada satupun kendaraan yang berlalu lalang, hanya ada pepohonan rindang tanpa ada rumah yang berpenghuni.

Bulir bening sejak tadi tak henti-hentinya mengaliri wajah gadis itu. Sudah beberapa kali ia mencoba untuk menghubungi Nathan untuk meminta bantuan, namun satupun pesan yang ia kirim dibalas, hanya ada tanda bahwa pesannya telah terbaca. Tidak akan mungkin Nathan tidak sengaja melakukan itu, sejak tadi tertulis status online di kontak pria itu. Beberapa kali Via mencoba untuk menelfon Nathan juga namun hasilnya sama saja Nathan tidak menjawabnya.

"Yaampun, kenapa handphone Via harus lowbat sekarang, sih! Gimana ini, mana jalannya udah gelap banget lagi. Siapa aja tolongin Via," gerutu gadis itu merasa kesal dengan handphonenya, kenapa benda pipih itu harus lowbat dalam situasi yang tidak tepat seperti saat ini.

Tidak ingin larut dalam kesedihannya, Via mulai menambah kecepatan berjalannya. Entah mengapa, meskipun Ara sudah membaluti lukanya menggunakan kain, tapi luka itu tetap saja terus mengeluarkan darah.

"Awww!" teriak Via kala merasakan kaki putihnya yang bergesekan dengan jalan, tanpa sengaja gadis itu menginjak batu yang membuatnya terjatuh. Bukan hanya ia saja, Ara juga ikut terjatuh bersamanya.

"Ara, Ara. Lo nggak papa, 'kan? Maafin gue, gue nggak sengaja nginjek batu. Sumpah Via nggak bisa liat apa-apa, soalnya ini gelap banget. Handphone Via lowbat, jadi nggak bisa dipakai buat jadiin penerang!" Meskipun ia tahu Ara tidak akan menjawab, karena keadaan gadis itu yang sedang pingsan, Via terus saja mengajak Ara untuk berbicara sejak tadi.

Sudah beberapa kali Via mencoba untuk bangun, namun tidak ada hasil dari usahnya itu. Luka di kakinya itu terasa sangat sakit, yang membuatnya kesulitan untuk berdiri.

"Gue nggak papa. Nggak usah lebay!" ucap Ara dengan suara serak. Entah sajak kapan gadis itu telah sadar dari pingsannya.

"Akhirnya lo sadar juga, sumpah gue nggak tau lagi mau gimana. Nggak ada satupun kendaraan yang lewat, sebenarnya Naya bawa lo kemana sih ini? udah nggak berpenghuni banyak pohon-pohon besar gitu lagi."

Ara berusaha untuk duduk, karena posisinya saat ini dengan kepala yang berada di paha Via sangat membuatnya merasa tidak nyaman. "Lo nggak perlu tolongin gue lagi. Sekarang lo pulang aja duluan, tinggalin gue sendiri di sini! Gue nggak mau berhutang budi sama siapapun."

"Gue nggak mungkin ngelakuin itu. Lo nggak perlu berterima kasih sama gue, lo hanya perlu izinin gue tetap sama lo di sini!" sahut Via tegas.

Ara meringis pelan saat tak sengaja ia menyentuh kepalanya. Sungguh apakah ia masih bisa melanjutkan tujuannya selama ini, ataukah ini adalah akhir dari segalanya. Rasanya Ara sudah sangat lelah. Saat ia pingsan tadi, kejadian tujuh tahun lalu kembali menjadi hantu dalam mimpinya. Bagaimana senyuman keluarganya direnggut oleh pembunuh-pembunuh itu. Satu hal yang selalu menjadi penyesalan Ara, hingga saat ini masih membiarkan para hama itu hidup tenang dan tersenyum.

Reflek Via menutup kedua matanya, kala sebuah cahaya yang terang berjalan semakin mendekat pada kedua gadis itu. "Yaampun, apaan, sih, itu?!"

"Lo masih mau di situ?" tanya Ara sembari memasuki mobil mewah berwarna hitam.

Via menyipitkan kedua matanya, mencoba mencari tahu mobil siapa yang Ara masuki itu. Namun hal itu tidak ada gunanya, kaca mobil orang itu berwarna gelap dan juga tertutup. Ah, entahlah yang terpenting saat ini ada orang yang bisa menolong mereka. Via mulai berusaha untuk berlari masuk ke dalam mobil itu sama seperti yang dilakukan oleh Ara. "Yaampun, moga aja ini benar-benar orang baik. Nggak kebayang, deh kalau Via dan Ara nggak dianterin ke rumah sakit malahan dijual!" batin Via bergidik ngeri.

The Mission  [END]Where stories live. Discover now