| 10 | Rindu sendiri ◡̈

64 27 19
                                    

Happy Reading')

----

"Merindukan orang lain memang hal yang awam. Tapi pernahkah kamu merindukan dirimu sendiri? Dirimu di masa lalu misalnya."



°°°




Pukul tujuh lebih lima menit, Naya baru sampai di sekolah, yang berarti bel masuk akan berbunyi sepuluh menit lagi. Bagi Naya, tiba di sekolah pada saat jam seperti ini sudah masuk kedalam kategori kesiangan. Pasalnya, ia biasa sudah sampai di sekolah pada pukul setengah tujuh. Bukan tanpa alasan Naya melakukan itu, namun sudah jelas, Naya hanya ingin menghindari tatapan-tatapan murid lainnya yang selalu tidak mengenakan bagi Naya.

Seperti sekarang, Naya lagi-lagi harus mengalami kejadian yang sama, ditatap aneh oleh murid di SMA Antariksa. Apakah Naya semenyedihkan itu, sehingga dia selalu merasa dikucilkan.

"Mau sekolah apa mau ngegembel sih?" celetuk salah satu siswi yang sedang duduk didepan kelasnya.

"Ngegembel lah," sahut orang yang lainnya. Naya sungguh mendengar dengan jelas ucapan menyakitkan itu, namun ia tetap melanjutkan langkahnya tanpa peduli ocehan-ocehan lainnya yang hanya akan menambah sakit hati Naya.

Naya berjalan semakin cepat dengan pandangan menunduk, takut orang lain akan melihat kesedihan dalam raut wajahnya. Bagaimanapun, ia harus terlihat baik-baik saja.

Tanpa Naya duga, dari arah berlawanan nampak tiga orang siswa yang boleh dikatakan pangerannya SMA Antariksa. Istilah itu bukan hanya kata semata, melainkan berdasarkan kenyataan. Bukan salah lagi, tiga orang itu adalah Langit, Fardan dan Gibran. Langit, si cowok yang terkenal dingin dan kasar. Fardan itu kebalikan dari Langit, Fardan terkenal akan keramahan serta tingkah konyolnya yang selalu diluar nalar orang normal dan satu lagi, Fardan juga terkenal akan ke playboy-an nya, entah sudah berapa banyak wanita yang menjadi korban Fardan, yang terakhir ada Gibran, mungkin dia orang yang lebih mending dibandingkan dengan keduanya, karena Gibran tidak terlalu dingin seperti Langit dan juga tidak gila seperti Fardan. Ketiganya mempunyai kesamaan, yaitu ketampanan yang diatas rata-rata, meskipun tentu saja, kaum hawa masih banyak yang selalu tergila-gila kepada pesona seorang Langit.

"Pagi Naya," sapa Fardan, yang otomatis membuat langkah Naya terhenti.

Naya lantas mendongak, "Iya." Setelah mengucapkan itu, Naya langsung berjalan kembali, tapi Fardan malah menarik tas Naya, yang membuat Naya kembali mundur dan berakhir berada didepan tiga cowok idaman SMA Antariksa, itu menurut siswi lain, kecuali Naya.

"Kenapa?" tanya Naya, ia tidak ingin berlama-lama dengan ketiganya, pasalnya bel akan segera berbunyi dan yang paling Naya takutkan adalah diserang oleh fans Fanatik  mereka.

"Istirahat pertama ke kantin bareng, mau gak?" tanya Fardan, yang langsung dihadiahi pelototan tajam oleh Langit.

"Enggak, btw makasih karna udah mau obatin luka aku pas itu." Naya lupa, ia pada saat itu belum mengucapkan terimakasih kepada Fardan atas lukanya yang ia dapat pada saat insiden di gudang.

"Hehe, iya sama-sama," ucap Fardan sambil mengusap puncak kepala Naya, yang membuat orang-orang yang ada di koridor memekik kaget.

"Etdah Dan, udah deh masih pagi gak usah kardus lo ya, sini kita ke kelas, kelas kita dah kelewat dari tadi anjir." Merasa lelah akan kelakuan Fardan yang semakin menjadi, membuat Gibran dengan terpaksa harus menyeret Fardan.

"Aish, apaan sih lo Gib, ngehancurin pdkt gue aja," ujar Fardan sambil mencoba melepaskan tangan Gibran yang berada dilehernya.

"Kasian anak orang Dan, cewe itu bukan mainan." Gibran lalu melepaskan jeratan tangannya pada leher Fardan.

"Iya iya iya," kata Fardan, sambil merotasikan bola matanya malas. Sebelum jaraknya dengan Naya semakin menjauh, Fardan lantas bersiap untuk berteriak. Tarik nafas, oke siap, "Naya hari ini lo cantik banget!" Setelah mengucapkan itu, Fardan lantas langsung berlari terbirit-birit karna takut di amuk oleh Gibran. "Aish, dasar Fardan Anjir, kena karma tau rasa Lo!"

Sementara Naya masih mematung ditempat karena akan ucapan Fardan, baru kali ini ada yang mengatakan bahwa dirinya cantik. Mungkin memang hal sepele, namun tak bisa Naya cegah, senyum kecil terbit begitu saja dari bibir Naya. Perubahan ekspresi Naya itu tak lepas oleh pandangan Langit, jangan lupa, bahwa Langit memang sekelas dengan Naya, yang membuat mau tak mau ia berjalan dengan arah yang sama.

"Dih baperan lo," ujar Langit sambil menatap remeh kearah Naya. Naya yang dibilang seperti itu oleh Langit, lebih memilih untuk mengabaikannya saja. Naya lantas kembali berjalan, pasalnya dia hanya tinggal melewati satu kelas lagi.

"Nay mau bareng gak?" tanya Langit, yang lagi-lagi membuat langkah Naya berhenti, huft sesulit inikah untuk hanya sampai ke kelas? Batin Naya, ada-ada saja.

"Kemana?" Naya malah melihat Langit yang sedang menempelkan benda pipih kearah telinganya, "Oke Nayana Diana,", ucap Langit, lalu berlagak seolah mematikan panggilan telepon.

"Apa? Yang gue maksud itu Nayana, anak kelas si Fardan, bukan elo! Gak sudi gue," ucap Langit, setelah Langit berlalu meninggalkan Naya, berjalan menuju kelasnya, tanpa Naya ketahui Langit tersenyum kecil setelahnya.

Naya lantas semakin mengeratkan pegangan pada tali tas nya, ia merasa malu dan bingung, malu karena sudah jelas Langit berdalih tidak memanggilnya, lalu merasa bingung pula karena dia baru mendengar ada anak kelas Fardan yang bernama Nayana.

"Kok aku baru denger?"



°°°


Istirahat kedua, Naya memutuskan untuk membaca materi matematika yang akan di pelajari pada bimbingan sore nanti. Kenapa Naya memilih taman? Sudah jelas, karena taman merupakan tempat yang jarang di datangi oleh para murid, karena pada jam istirahat kantin lah yang menjadi tempat sasaran.

Semilir angin sepoi-sepoi membuat Naya semakin merasakan ketenangan. Membaca sambil memahami materi, tak terasa Naya sudah membacanya sampai akhir. Naya labtas Menghela nafasnya pelan, "Akhirnya beres juga," ucapnya. Sesuka apapun Naya pada matematika namun Naya juga masih sama seperti manusia biasa lainnya yang akan merasakan pusing akibat berlama-lama bergelut dengan pelajaran Matematika.

Naya menutup buku matematikanya, lalu berniat membuka buku yang lain, buku yang sangat privasi, hanya dirinya, tuhan dan langit saja yang tau. Menatap sekitarnya, melihat apakah aman atau tidak. Setelah memastikan aman, Naya membuka buku diary nya itu yang memiliki sampul berwarna abu-abu dan biru muda itu. Warna itu bukan hanya sembarang warna, namun memiliki arti yang begitu berarti bagi Naya.

Naya lantas membuka buku itu, lalu membacanya dengan sepenuh hati, mulai dari lembar pertama sampai lembar selanjutnya, yang membuat raut wajah Naya berubah-ubah, kadang Naya tersenyum lalu kembali terlihat sedih sambil menghela nafasnya kasar. Mungkin sudah bertahun-tahun yang lalu Naya membukanya, sudah lama sekali bukan? Sejak kejadian saat itu, Naya merasa enggan untuk membuka buku itu. Terlalu banyak kisah yang sulit Naya lupakan disana, Naya sangat senang dan selalu merasa bahagia pada saat itu, namun sekarang semuanya berubah. Satu yang harus kalian tau, dia merindukan Naya kecil, bukan Naya remaja yang selalu dirundung kesedihan.



°°°


Disisi lain, Nindi dan Rossa sedang menikmati syomay di kantin. Nindi memasukan makanannya secara lahap, tak peduli pada kata anggun pada dirinya. Merasa belepotan, Nindi mengambil beberapa lembar tissue yang ada didepannya, tak sengaja pandangannya jatuh pada Rossa yang tengah mengaduk minumannya sambil tersenyum-senyum sendiri, gila kah?

"Rossa, lo gila?"

"Gak berpaedah banget pertanyaan lo Nin," ujar Rossa sambil terkekeh pelan.

"Nye. Lo nyadar gak sih, lo itu jadi aneh tau gak? Udah muka lo pada bonyok, terus sekarang lo malah senyum-senyum sendiri, gimana gak heran gue." Nindi menghela nafas pelan, jengah akan kelakuan Rossa yang tidak jelas itu.

"Bacot! Lo pokoknya liat aja nanti, sesuatu yang besar bakalan terjadi," ujar Rossa sambil tersenyum smirk.

"Tunggu kehancuran lo Naya," batin Rossa merasa puas atas semua rencana yang akan ia lakukan nantinya.


-----



----

BUMANTARAWhere stories live. Discover now