"ASTAGA, kalian habis ngapain?"
Suara Bu Yusarin membuat Leona tersentak dari tidurnya, begitu pula dengan Stevanno yang ada di sebelahnya.
Tunggu. Di sebelahnya?!
Leona terperanjat, kemudian spontan berdiri dari baringnya. Stevanno yang terlalu tenang, justru masih berbaring di karpet perpustakaan dengan tasnya yang dijadikan bantal. Ada tas berwarna merah muda milik Leona di sebelahnya.
Leona menelan salivanya dengan susah payah, bertanya pada diri sendiri, apakah dia memang tidur sedekat itu dengan Stevanno semalam dan bagaimana bisa?
Stevanno menghalangi sinar matahari yang silau mengenai pandangannya dengan tangan, kemudian mulai bangkit dari baringnya.
"Maaf, Bu. Kita kekunci di sini semaleman." Leona menatap Bu Yusarin dengan tatapan sedikit khawatir.
"Hah?" Bu Yusarin membelalakkan matanya. "Gimana ceritanya bisa kekunci? Terus, AC-nya juga nyala semaleman?"
"Ah, soal AC… saya bakal ganti bayarannya ke sekolah, Bu, kalau perlu," ujar Stevanno meraih remote AC, kemudian mematikannya. "Ada yang ngunci dari luar, kemarin. Kuncinyaー"
"Saya yang salah, Bu. Saya gantungin kuncinya di pintu luar, jadi… yah, maafin saya," potong Leona, ragu-ragu.
"Yah… kalau gitu, kalian lebih baik pulang sekarang untuk mandi dan ganti seragam," ujar Bu Yusarin. "Kembali lagi ke sini pukul sembilan."
"Makasih, Bu."
Stevanno dan Leona segera berjalan keluar dari perpustakaan. Untung saja, Bu Yusarin, walikelas mereka, yang pertama kali menemukan mereka. Beberapa pasang mata menoleh ke arah mereka dengan tatapan bingung. Namun, tak ada yang menatap dengan tatapan aneh atau meledek.
Faktanya... semua orang segan kepada Stevanno. Selain Papa Stevanno terkenal di kota ini, Stevanno pun terlalu dingin untuk dijulidin.
"Lo jalan kaki?" tanya Stevanno dibalas anggukan oleh Leona. "Naik ke mobil, gue anter."
"Eh? Lo mau kemana?" tanya Cinda berpapasan dengan Leona dan Stevanno di gerbang sekolah, kemudian memandang ke arah dua orang itu secara bergantian. "Kenapa, dah? Kok salah kostum?"
"Gue duluan," ujar Stevanno berjalan mendahului Leona dan Cinda.
"What happened?" tanya Cinda, masih bingung dengan apa yang terjadi.
"Nanti gue jelasin," jawab Leona, lesu. "Udah ah, nanti gue ke sini lagi jam sembilan."
"Ehm… oke. Anyway," Cinda sedikit berbisik. "Kok lo bisa pake jaket seharga 18 juta itu?"
"Jaket 18 juta?" Leona mengernyitkan dahi, bingung.
"Jaket Stevan," Cinda mulai kesal sendiri. "Yang lo pakai sekarang ini jaketnya Stevan, kan?"
Leona menjatuhkan pandangannya ke tubuhnya. Tunggu, sejak kapan dia memakai jaket ini?
Jaket bermerk milik Stevanno yang selalu jadi buah bibir orang-orang di kelas. Benar, soal barang-barang, Stevanno memang terkenal kerap memakai pakaian bermerk terkenal. Yah, tak heran. Papanya merupakan pejabat sekaligus pengusaha besar.
Namun, sejak kapan dia memakai jaket ini? Uh, dia tak ingat apapun.
Leona segera berlari menuju mobil, menjumpai Stevanno yang menunggu Leona. Lelaki itu sibuk dengan hapenya. Bahkan, setelah Leona duduk di sebelahnya, Stevanno masih sibuk dengan hapenya.
Apakah banyak yang mencarinya?
Stevanno kemudian meletakkan hapenya, lalu mulai menyetir dengan kecepatan stabil. Yah, lagipula, rumah mereka tak jauh dari sini.
"Kenapaー"
"Habis iniー"Mereka sama-sama terdiam, setelah berbicara secara bersamaan.
"Lo duluan," ujar Stevanno.
"Kenapa jaket lo ada di gue?" tanya Leona sedikit ragu.
Stevanno terdiam sejenak. "Gue kepanasan, tadi malem."
Leona menyengir kuda. Jika dia kepanasan, kenapa harus memasangkannya ke Leona?
Lagipula, pasti Leona terlihat aneh karena tak bangun ketika Stevanno memasangkan itu. Benar-benar kebo. Pasti Stevanno pun ilfeel.
Hah, tapi, emangnya kenapa jika Stevanno ilfeel? Leona tak pernah berharap Stevanno akan tertarik padanya, kok.
Uh, tapi, Leona ingin menenggelamkan dirinya sekarang juga.
"Dan… ehm," Leona berdehem kecil, mencoba untuk tidak gugup bertanya mengenai yang satu ini. "Gue yang deket-deket ke lo ya, tadi malem?"
Stevanno tak menjawab apa-apa. Cukup lama.
"Sorry," ujar Leona kemudian.
"Gue yang deket-deket ke lo," kata Stevanno, berdehem setelahnya. "Jangan minta maaf kalau lo gak salah."
Leona terdiam sejenak.
Hening lagi.
"Yaudah, tadi mau ngomong apa?" tanya Leona kemudian.
"Habis ini, mau ke sekolah bareng?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Belong
Teen FictionBerawal dari Leona yang mendatangi pemakaman Stevanno, teman sekelasnya ketika SMA. Tanpa Leona sangka, dirinya kembali ke 7 tahun yang lalu, ketika dirinya masih SMA dan harus mengubah takdir Stevanno. p.s • Belong ditulis pada 2020 • Cerita sudah...