"LO yakin, Le?" tanya Cinda, menatap khawatir. "Lo masih belum sepenuhnya pulih, kan? Bekas jahitan lo masih sakit, kan?"
"Lebay banget, sih," kekeh Leona. "Gue bisa. Gue gak bakalan banyak gerak."
"Gak banyak gerak gimana?" tanya Cinda. "Pesta Kiara ini mungkin memang pesta ulang tahun, tapi lo tau kan, ada acara dansa nanti sesudah pemotongan kue?"
"Gue tau," jawab Leona tersenyum lebar, menahan tawa. "Lo gak usah khawatir."
"Gue harus jujur kalau sebagai jomblo, gue harus siapin hati nanti malem," ucap Cinda. "Kevan bakalan nyatain perasaannya ke Kiara nanti, terus lo sama Stevan."
"Galang kan ada," ujar Leona, menggoda. "Partner dansa lo dia kan, malam ini?"
"Itu... terpaksa, sih," kata Cinda, memutar kedua bola matanya malas.
"Ayo, turun," kata Cinda. "Di bawah udah ramai. Stevan dan Galang juga udah ada di bawah."
Tema dari pesta ulang tahun Kiara ini sendiri adalah kerajaan. Semua tamu diharuskan memakai pakaian formal layaknya para anggota kerajaan yang tengah memenuhi undangan acara kerajaan.
Karena Kiara salah satu dari teman dekat mereka, maka Kevan, Galang, Stevanno, Leona, dan Cinda sudah ada di sini sejak siang tadi. Leona dan Cinda hanya membantu di bidang hiasan dan aksesoris untuk keperluan pesta, dan mereka bertiga berada di kamar Kiara sampai malam, karena tugas mereka hanya mendesain, menggunting, dan menempel. Sedangkan Kevan, Stevanno, dan Galang berada di lantai bawah sepanjang hari untuk mengatur dan menata segalanya.
Itulah kenapa, Kevan, Galang, Stevanno, Leona, dan Cinda sudah membawa pakaian yang ingin mereka gunakan untuk pesta sejak tadi siang. Mereka berlima pun menumpang mandi di rumah Cinda, tadi.
Leona menatap dirinya di cermin.
Dia mengenakan gaun berwarna lilac dengan rambutnya yang diikat dengan gaya opdo. Kiara membantunya untuk menata rambut.
Leona berhenti sejenak ketika melihat Stevanno dengan setelan berwarna hitam dan rambut yang lebih rapi dari biasanya, menunggu pas di dekat tangga.
Tunggu. Bukankah ini seperti cuplikan di film Titanic?
Stevanno tersenyum ke arah Leona. Senyuman manis dan tulus milik Stevanno. Baru kali itu dia melihat senyuman sebahagia itu mendarat di wajah Stevanno.
"Perut lo beneran udah gapapa?" tanya Stevanno, dibalas anggukan oleh Leona. "Jalannya pelan-pelan aja."
"Udah gapapa tapi masih belum bisa jalan terlalu cepat."
"Denger, kalian harusnya menyambut si perempuan dengan sopan dan berkelas. Membungkuk, terus cium tangan, dan membiarkan si perempuan menggandeng lengan cowoknya," omel Cinda, sesampainya di anak tangga terbawah.
"Ngapain juga kita harus ngelakuin itu?" tanya Galang, diikuti dengan ekspresi yang menampakkan perasaan jijiknya terhadap Cinda. "Dan gue harus ngelakuin gitu sama orang kayak lo?"
"Jangan berantem," kekeh Leona. "Kalian menikah di masa depan."
"Itulah kenapa kalian jatuh cinta, terus menikah," tambah Stevanno. "Karena awalnya saling benci."
Galang menyengir kuda. Bagaimana kehidupannya jika setiap pagi harus menghadapi perempuan sebawel Cinda? Yah... meski dia tertarik pada Cinda sejak awal SMA.
Galang dan Cinda berlalu.
Stevanno membungkuk, lalu meraih tangan Leona, dan mencium punggung tangannya sambil tersenyum.
Leona tertawa. "Lo percaya sama ucapan Cinda?"
"Emang gitu kenyataannya kalau kita menghadiri acara kerajaan," ujar Stevanno terkekeh, lalu memasang lengannya untuk digandeng. "Ayo, ke halaman belakang. Kevan sama Kiara udah nungguin."
Kiara merupakan anak orang kaya. Dia punya rumah besar bak istana, dan taman belakang yang besar dengan pondok kaca dan bunga-bunga yang berwarna lembut dan feminin.
"Kira-kira, apa yang baru aja kita lewatkan?" tanya Leona baru saja sampai di taman belakang, lalu melihat sorakan tamu-tamu yang menghadiri pesta ke arah Kevan dan Kiara yang saat ini menjadi pusat perhatian.
Bagaimana cara menjelaskannya? Uhmー keduanya saling tersenyum dengan tatapan cinta satu sama lain.
Ugh."Kevan nyatain perasaannya," jawab Stevanno. "Itu yang baru aja kita lewatin."
Stevanno dan Leona berhenti di bawah pohon beringin yang rindang, dengan lampu-lampu tumbler yang dililitkan di dahan-dahannya.
Lampu besar dimatikan, yang tersisa tinggal lampu-lampu yang dililitkan di pohon. Alunan musik mulai berputar, memenuhi atmosfir halaman belakang rumah Kiara dengan aura romantisnya.
Stevanno meraih kedua tangan Leona, lalu meletakkannya di atas pundaknya. "Dansanya pelan-pelan aja."
Leona tersenyum menahan tawa, mengangguk. Dibandingkan dirinya, sepertinya Stevanno malah jauh lebih khawatir akan perut yang baru saja memiliki bekas jahitan di bagian kanannya itu.
Stevanno meletakkan kedua tangannya di pinggang Leona. Tubuh mereka mengikuti irama musik, dengan suatu ikatan di antara mereka yang terasa semakin erat.
"Jujur, gue kaget lihat lo pake lilac dress," ujar Stevanno. "Lo cantik banget."
Leona mengangkat kepalanya, melemparkan senyuman. "Sejak kapan lo jago muji kaya gitu?"
"Gue selalu muji lo," kata Stevanno. "Di dalem hati."
Leona tertawa.
"Maaf, ya."
Leona mengernyitkan dahinya. "Untuk?"
"Untuk semuanya," jawab Stevanno. "Karena nyelamatin gue, lo jadi kaya gini. Maafin bokap gue, meskipun maaf aja gak pantas buat ganti rugi semuanya."
Leona tersenyum ringan.
"Gue pengen banget bisa jauhin lo karena gue pikir, kehadiran gue udah banyak datengin hal buruk buat lo," ucap Stevanno. "Tapi, gue gak bisa. Itulah kenapa gue minta maaf. Maafin gue karena terlalu egois dan masih engen bareng lo meskipun gue udah nyakitin lo."
"Gue seneng," Leona tersenyum, meski tak melihat ke arah Stevanno. "Gue seneng jadi bagian dari kehidupan lo. Gue seneng masalah lo udah berakhir."
Stevanno mengangguk, lalu mengangkat wajah Leona untuk mencium kening perempuan itu.
"I love you so," ujar Stevanno, menarik Leona ke dalam pelukannya. "Lo adalah orang yang paling gue butuhin. Gak masalah kalau lo gak ngerasain hal yang sama kaya gue. Gue cuma pengen lo tau... lo sepenting itu buat gue."
Leona dapat merasakan matanya memanas dan berkaca-kaca. Dia bahagia, bahagia sekali.
"Gue bakalan tinggal sama Mama dan Tante Rebecca, mulai sekarang," ucap Stevanno. "Rumah lama bakalan dihancurin karena terlalu banyak kenangan buruk. Untuk sekarang, kita bakalan tinggal di rumah Mama."
Leona mengangguk-angguk, mengerti.
"Untuk sekarang," ujar Stevanno. "Untuk masa depan, gue bakalan tinggal bareng lo."
Leona mengernyitkan dahinya. "Bareng gue?"
"Suatu hari, gue bakalan ngerasain kehangatan keluarga yang sebenernya," Stevanno mengelus kepala Leona. "Lo tau, gak ada kehangatan di hidup gue, kalau gak ada lo di dalamnya."
Deg.
"Setelah gue nyelesaiin kuliah dan punya klinik sendiri, menikahlah dengan gue, Leona."
Leona tersenyum, menatap dua bola mata yang bening milik Stevanno. Dia melihat kejujuran dan ketulusan ada di sana. Lelaki itu tersenyum teduh kepadanya. Ada kerutan kecil di sudut matanya dan senyumannya menampakkan giginya, benar-benar memesona dan mencerminkan kebahagiaan yang dia rasakan saat ini. Leona tak pernah melihat senyuman seindah itu sebelumnya dari Stevanno.
"Iya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Belong
Teen FictionBerawal dari Leona yang mendatangi pemakaman Stevanno, teman sekelasnya ketika SMA. Tanpa Leona sangka, dirinya kembali ke 7 tahun yang lalu, ketika dirinya masih SMA dan harus mengubah takdir Stevanno. p.s • Belong ditulis pada 2020 • Cerita sudah...