[09] Menginap di Rumah Leona

42.6K 5.8K 144
                                    

SUDAH dua bulan sejak Leona putus dari Virel. Karena Leona masih punya hati, Leona memutuskan untuk tidak menyetujui sanksi yang harus Virel terima dan hanya memberatkan poin sebanyak 800 kepada Virel.

800. Hanya butuh dua kali terlambat, maka Virel akan keluar dari sekolah ini. Sedangkan itu, setidaknya Leona masih punya hati.

Leona dan Virel tak berbicara apa-apa sejak saat itu.

Leona dan Stevanno juga tak berbicara apa-apa sejak saat itu.

Entah kenapa, kecanggungannya dan Stevanno semakin membesar dan hal itu membuatnya cukup merasa tak nyaman. Padahal, dirinya sendiri yang meminta Stevanno untuk tidak membantunya apapun lagi dan menganggap bantuan yang terakhir itu benar-benar bantuan terakhir yang Stevanno berikan untuknya.

Lagipula, sejak kapan dia bisa sedekat itu dengan Stevanno?

"Bukannya lo yang kegeeran?"

Leona yang semula ingin menyuap satu suapan besar nasi goreng yang di hadapannya, lantas mengurungkan niat tersebut ketika mendengar ucapan Cinda.

"Kegeeran?"

"Apa yang aneh dari bantuan Stevan?" tanya Cinda, menyesap teh hangat miliknya. "Pertama, dia minjamin payung karena itu satu-satunya payung waktu itu. Lo cewek, dia cowok. Udah pasti, the real cowok bakalan nyerahin payung itu ke cewek."

Leona hanya mengunyah makanannya penuh kekesalan mendengar ucapan Cinda.

"Kedua, dia nungguin lo di UKS dan beliin lo bye-bye fever. Ya iyalah, kan dia yang bikin lo pingsan dan masuk UKS," tambah Cinda. "Ketiga, dia belain lo dari Virel. Ehm, yah, yang satu itu emang agak aneh, sih."

Leona menyeringai mendengar ucapan Cinda yang sedikit memihaknya di akhir.

"Gue juga gak expect dia bakalan bantuin lo sampe kaya gitu. Gue yang ngasih tau dia waktu itu, kalau lo lagi berantem sama Virel di depan kelas," kata Cinda.

"Serius?"

"Gue juga bingung harus minta tolong sama siapa lagi, waktu itu. Andaikata ada Galang di kelas, mungkin gue minta tolong sama dia. Tapi, cowok yang menurut gue punya nyali, ya cuma Stevan."

Leona hanya mengangguk-angguk sok mengerti.

"Lagian, seharusnya dia bisa misahin kalian baik-baik, gak langsung ngajak Virel berantem. Itu sih, yang gue heranin," lanjut Cinda. "Lagian, baru kali itu gue ngelihat sisi yang berbeda dari Stevan."

"Maksud lo?"

"Lo nyadar gak sih, dia itu orang paling bomat di kelas kita?" kata Cinda. "Bahkan waktu kita sepakat buat gak ngingetin guru soal PR, dia pasti bomat soal kesepakatan itu dan ngasih tau guru tiba-tiba. Ah, ya! Lo ingat waktu Syarif sama Endro berantem? Dia cuma baca buku di pojokan."

Leona terdiam sejenak. Benar. Stevanno adalah orang terbodo amat yang pernah dia temui. Itulah kenapa hal itu cukup mengagetkan baginya dan bagi sebagian orang yang melihatnya waktu itu.

Bahkan ketika perpisahan sekolah, promnight, acara reuni yang diadakan di kehidupan sebelumnya, dia tak pernah peduli dan memilih untuk tak hadir. Dia bahkan tak ikut organisasi dan ekskul mana pun, seakan-akan yang dia butuhkan di sekolah hanya belajar, bukan untuk bersosialisasi.

"Tapi, masa dia suka sama lo?" tanya Cinda.

"Apaan, sih?" Leona mendorong jidat Cinda dengan telunjuknya, sudah kesal dengan perempuan ini sedaritadi. "Gue gak pernah bilang dia suka sama gue. Lo yang ambil kesimpulan kayak gitu."

"Kalau misalnya orang lain yang ada di posisi lo, waktu lo berantem sama Virel waktu itu," Cinda memberi jeda. "Kira-kira dia bakalan dia tetep bantuin, gak?"

"Lo pikir dia bakalan jawab kalau gue tanya begitu?" Leona terkekeh garing. "Palingan dia cuma diem. Itu yang selalu dia lakuin tiap gue nanya sesuatu sama dia."

Cinda menyengir kuda. "Seenggaknya, kalau ada kesempatan, lo harus coba tanyain."

"Yaudah," Leona meneguk air mineral miliknya. "Yuk, balik. Lo ke rumah gue, kan?"

Cinda mengangguk, membereskan barang-barangnya, kemudian bangkit dari duduknya. Hari ini, Kak Kevan tidak hadir ke sekolah karena izin ke luar kota, maka Leona terpaksa menebeng pergi-pulang dengan Cinda. Kebetulan, rumah mereka pun searah.

Gerimis mulai berganti menjadi hujan yang deras.

"Cin, stop," ujar Leona refleks, membuat Cinda pun spontan me-rem mobilnya.

"Kenapa? Ada apa?"

Leona memandangi lelaki berjaket hitam yang tengah duduk di depan pintu rumah besar berwarna putih susu, menenggelamkan kepalanya di kedua tangan yang memeluk lututnya.

"Stevan?" tanya Cinda.

Leona segera membuka pintu mobil Cinda, kemudian berlari sembari melindungi kepalanya dengan kedua tangannya.

"Stev," panggil Leona, berjongkok. "Lo ngapain?"

Stevanno mengangkat kepalanya.

Seperti biasa, dia hanya diam ketika ditanya, lalu kembali menenggelamkan kepalanya.

Leona menunggu cukup lama, sampai dia mengerti ketika melihat tulisan yang tertempel di pintu berbahan cendana tersebut.

Kita berangkat ke luar kota, ada urusan mendadak. Kamu punya uang, jadi sewa kamar hotel untuk beberapa hari.

Leona panas dingin membaca tulisan tersebut. Orang tua macam apa pria itu?!

Leona bangkit dari jongkoknya, kemudian menarik tangan Stevanno yang dilingkari jam tangan berwarna hitam tersebut dengan paksa. "Bangun, Stevan."

Stevanno yang sebelumnya cukup bingung dengan apa yang Leona inginkan, tetap menuruti permintaan Leona untuk bangkit dari duduknya.

Leona menarik tangan Stevanno memasuki mobil Cinda. Lelaki itu sempat menolak, tapi Leona memperlihatkan wajah galak yang sama sekali tidak Stevanno sangka.

Cinda yang sempat kebingungan dengan alur cerita baru yang baru saja Leona ciptakan, lantas segera menuju rumah Leona ketika melihat wajah galak milik Leona yang mengisyaratkan untuk tidak bertanya apa-apa.

Padahal, Cinda yang seharusnya marah. Kenapa dia merasa seperti sopir mereka saat ini? Leona dan Stevanno duduk di belakang.

Tak hanya Cinda dan Stevanno yang bingung, tapi kedua orang tua Leona pun sempat bingung bercampur bahagia ketika melihat Stevanno. Setelah sekian lama menentang hubungan Leona dan Virel, akhirnya Leona datang dengan laki-laki baru yang sesuai dengan kriteria utama Mama Leona; harus ganteng.

Kriteria aneh, memang. Ganteng memang perlu, tapi seharusnya tidak menjadi kriteria utama.

Pertanyaan baru; emangnya Virel gak ganteng? Ganteng, tapi dia tak tinggi. Sedangkan syarat ganteng menurut Mama Leona adalah harus tinggi. Leona sempat berpikir bahwa itu adalah salah satu kriteria dalam memilih laki-laki, tapi seiring bertambahnya usia, dia menyadari bahwa itu termasuk toxic masculinity yang tak boleh dilakukan. Semua orang dan semua tinggi badan punya kepantasannya masing-masing.

Bagaimana kabar Stevanno yang memiliki tinggi 180 cm? Menantu idaman bagi Mama Leona.

"Sore, Om, Tante," sapa Stevanno membungkukkan badannya sedikit, menyapa kedua orang tua Leona dengan sopan. Jujur, sampai detik ini, bahkan Stevanno tak tau apa maksud Leona membawanya ke rumah Leona.

"Ma, Pa, kenalin, ini Stevan, teman Leona," kata Leona memperkenalkan, membuat mimik wajah Mama dan Papa Leona yang semula tersenyum hangat, lantas memasang wajah bingung secara bersamaan.

"Teman?" tanya Mama Leona mengernyitkan dahi. "Bukan paー"

"Bukan. Jadi, orang tua Stevan ke luar kota. Stevan nginap di rumah kita selama beberapa hari, ya?"

Mama dan Papa Leona membelalakkan matanya, tapi masih bisa menerbitkan senyuman.

Bukan kaget karena rencana menginap. Namun, bagaimana ceritanya menginap padahal statusnya cuma teman? Apakah itu benar? Jangan-jangan, teman tapi…

Mesra?

"Boleh, dong. Rumah kita punya kamar kosong," jawab Papa Leona. "Silahkan."

BelongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang