18. Dekapan hangat

57.7K 5.5K 55
                                    

Happy reading 🙆

Fahri bingung dengan dirinya sendiri, yang dilakukannya ke Mona tadi itu murni dari hatinya sendiri atau kesal dengan ucapan mbak Putri semalam.

Bagaimanapun juga ucapan mbak Putri semalam mampu membuatnya kehilangan selera makan, jadi Mona dan Agil sering ke warung mbak Putri dulu tetapi mengapa ia tidak pernah bertemu.

Fahri sangat mengenal Agil, siapa sih yang tidak mengenal pria yang seangkatan dengannya itu di lingkup kampus bahkan mungkin terkenal dari berbagai angkatan, pria yang sering turun ke jalan menyuarakan suara rakyat kecil Agil menjabat sebagai ketua BEM kampus.

"Assalamualaikum," ucap papa.

Fahri langsung membuang penglihatannya, sudah beberapa minggu ia tidak bertemu dengan papanya itu, Fahri memang sengaja mencari waktu-waktu dimana papanya tidak ada baru ia berkunjung ke rumah, namun saat ini kesialan menimpanya.

"Aku masuk kamar dulu," Fahri beranjak dari kursi meja makan.

Mona menoleh dengan tatapan tidak enak saat Fahri meninggalkan dapur. Sesampainya di kamar Fahri menghempaskan tubuhnya di atas kasur, ia enggan mendengar ucapan papanya saat ini.

"Masuk aja Mon," ucap Fahri setelah terdengar suara ketukan dari pintu kamar.

Saat Fahri menoleh bukan Mona yang berdiri di dekat pintu melainkan papanya yang masih berseragam lengkap. Fahri merubah posisinya menjadi duduk dengan raut malas.

"Masih sering ke klub ya kamu padahal udah punya istri bentar lagi punya anak, papa kemarin lusa lewat depan klub Hera ada mobilmu!"

"Kenapa memangnya kalau aku masih sering kesana? Kalau aku udah nggak tinggal di rumah ini berarti itu bukan urusan papa lagi," sahut Fahri.

Papa menghela nafas berat, "kalau kamu masih begitu biarkan Mona tinggal disini, kamu jadi suami nggak becus!"

"Tahu apa papa kalau aku nggak becus?"

"Tahu apa? Kerjaan kamu pergi ke klub hampir setiap hari itu yang kamu bilang becus? Memangnya kamu mau kasih makan apa istrimu?!"

"Urusan istriku biar jadi urusanku, papa urusin aja mentalnya Farras siapa tahu dia tertekan sama kemauan papa."

Papa keluar kamar dengan deru nafas berat dan rahangnya mengeras, setelah beberapa menit papa keluar Mona masuk.

Mona duduk disamping Fahri yang sedang menahan emosinya, Mona memberanikan diri menyentuh paha Fahri, "kalau kamu nggak nyaman disini ayo kita pulang."

Fahri menoleh lalu tersenyum tipis, "kalau kamu masih mau disini nggak papa kok."

Mona menghela nafas pelan, "kamu sama papa berantem lagi?" Fahri mengangguk.

"Kalau papa marah diemin aja Ri."

"Mana bisa aku diam aja saat harga diriku di injak-injak."

"Maaf kalau aku dengar perkataan papa tadi, tapi kenapa kamu nggak bilang kalau kamu kerja," ucap Mona.

"Kalau aku bilang kerja di kafe sebagai penyanyi dia makin memandang aku sebelah mata, apalagi jurusan kuliah yang kuambil sangat melenceng dengan apa yang kukerja sekarang, itu semua percuman Mon," Fahri terdengar sangat frustasi, hati Mona bergerak untuk mengusap punggung pria itu.

Namun Fahri seakan meminta lebih, ia menarik Mona kedalam pelukannya, Mona membulatkan matanya lalu mengerjap beberapa kali saat merasakan dagu Fahri betumpu di pundaknya.

Mona hendak melepas diri tetapi Fahri semakin mempererat pelukannya, "please sebentar aja Mon."

Fahri merasa aman dalam dekapan Mona, perempuan itu begitu hangat dan membuatnya ingi lebih lama lagi mendekapnya, hatinya yang memanas tadi kini sedikit demi sedikit mulai kembali normal, mungkin efek anaknya di dalam kandungan Mona itulah yang ada dipikiran Fahri.

Wedding Destiny [TERBIT]Where stories live. Discover now