19 ; Tersesat

1K 138 8
                                    

"Hal kecil yang kamu anggap sepele, bisa jadi adalah sesuatu yang sangat berharga bagi orang lain."

️ Happy Reading ❤️

Arsen merapatkan jaket yang membalut tubuh jangkungnya, serta beberapa kali meniup dan menggosokkan kedua telapak tangan. Ia berusaha menciptakan kehangatan namun sia-sia. Terasa seperti es, bocah itu mengusap hidungnya yang berair.

Meski demikian, Arsen tetap melangkah menyusuri jalan di depannya yang semakin terjal dan tidak tampak seperti jalan lagi. Sampai di sini, Arsen rasa dia sudah menjauh dari area perkemahan.

Bocah itu mengedarkan pandangan, lantas menelan ludah. Hanya gelap yang ia lihat, tak ada lagi nyala api dan pantulan sinar lampu LED dari tenda-tenda yang tadi ia lihat. Akibat keheningan yang mengelilingi, Arsen jadi merasa takut. Remaja itu bahkan tak bisa mengingat jalan mana yang tadi ia lalui.

"Cleon ... lo di mana, sih?" Untuk menghalau rasa takutnya, Arsen sedikit berteriak memanggil nama sosok yang tadi ia ikuti.

Dengan berbekal penerangan dari sinar rembulan, bocah itu melangkah dengan penuh kehati-hatian. Takut yang ia injak bukan akar kayu melainkan ular. Ugh, membayangkan saja membuat bulu kuduknya berdiri.

Sampai di sebuah pohon besar, bocah itu berhenti. Matanya kembali menelisik sekeliling. Semua masih sama, gelap dan lembab. Hal ini membuat Arsen ragu untuk melanjutkan langkah.

Bagaimana jika Cleon tidak meninggalkan area perkemahan?

Bagaimana jika ternyata sekarang Cleon sudah tidur nyaman terbungkus selimut? Dan bagaimana jika Arsen-lah sosok yang tersesat?

Memikirkan kemungkinan-kemungkinan itu membuat lututnya lemas. Arsen terdiam beberapa saat sebelum akhirnya terduduk di atas akar pohon yang lumayan tinggi. Dia tidak akan menyerah semudah itu, tapi sekarang ia butuh istirahat sejenak.

Iseng-iseng, remaja itu merogoh saku celana dan jaketnya. Berharap menemukan sesuatu yang berguna. Namun, nyatanya ia hanya menemukan pemantik api yang biasa digunakan untuk menyulut rokok.

Sejenak memandangi pemantik itu, sebuah ide muncul di kepalanya. Yup! Dia akan menyalakan api unggun versinya sendiri.

"Aahh ... kenapa gue cerdas banget, sih? Jadi malu hahaha," celotehnya entah pada siapa.

Masih dengan penerangan seadanya, Arsen berusaha menyingkirkan dedaunan di sekitar. Kemudian membentuk sebuah gunung kecil dari ranting pohon yang ia dapat dari hasil meraba-raba.

Dengan hati-hati bocah itu menyingkirkan daun tidak penting dari dekat calon api unggun agar tidak menimbulkan kebakaran hutan. Gerakan tangan yang hendak menyalakan api mendadak terhenti. Ketika sebuah suara lirih dan merintih tertangkap indra pendengarnya.

"Toloooongg ...."

Arsen sontak berdiri dan menoleh ke segala arah. Memastikan jika ia hanya salah dengar.

"To–loooong ...."

Shit! Seumur hidup, Arsen tidak pernah percaya dengan hal-hal tak kasat mata. Dia menentang keras tentang adanya hantu dan sejenisnya. Arsen hanya mempercayai keberadaan apa yang bisa dilihat dengan mata. Lantas ketika saat ini dia mengalami hal di luar nalar, apa yang harus ia perbuat?

Lari?

Tidak, dia tidak bisa berlari di kondisi seperti ini. Tubuhnya sudah mulai menunjukkan efek dari alergi dingin. Kepalanya juga pusing.

'Apa gue pura-pura pingsan aja, ya?' batinnya nelangsa.

Akan tetapi, hal itu urung dilakukan ketika Arsen melihat tanah di bawahnya. Kotor dan sedikit basah. Membayangkan ia harus terbaring di situ sungguh menjijikkan. Jika sampai Tia melihat bajunya sangat kotor, wanita cantik itu pasti akan mengomel.

PURA CORDIS Where stories live. Discover now