26 ; Kalut

1.1K 154 20
                                    

⚠️TW s.e.l.f h.a.r.m⚠️

❤️Happy Reading❤️
.
.
.

Pagi hari yang cerah, tetapi mendung justru menutupi wajah beberapa siswa di kelar XI IPS 4. Jam kosong yang seharusnya riuh dengan tingkah Arsen and the gang justru terlihat damai karena para tersangka tampak tidak memiliki minat untuk membuat masalah.

"Arsen nggak masuk karena apa, ya?" celetuk Sony dari tempat duduknya.

Brian, kawan sebangkunya, mengangkat bahu. "Tante Tia bilang kalo dia demam. Tapi gue nggak percaya, sih. Demam dari mana coba? Kemarin masih sehat-sehat aja," sahutnya merasa tak puas dengan jawaban yang diberikan Tia. Dia lantas menepuk bahu Daniel yang duduk di depannya.

"Lu nggak dikasih tahu sama dia, sakit apa gitu? 'Kan rumah kalian lumayan deket, tuh."

Yang ditanya menggeleng. "Chat gue juga nggak dibales, cuman Tante Tia aja yang kasih tahu kalau Arsen nggak berangkat," balas Daniel kemudian.

Ketiganya terdiam dengan pikiran masing-masing. Bagi Daniel, ini aneh. Karena selama ia mengenal Arsen, bocah itu tak pernah mengabaikan pesan atau pun panggilannya. Bukan merasa spesial, hanya saja Arsen selalu menaruh perhatian lebih pada Daniel semenjak percobaan bunuh dirinya tahun lalu.

"Kalian kenal Arsen berapa lama?"

Tiba-tiba sebuah suara menginterupsi keheningan mereka. Itu Cleon yang duduk di seberang meja Arsen. Bocah itu sedari tadi menyimak pembicaraan mereka, sampai akhirnya dia tidak tahan untuk ikut angkat bicara.

Ketiganya menoleh dan menatap Cleon. Sedikit tak percaya bahwa orang itu mendengarkan perbincangan mereka.

"Kalo kita, sih, sejak kelas tiga SMP. Soalnya dulu Arsen anak pindahan. Iya nggak, Son?" Brian menjawab sedikit ragu.

Sony mengangguk. "Iya, bener. Kebetulan kita sekelas dan nggak nyangka juga SMA bakal sekelas lagi," ujarnya menyetujui ucapan Brian.

"Karena kita bego, makanya ditakdirkan bersama." Brian menanggapi Sony, keduanya kompak tertawa ketika menyadari satu kesamaan dalam diri mereka.

Mendengar itu Cleon mengangguk. Kemudian beralih menatap Daniel, dia agak sangsi jika alasan Daniel dan Arsen berteman sama dengan dua orang lainnya. Dari segi otak, Daniel jauh lebih unggul dari ketiganya. Bahkan Cleon mengakui jika Daniel itu cerdas.

"Karena Arsen baik."

Singkat, padat, dan jelas. Begitulah jawaban yang Daniel berikan, bocah itu kembali menatap ponselnya dan membaca materi. Cleon mengangguk, dan menyimpulkan sesuatu dari jawaban tiga temannya.

"Karena udah berteman lumayan lama. Sekarang gue mau tanya, deh." Cowok bertindik itu angkat bicara.

Membuat tiga remaja yang sudah fokus pada kegiatan masing-masing, menatap Cleon.

"Apa?" Sony bertanya mewakili yang lain.

Cleon mendekat dan duduk di kursi yang biasanya ditempati Arsen. "Kalian nggak tahu, kalau Arsen punya sejenis trauma gitu?" tanyanya dengan suara memelan. Entahlah, Cleon rasa pembahasan ini sedikit rahasia.

"Hah?" Ketiganya justru menatap penuh tanya pada Cleon.

Melihat respons ketiga bocah itu, dugaan Cleon seratus persen benar. Bahwa Arsen menyembunyikan lukanya dari ketiga sahabat. Sekarang, karena Cleon sudah mengatakan hal itu. Pasti tiga bocah ini akan meminta penjelasan lagi.

"Lo yang bener aja, Cle." Sony menatap tak percaya pada Cleon. "Orang petakilan kayak dia punya trauma? Maksud lo apa?"

Lagi-lagi Brian mengangguk, setuju dengan ucapan Sony.

PURA CORDIS Where stories live. Discover now