Raul dan Lukisannya

839 104 6
                                    

Hari ini Cahaya berangkat bersama ayahnya naik motor. Pukul tujuh kurang lima belas menit, Cahaya dan ayahnya berangkat. Cahaya minta diturunkan di tempat fotokopi yang tidak jauh dari sekolahnya. Ia akan mencetak foto-foto lukisan Raul itu.

Cahaya mendesah pelan saat sampai di tempat fotokopi. Fotokopinya ramai. Ada anak-anak sekolah dan ibu-ibu yang mengantre di sana. Ingin pergi ke fotokopi lain, tapi ini yang paling dekat dengan sekolahnya. 

Urusan Cahaya di fotokopi tersebut selesai sepuluh menit kemudian. Cukup lama. Cahaya bergegas menuju sekolahnya begitu foto yang dicetaknya diserahkan kepadanya. Sekarang sudah pukul tujuh lewat lima belas menit, lima belas menit lagi bel masuk. Cahaya tidak mau terlambat.

Hari ini cuaca sangat cerah. Sinar matahari bersinar terang dan membuat Cahaya yang berjalan di pinggir jalan kepanasan. Keringat bercucuran di sekujur tubuhnya. Sampai di depan kelas, Cahaya langsung disambut pelototan oleh dua teman sekelasnya—Eni dan Rian.

Cahaya mengerutkan keningnya melihat kedua orang itu yang menatapnya dengan wajah garang. Ada apa, sih ini?

Mereka menghalangi jalannya saat Cahaya ingin masuk kelas.

"Ada apa, sih?" tanya Cahaya pada mereka berdua.

"Kamu lupa? Kamu sekarang piket, Ca," kata Eni mengingatkan.

"Oh, iya!" Cahaya menepuk dahinya. "Maaf, aku lupa. Apa yang bisa aku kerjain?" 

"Hapus papan tulis sama buang sampah yang ada di kotak sampah," perintah Rian.

"Oke." Cahaya berjalan menuju papan tulis. Dengan cepat ia menghapus coretan-coretan di papan tulis putih tersebut. Setelah selesai, ia langsung berjalan keluar. Membuang sampah di kotak sampah ke tempat pembuangan.

Keringat Cahaya yang tadi sempat reda bercucuran lagi karena membawa kotak sampah yang penuh sampah itu ke tempat pembuangan. Apalagi jaraknya lumayan jauh dari kelasnya. Ia harus melewati beberapa kelas dan ruang-ruang lain di sekolahnya. 

Belum sampai Cahaya di kelas, bel tanda masuk sekolah berbunyi. Ia mempercepat langkahnya. Seandainya ia tidak membawa kotak sampah, ia bisa berjalan cepat lebih mudah. Kotak sampah yang ukuran lebarnya lebih lebar dari tubuhnya ini membuat dirinya sulit berjalan. Tangan Cahaya pegal luar biasa. 

"Sini, aku bawain." Sebuah tangan mengambil kotak sampah dari tangan Cahaya.

Cahaya hafal betul suara itu. Itu suara cowok yang akhir-akhir ini membuat Cahaya terkejut dan penasaran. Membuat jantung Cahaya berdetak lebih kencang dari biasanya dan membuatnya kesal setengah mati.

Cahaya menoleh padanya dan menemukan cowok pemilik senyum semanis gula itu sedang tersenyum manis padanya. 

"Kusut banget mukanya," kata Raul. Ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Sebuah sapu tangan berwarna putih. "Nih, elapin mukanya. Keringat yang nggak dielap bisa buat jerawat muncul."

Cahaya mengambil sapu tangan itu sambil tersenyum tipis. "Makasih."

"Sama-sama," kata Raul. Ia mulai berjalan. Cahaya mengikutinya. 

Sambil berjalan dan mengelap wajahnya, Cahaya melirik Raul yang berjalan sambil membawa kotak sampah di samping kanannya. Seperti biasanya, ia tersenyum tipis. Tampak tampan dengan rambutnya yang disisir rapi.

"Awas kesandung," ucap Raul memperingatkan Cahaya. 

Cahaya langsung mengalihkan pandangannya ke depan. Melihat suasana sekolah yang sepi, ia baru ingat kalau ini sudah waktunya masuk kelas. 

"Kamu nggak masuk aja? Nanti telat, dihukum guru, lho," kata Cahaya. "Sini, aku aja yang bawa kotak sampahnya." Ia ingin mengambil kotak sampahnya dari tangan Raul, tapi cowok itu menahannya.

"Nggak papa. Hari ini guru yang ngajar di kelasku nggak berangkat. Dia cuma ngasih tugas. Nah, kamu tuh yang harus cepet ke kelas."

"Ya ampun iya! Ya udah aku duluan, ya!" 

"Jalan cepet aja, nggak usah lari," kata Raul sambil tertawa.

"Siapa juga yang mau lari," kata Cahaya, lalu berjalan cepat meninggalkan Raul yang masih setia tersenyum padanya.

***

Pertemuan Cahaya dengan Raul tadi sebenarnya bisa ia gunakan untuk lagi-lagi menanyai cowok itu. Namun, karena Cahaya lelah dan malah tidak kepikiran tentang itu, ia jadi tidak bertanya dengan cowok itu. 

Cahaya menaruh sapu tangannya yang ia tadinya di pangkuannya ke laci meja. Ia baru ingat, ini kali kedua Raul meminjamkan sapu tangan padanya. Warnanya sama-sama putih. Dan baunya sama harumnyu dengan tubuh cowok itu. 

Dilihat dari warna dan baunya, Cahaya cukup yakin benda itu belum dipakai alias baru dicuci. Mana mungkin juga cowok itu meminjamkan sapu tangan bekas mengelap keringatnya pada orang lain? Walaupun cowok itu menyebalkan dan aneh karena membuat Cahaya terkejut dan penasaran, tapi ia bukan cowok jahil yang keterlaluan.

Cahaya juga baru ingat, ia belum mengembalikan sapu tangan yang satunyai. Lusa deh setelah ia mencuci sapu tangan yang ini akan ia kembalikan.

Tadinya Cahaya berencana melihat foto lukisan itu saat istirahat, tapi begitu bel berbunyi, Emma memintanya menemaninya ke kantor untuk menemui gurunya terkait mata pelajaran yang belum ia pahami. Cahaya tidak bisa menolaknya karena cewek berambut keriting itu menariknya berdiri begitu sampai di depannya.

"Nanti aku teraktir deh!" seru Emma. 

***

Saat bel tanda pulang sekolah berbunyi, Cahaya ke lapangan. Ia tidak bisa melihat lukisannya karena di sana suasananya tidak tenang. Sebentar-sebentar ia harus menoleh ke seseorang yang datang, memberikan air mineral atau tisu, dan sebagainya. 

Baru setelah semua anak tim basket termasuk Raul dan pelatih pulang,  Cahaya melihat foto lukisan-lukisan itu.

Cahaya menatap lekat lukisan pertama. Cahaya jadi merasa cewek yang ada di gambar itu adalah dirinya. Berdiri bersama Guntur di lapangan. Ditambah cewek di gambar itu berambut panjang sepinggang seperti dirinya.

Setelah melihat semua lukisan itu, Cahaya termenung. Ia semakin merasa menjadi cewek berambut panjang yang ada di lukisan Raul itu. Cewek yang telah patah hati. Dan sekarang jadi manajer tim basket. Berdiri di antara para cowok berseragam basket. 

Tapi apakah mungkin itu dirinya? Yang Raul lukis adalah dirinya? Lalu, siapa cowok yang di gambar pertama duduk di lapangan basket sendirian? Apakah itu ... Raul? Gambar cowok yang duduk di depan laptop itu apakah artinya Raul sedang mencari tahu tentang dirinya? Makanya waktu pertama kali Cahaya bertemu Raul, cowok itu berkata melihat dirinya, tahu kalau ia dulu sering ke lapangan bersama Guntur, dan telah patah hati? Berarti selama ini, Raul melihatnya dari jauh? Berarti selama ini, Raul mengenalnya.

Lalu apa arti lukisan cowok yang duduk di tengah hamparan bunga matahari dengan patahan-patahan hati di sekitarnya? Apakah itu artinya Raul sempat patah hati karena ia menyukai Guntur?

 Ha?! Berarti Raul menyukainya? Sejak satu tahun yang lalu? Diam-diam?

Tidak mungkin! Jangan-jangan Cahaya cuma ke-geeran! Bisa jadi yang Raul lukis ini kisah orang lain. Bisa jadi juga, cowok yang duduk di hamparan bunga matahari dengan patahan-patahan hati di sekitarnya itu memang Raul, tapi cewek berambut panjang itu bukan dirinya. Manajer sebelum dirinya misalnya. Bisa jadi, kan? Iya, bisa jadi. Cahaya tidak boleh ke-geeran. Tidak boleh!

Untuk itu, Cahaya mengechat Viza. Manajer sebelum dirinya. Ia akan bertanya pada cewek itu. Apakah ia punya kisah seperti dalam lukisan ini?

Boleh, dong, ajak temennya buat baca ini. 😁 👉👈

Tinggalkan jejak, ya.

Oh iya menurut kamu, yang dilukis Raul itu siapa? Cahaya, dirinya, juga Guntur? Atau orang lain?

Jangan lupa vote. Follow IG dan TikTok aku, ya. Aku up AU cerita ini di sana.

IG: afriyantinur6
TikTok: vling_nucha

Setelah Patah Hati Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang