Melepas

1.8K 165 9
                                    

TYPO BILANG

_____HAPPY READING____

Stevan menegakkan tubuhnya, ia merapikan dasinya seraya memandangin pantulan dirinya dari cermin. Ia tersenyum simpul pada dirinya yang lain, Stevan harus semangat kembali. Ia tak boleh terpuruk, mungkin gadis itu bukan yang terbaik untuknya. Tuhan tidak mengizinkan kedua bersama walau dalam waktu yang singkat.

"Sarapan dulu, Van " Mamanya menyambar lengan Stevan, dan digandeng menuju meja makan.

Stevan duduk, diikuti mamanya yang selalu ceria memaparkan senyumannya membuat hati Stevan selalu hangat.

"Mau sama apa makannya?" tanyanya pada Stevan.

"Apa aja ma, masakan mama tuh enak-enak." puji Stevan, mamanya pengusap puncak kepala Stevan.

Sebesar apapun Stevan, setua apapun umur Stevan di mata mamanya ia adalah masih seorang bayi yang perlu di jaga.

"Van, ih kamu keduluan star." ucap mamanya tiba-tiba, mengacung kan sendok ke arah Stevan.

"Star apa?"

"Itu anak tetangga ternyata udah ada yang lamar, bentar lagi mau nikah." jelas mamanya mengerucutkan bibirnya.

Stevan mencoba mengendalikan ekspresinya agar mamanya tidak  bertanya macam-macam. "Ya enggak papa ma, mungkin dia jodohnya." jawab Stevan santai.

Ia tidak terlalu kaget juga dengan penuturan mamanya itu, ia sudah tau karena ia sudah menerima undangan pernikahannya langsung dari mempelai.

tok tok tok

"Masuk saja," perintah Stevan. Ia masih membolak-balik lembar skripsi mahasiswa yang ia bimbing.

Sebuah tangan yang ia kenali menyodorkan surat undangan, ia melihat wajah si empunya. Hatinya kembali sesak dikala melihat wajah gadis itu, ditambah dengan sebuah surat undangan yang ia sodorkan.

"Untuk saya?" tanya Stevan dingin, Stevan memang benar-benar kembali kepada kepribadiannya yang dingin setelah ia mencair beberapa waktu lalu.

"Iya, bapak Stevan yang terhormat." jawab Hafidzah, mereka sepakat untuk melupakan kejadian yang lalu dan menjadi dosen dan mahasiswi pada umumnya. Kembali pada Stevan yang dingin dan kejam, Hafidzah yang kembali menjadi mahasiswi yang tak kenal dengan kekejaman Stevan.

"Taroh aja di situ," tunjuk Stevan pada nakas di dekat jendela.

"Itu udah saya taro, saya pamit pak."

Setelah Hafidzah pergi, Stevan mengambil surat undangan yang tertera nama Hafidzah dan mempelai prianya. Stevan tersenyum, memang gadis itu bukanlah takdir untuknya.

Stevan akan selalu mendo'akan gadis itu agar selalu dalam lindungan tuhannya, dan selalu di kelilingi oleh orang-orang baik.

"Semoga kamu bahagia bersama dengan takdirmu, Zah."

Mama Stevan masih nyorocos membicarakan anak tetangga yang dimaksud adalah Hafidzah.

"ai kamu udah dapet belum?"

"Dapet naon, ma?"

"Calon mantu buat mama."

"Tunggu bentar, mama sabar dulu."

"Anak tetangga juga mau nikah, kamu kapan? inget udah mau tiga puluh tahun, anak temen mama yang seusia kamu udah gendong anak."

My GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang