°05

131 33 2
                                    

"seandainya mereka tahu bagaimana rasanya menjadi aku."

.

.

.

baru saja melangkahkan kakinya keluar dari kelas, sebelah kaki menghalangi hwanwoong. ia yang tak siap pun jatuh terjerembab ke atas lantai, menjadi bahan tertawaan seluruh siswa yang ada di koridor. beberapa menghinanya konyol dan lemah, seperti biasanya.

meringis kesakitan karena dagunya terantuk lantai, hwanwoong berusaha mengumpulkan tenaganya untuk berdiri, namun geonhak menendang bahunya dan mendecih. "balasan karena kemarin berani menantangku." kemudian berlalu bersama gengnya.

selepas mereka pergi, keonhee yang sejak tadi memperhatikan dari kelasnya segera menghampiri hwanwoong.

"kau terluka?" tanya keonhee sambil membantu hwanwoong duduk, sementara siswa lain berlalu-lalang tak mempedulikan mereka.

hwanwoong hanya menggeleng meski dagunya sangat sakit dan kaku sekarang. keonhee menghela nafas, masih berjongkok dan menunggu hwanwoong sanggup berdiri.

"habisnya kau kemarin aneh sekali. aku senang kalau mood-mu bagus, tapi tidak kusangka kau sampai berani menatap mata mereka," ujar keonhee.

hwanwoong mengernyit. menatap mereka?? astaga, ia lupa mengatakan pada ravn kalau aturan sekolah di sini adalah harus menundukkan kepala dan menghindari kontak mata dengan para berandal itu.

"anggap saja aku mabuk kemarin," jawab hwanwoong seadanya. setelah dirasanya ia bisa berucap lancar, ia pun berdiri dan keonhee masih pada posisinya. berjongkok sambil melamunkan entah apa.

"kenapa?" tanya hwanwoong. "apa mereka juga mengincarmu sekarang?"

keonhee menggeleng. "kau kemarin bicara dengan seoho sunbaenim."

nadanya tidak seperti bertanya, melainkan menyatakan. hwanwoong sebenarnya masih belum mendapatkan cerita apapun lagi dari ravn karena pria itu masih tertidur pulas di apartemennya dan sering mengigau.

makanya hwanwoong sebenarnya juga cemas mengenai apa saja yang telah 'dilakukannya' dan akan dihadapinya hari ini.

"oh.. itu.. dia hanya menolongku. aku juga terkejut karena biasanya dia hanya diam saja," ucap hwanwoong setelah terdiam beberapa saat guna memikirkan alibi.

"ah, iya. menolongmu," keonhee mengangguk-angguk. "beruntungnya."

kening hwanwoong berkerut makin dalam. keonhee kenapa, sih? bukankah selama ini keonhee bahkan tak pernah membelanya terang-terangan? bahkan ia hidup dengan sangat enak tanpa ada yang merundungnya.

sekarang keonhee malah mengatakan ia beruntung karena seoho menolongnya?

namun hwanwoong menyimpan semua perkara itu dalam hatinya. ia takut menyuarakannya. keonhee adalah satu-satunya yang bisa diajak bicara. hwanwoong takut kejujurannya membuat pertemanan mereka terputus.

🔮🔮🔮🔮🔮🔮

"hwanwoong!!!"

bayi besar itu langsung memeluk hwanwoong yang baru saja membuka pintu kamarnya. tanpa sadar hwanwoong mengulas senyum kecil dan balas memeluk ravn, meresapi kehangatan tersebut setelah seharian menjalani hidup di neraka, terutama tambahan beban pikiran akan sikap keonhee.

"bagaimana keadaanmu?" tanya hwanwoong, menatap ravn tanpa melepas pelukannya.

ravn tersenyum lucu. "aku merasa lebih baik sekarang. hwanwoong sudah membeli makanan?"

"aku sudah makan tadi. seandainya kau juga bisa makan, aku pasti akan mengajakmu bersama," ujar hwanwoong, kembali mendekap ravn erat.

meski sebenarnya ravn merasa senang, tapi tetap saja ia jadi bertanya-tanya mengapa hwanwoong tiba-tiba menjadi clingy seperti ini. 

"ravn, maukah kau memelukku sampai aku tertidur?"

"hwanwoong tidak punya tugas?"

hwanwoong menghela nafas. "besok pagi saja mengerjakannya. aku benar-benar lelah."

dan ravn menyanggupi permintaan kecil itu. mereka saat ini berbaring di atas single bed hwanwoong, saling berhadapan dan berpelukan. hwanwoong menempelkan kepalanya di dada bidang ravn, sementara pria itu menepuk-nepuk punggung yang lebih kecil.

"hwanwoong terluka, ya?" tanya ravn, mengusap lembut rambut hwanwoong.

yang ditanya terdiam untuk beberapa saat. sebelum akhirnya mengangguk pelan. "kau benar, ravn. keonhee sangat diam hari ini. ia mengatakan aku beruntung karena bicara dengan seoho hyung."

"keonhee hanya iri karena ia tak bisa memiliki kesempatan bicara dengan seoho."

hwanwoong mendongak dan menatap mata ravn, terkejut. "kau tau dari mana?"

ravn hanya mengangkat bahu. "hanya perasaanku saja."

"cih." hwanwoong tertawa mendengus, kembali menenggelamkan wajahnya di dada ravn. "aku benci mengatakannya, tapi aku tidak suka didiamkan begitu."

ravn tak menyahut lagi, tangannya terus bergerak mengusap punggung hwanwoong. menenangkan pria manis tersebut yang mulai meracau.

"aku tak suka diabaikan.. bagaimana jika keonhee meninggalkanku? ingin sekali aku membentaknya 'ambil-ambil saja seoho hyungmu, aku bahkan tak membutuhkannya. mengapa kau jadi kaku begini?' tapi ia pasti menangis. aku takut, ravn. hanya dia yang kumiliki di tempat yang bahkan tak menginginkanku hidup. di luar pun aku tak mengetahui tujuanku. mengapa aku masih bertahan?"

tubuh hwanwoong bergetar, sebisa mungkin menahan isakannya.

"aku hanya ingin diterima, ravn. itu saja sudah cukup. aku tak butuh menjadi kaya. tak usahlah menjadi siswa teladan yang dipuja-puja guru maupun murid lainnya. menerimaku sebagai manusia yang sederajat dengan mereka saja aku sudah bahagia."

ravn mengeratkan pelukannya, membiarkan hwanwoong yang saat ini benar-benar menangis, meluapkan emosinya.

namun hwanwoong tak mengatakan apapun lagi. hanya isak tangisnya yang terdengar pilu, hingga mulai senyap dan berganti dengkuran halus. ravn menghapus pelan air mata yang tercetak di pipi hwanwoong yang makin tirus itu menggunakan ibu jarinya.

"aku berjanji, besok keonhee tidak akan mendiamkanmu lagi," bisik ravn padanya.

🔮🔮🔮🔮🔮🔮

to be continued.

✅° In My Arms [ONEUS - Rawoong]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang