Sempurna

18 9 11
                                    

Dari begitu banyak kebetulan yang ingin Ayu hindari, kenapa harus dengan dengan laki-laki tengil itu Ayu dipasangkan.

Tidak kuasa menahan perasaan kesal, Ayu mendengkus begitu melihat Bayu memasuki ruang kepala sekolah. Dengan penuh kesopanan, Bayu berjalan sedikit merunduk saat mengambil tempat duduk di samping Ayu.

Di sana sudah ada Ayu juga seorang siswa lainnya. Jadilah mereka duduk bertiga menghadap kepala sekolah.

Ruangan kepala sekolah ini dilengkapi sebuah meja kursi dengan ukiran bunga berwarna emas. Di sana juga terdapat sebuah lemari besar yang berisikan berbagai macam piala.
Pak Gunawan melempar senyum hangat pada ketiga siswa di depannya. Suara beratnya terdengar berwibawa ketika berbicara.

"Selamat pagi, anak-anak. Pertama-tama bapak ucapkan terima kasih sudah hadir di sini. Dan juga bapak ucapkan selamat karena kalian bertiga akan mewakili sekolah kita dalam olimpiade sains tiga bulan yang akan datang."

Semua diam mendengarkan dengan saksama setiap kalimat yang disampaikan oleh sang kepala sekolah. Tidak ingin ada informasi yang terlewat sedikit pun.

"Kalian tidak perlu khawatir, selama tiga bulan ini kalian bertiga akan mengikuti pelatihan intensif bersama tim guru yang sudah ditunjuk," ucapnya penuh semangat. "Yang pasti mereka sangat kompeten."

Merasa ada yang bergerak, dengan ekor matanya Ayu melirik Bayu. Sepertinya Bayu sedikit bertingkah. Dilihatnya kaki Bayu yang menginjak-injak lantai pelan dan konstan. Lalu jari-jarinya ikut bergerak-gerak di atas paha. Bayu benar-benar tidak bisa diam barang sejenak.

Walaupun tidak menimbulkan suara berisik, bagi Ayu hal itu tetap saja menganggu. Coba saja Bayu mau duduk diam seperti Hanif. Menoleh ke samping kanan, Hanif memang duduk diam. Tetapi, kembali Ayu meringis mengamati sikap duduk temannya itu yang terlalu ... kaku, karena posisinya tidak berubah sejak tadi. Apa Hanif tidak pegal, ya?

"Maaf, Pak---" sejenak, suara Bayu menginterupsi kegiatan Ayu.

"Ya, Bayu."

"Untuk waktu latihannya bagaimana, ya, Pak?"

"Bapak akan memberikan tambahan waktu belajar diluar jam pelajaran. Tapi, tidak melebihi batas waktu. Jadi, tidak perlu khawatir."

Ketiganya kompak mengangguk, setuju dengan usulan kepala sekolah.

"Jadi sudah paham semua? Ada yang masih ingin ditanyakan?"

"Tidak, Pak."

"Tidak."

"Baiklah, silakan kembali ke kelas masing-masing. Dan jangan lupa berikan usaha maksimal kalian untuk olimpiade kali ini."

***

Hampir setiap hari setelah pulang sekolah, Ayu bersama dua teman lainnya akan belajar bersama di ruang praktikum. Mereka duduk di meja tengah dengan empat buah kursi yang saling berhadap-hadapan. Dua kursi menghadap langsung ke arah papan tulis.

Di sisi kanan papan tulis, terdapat rak-rak untuk menyimpan alat-alat. Dan di sisi sebaliknya ada meja yang berfungsi sebagai bak cuci tangan.

Ayu yang pada dasarnya memiliki jiwa kompetitif, berusaha sangat keras agar usahanya memperoleh hasil maksimal membuahkan hasil.

Tidak cukup hanya belajar dari materi yang diberikan oleh guru di sekolah. Di rumah, bahkan Ayu tidak berhenti mengulang-ulang materi.

Ayu tidak suka kegagalan, karena sejak kecil dirinya didik untuk selalu memberikan hasil yang terbaik tanpa cela. Sampai dirinya lupa bahwa dirinya juga butuh menikmati masa remajanya seperti remaja yang lain.

"Sekali-kali gagal tidak apa-apa, Yu. Namanya proses, jangan serius kalilah hidupmu itu," kata Bayu pada suatu hari. Saat itu Bayu urung pulang saat melihat Ayu belum selesai mengerjakan latihan soal. Padahal seharusnya itu sudah waktunya mereka pulang. Hanif malah sudah pamit pulang terlebih dahulu.

"Enak banget kamu bilang begitu," ucap Ayu sewot menanggapi kata-kata Bayu.

"Yailah, dibilangin juga. Tuh, liat jidatmu udah berkerut-kerut. Entar cepet tua kamu." Kali ini Bayu tidak lagi segan menunjuk-nunjuk kerutan di dahi Ayu dengan telunjuknya yang langsung ditepis Ayu karena risih.

Jujur saja, Ayu tidak pernah sedekat ini dengan seseorang yang bisa disebut sebagai teman. Jangan heran kalau sebenarnya dirinya kurang nyaman diperlakukan seperti itu. Walaupun Bayu tidak ada niat buruk.

"Woi, masih lama lagi? Udah sore ini."

"Kalau mau pulang, ya, pulang aja. Siapa suruh nungguin."

"Dih, ini anak dibaikin malah nyolot. Untung sayang," Bayu mencoba menggoda.

Tetapi hal itu tidak berlaku untuk Ayu dengan tingkat humor yang rendah. Yang ada, Bayu justru dihadiahi tatapan tajam ... setajam silet.

***

Tidak terasa waktu tiga bulan begitu cepat berlalu, hingga tiba waktunya mereka mengikuti lomba. Sampai diumumkan bahwa sekolah Ayu keluar sebagai juara umum dengan nilai mendekati sempurna. Sedikit menyisakan perasaan kecewa di hati Ayu.

Bayu berusaha menghibur, ketika dilihatnya raut kecewa yang tercetak jelas di wajah Ayu. "Yang penting kan, juara. Udah gak usah ditekuk begitu mukanya, jelek. Aku gak suka. "

Ayu hadiahi sebuah cubitan pada Bayu, menimbulkan gelak tawa Hanif yang menyaksikan tingkah kedua temannya. Setidaknya Ayu sedikit terhibur karena Bayu.

Dunia AyuWhere stories live. Discover now