Tarik-ulur

23 9 8
                                    

Duduk di ruang keluarga menemani ibunya menonton salah satu acara televisi favorit sang ibu. Ayu tidak ikut meyaksikan acara televisi dan memilih membaca buku yang kemarin baru ia pinjam dari perpustakaan.

Malam ini dia ingin menanyakan kembali pada Ayahnya perihal acara persami. Sudah sejak satu minggu yang lalu Ayu memberikan surat undangan pada sang Ayah. Akan tetapi, dia tidak kunjung mendapatkan jawaban apakah diberikan izin untuk mengikuti kegiatan tersebut atau tidak.

Ayahnya bahkan terkesan menghindari pembahasan kegiatan itu setiap kali mereka sedang duduk bersama. Ibu Ayu juga tidak membantu sama sekali dalam urusan perizinan. Ayu sebenarnya merasa tidak enak hati kalau setiap hari harus bertanya pada ayah, yang berujung diabaikan.

Membolak-balik buku ditangan, Ayu bosan karena Ayahnya yang ditunggu tidak kunjung kembali.

"Ayah ke mana, sih, kok lama?"

Meskipun mata terfokus pada televisi, tetapi telinga ibu masih bisa mendengar dengan jelas ucapan Ayu.

"Pergi sebentar ke tempat Pak RT."

"Oh ...."

"Tumben, Yu. Ada apa nyari ayah?" tanya ibu. Kali ini berbicara dengan mata fokus memandang Ayu bukan lagi ke televisi.

"Ayu mau nanya soal izin ikut persami, Bu. Kegiatannya bentar lagi, lho. Tapi, ayah belum juga ngasih jawaban."

"Kenapa gak dari kemarin Ayu nanya Ayah? Duh, tau sendiri gimana ayahmu itu." Ditatapnya wajah Ayu yang terlihat nelangsa.

"Sudah, Bu. Tapi ayah belum juga ngasih keputusan. Kalau ditanya jawabnya nanti-nanti terus," kesal Ayu mengingat bagaimana jawaban ayahnya. "Ayu harus gimana, Bu?"

Suara rengekan Ayu terdengar manja saat meminta pendapat pada sang ibu. Berbeda sekali dengan Ayu saat berada di sekolah. Sifat manjanya akan terlihat hanya saat berada di depan keluarga maupun orang terdekatnya.

Sebenarnya ibu Ayu tidak tega melihatnya pasrah menanti jawaban. Sangat jelas terlihat olehnya bahwa Ayu sangat ingin mengikuti kegiatan persami.

Karena setahu dirinya, Ayu tidak begitu menyukai kegiatan atau aktivitas di ruang terbuka. Dan ini adalah pertama kalinya Ayu merengek meminta izin.

"Kita tunggu ayah pulang dulu. Nanti ibu bantu bicara pada ayah, ya?" ucapnya memberi pengertian. Semata-mata agar Ayu lebih tenang.

"Bener lho, ya? Awas kalau bohong!" tuntutnya tidak ingin dikecewakan.

"Iya, bawel kamu!" cibir ibu Ayu. Setelahnya kembali menghadap ke arah televisi.

Cibiran dari ibunya kembali dibalas dengan godaan oleh Ayu, "Bawel begini juga anak ibu, kan?"

"Berisik aja dari tadi. Tuh liat, udah sampai mana acaranya tadi. Kepotong kan, jadinya."

Sebuah tepukan ringan mendarat gemas di paha, diikuti tawa renyah Ayu. Sesaat dirinya melupakan tentang izin kegiatan persami.

Berulang kali Ayu menguap, matanya semakin sayu menahan kantuk. Buku yang tadi dia baca juga sudah tergeletak rapi di atas meja. Tidak ada lagi keinginan Ayu untuk melanjutkan membaca.

Menggeliat pelan, mencari posisi nyaman di sofa yang mampu memuat tiga orang. Ayu melirik sekilas ke arah ibunya. Ternyata ibunya masih duduk nyaman dengan tontonannya, belum terlihat tanda-tanda mengantuk seperti dirinya.

"Lho, ini kenapa belum pada tidur?"

Mungkin karena mengantuk, Ayu tidak mendengar suara pintu dibuka dan ditutup, juga langkah kaki yang mendekat. Sehingga suara berat sang ayah membuat kaget Ayu yang hampir terlelap.

"Ayah," Ibu lebih dulu bersuara. Karena suaminya masih berdiri, ia menggeser duduk lalu memberi sedikit ruang di antara dirinya dan Ayu. Menepuk kursi sebagai isyarat agar suaminya duduk.

"Jadi, ada apa ini?"

"Gak ada apa-apa, seperti biasa ibu lagi nonton itu, tuh, sinetron."

"Oh, terus ini Ayu kenapa tiduran di sini? Bukannya di kamar aja, Yu?" tanya ayah lagi, kasihan melihat wajah mengantuk Ayu. Pikirnya lebih baik Ayu pindah tidur di kamar, daripada tidur di sofa yang sempit.

Menegakkan tubuhnya, walaupun masih sedikit mengantuk. Ayu kucek matanya perlahan, menghalau rasa kantuk.

Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Ayu langsung bertanya pada sang Ayah pasal izin kegiatan persami.

Malam tidak terasa sunyi, karena ada suara dari televisi yang menyala. Di luar suara binatang malam juga tidak kalah berisik, walaupun tidak sampai terdengar ke dalam rumah.

"Harus banget ayah jawab sekarang, Yu? Sudah malam ini."

"Yah, ayah. Kapan lagi coba? Belum tentu juga besok Ayu ingat," jawab Ayu, bersikeras mendapatkan izin malam ini juga.

Di sudit sofa yang lain, ibu Ayu masih diam mendengarkan. Akan ada waktunya dirinya ikut berkomentar, tinggal menunggu saat yang pas.

"Kamu udah ngantuk gitu, Yu. Besok aja, ya," lagi-lagi mencoba berkelit.

Mengguncang pelan lengan ayahnya, Ayu mulai merengek, "Sekarang aja, ayah."

Matanya mulai memerah menahan kantuk dan sedikit campuran rasa kesal. Ayah pun hanya diam saja mendengar rengekan Ayu.

Ayah Ayu itu sebenarnya tidak ingin memberi izin Ayu ikut kegiatan berkemah. Menurutnya Ayu lebih baik di rumah saja, karena memang Ayu tidak pernah ikut kegiatan semacam itu dari dulu. Alasannya karena Ayu memiliki alergi dingin.

Jadi, daripada alerginya kumat yang dapat menyebabkan gatal-gatal di sekujur tubuhnya. Atau yang lebih parah bisa membuat Ayi sesak napas, lebih baik dirinya mencari alasan untuk membuat Ayu lupa.

"Ayah ini, kasihan Ayu udah nungguin dari tadi. Setidaknya kasih jawaban, dong."

Ibu yang melihat gelagat tidak mengenakkan sang suami, akhirnya turun tangan juga. Merasa kasihan melihat wajah kusut sang putri.

Didesak dan disudutkan sedemikian rupa oleh sang istri dan anaknya. Akhirnya dengan berat hati, ayah mengangguk sebagai persetujuan.

Mungkin sekali ini saja dirinya memberi izin, hitung-hitung menyenangkan Ayu.

Dunia AyuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang