3. Will it be Fine?

1K 136 7
                                    

Giordan memakai jubah simbol kerajaan setelah memakai tuxedo hitam nya.

Hari ini akan menjadi hari yang sangat bersejarah untuk nya. Penobatan nya akan di laksanakan hari ini tapi kenapa dia masih meragu?

Apakah dia mampu?
Hati dan otak nya menolak mengatakan kalau dia akan baik baik saja setelah ini.

Tapi apa mau dikata, ini kewajiban nya sebagai pangeran mahkota negeri ini.

"Yang mulia apakah sudah siap?" Tanya kepala pelayan istana dari luar kamar Giordan.

"Ya aku keluar sekarang."

Giordan melangkah keluar kamar.

Demi tuhan dia tak tau apa yang akan terjadi di masa depan. Apakah akan lebih buruk daripada masa sekarang? Giordan takut.

Sekretaris pribadi kerajaan sempat memeriksa kelengkapan pakaian yang Giordan kenakan sebentar.

"Silahkan mengambil jalan ke aula pangeran mahkota."

Gio melangkah ke aula.
Selangkah demi selangkah rasa nya kaki nya semakin berat.

"Ayah.." Suara rintihan kecil nya nyaris terbawa angin

Apakah ayah nya juga merasakan hal yang sama selama proses penobatan? Apa rasa khawatir dan ketakutan nya juga sebesar yang Giordan rasakan? Ia harap ia bisa menanyakan nya pada sang ayah.


Seperti biasa Giordan akan melakukan salam pagi ke ruang kerja ayah nya dan ke ruang kerja sang ibu yang letak nya agak berjauhan.

"Yang mulia, saya datang untuk memberi salam," ucap Giordan pada Jeno.

"Bagaimana keadaan mu pangeran?"

"Baik tentu saja seperti biasa."

"Bagaimana dengan masalah negara bagian tenggara? Apa sudah teratasi?"

"Masih kita upayakan yang mulia. Terjadi beberapa ketidak seimbangan dalam hal penyaluran bantuan pangan kami masih berusaha menyelidiki nya."

"Tolong di percepat nak, pikirkan mereka yang sedang kelaparan."

"Baik ayah, akan saya usahakan. Kalau begitu saya akan menyapa yang mulia ratu sebelum kembali ke negara bagian tenggara."

"Tunggu Jio."

Giordan mendongak tatapan mata sang ayah menjadi melembut.

"Ayah berbicara sekarang bukan sebagai raja melainkan sebagai ayah, apa Jio lelah?"

"Sedikit?"

"Kedepan nya akan ada lebih melelahkan nak, pasti Jio pernah berfikir untuk menjadi orang biasa tapi takdir mengatakan hal lain."

Ya, jujur saja sang Pangeran mahkota memang sering menyesali takdir nya. Mengapa ia harus terlahir sebagai pangeran? Kenapa ia harus hidup di lingkungan kerajaan yang begitu banyak aturan bahkan terasa sampai mencekik nya.

Namun lagi lagi, dibandingkan dengan menyesali takdir Giordan menemukan satu titik untuk bersyukur. Ia beruntung terlahir sebagai anak dari ibu dan ayah nya.
Nana dan Jeno seakan tak pernah membiarkan nya sampai kehilangan sosok orang tua.

"Ayah? Apa menjadi raja itu berat?"

"Tentu, seluruh negeri ini akan ada di pundak mu nak, kau harus memikirkan semua nya dengan matang, jika tidak rakyat mu mungkin jadi korban, sebagai raja kau tak boleh berat sebelah. Semua harus terlaksanakan dengan adil."

"Apakah Jio bisa?"

"Tentu saja, Jio akan menjadi raja yang hebat Ayah percaya itu. Pergilah dan temui ibu mu. Kau bisa beristirahat sebentar pergilah nanti setelah jam makan siang."

"Baik ayah, terimakasih."

Jio melangkah ke ruangan ibu nya. Disana Nana tengah membaca beberapa berkas nya.
Ibu Ratu nya terlihat sangat cantik.

"Selamat pagi permaisuri putra mahkota datang memberi salam."

Nana mendongak menemukan sang buah hati yang kini sudah beranjak remaja. Senyum mengembang diwajahnya nya.

"Selamat pagi putra kesayangan ku, bagaimana keadaan mu nak?"

"Jio baik ibu, ibu bagaimana?"

"Ibu baik, hanya saja lelah?"

"Jangan terlalu memaksakan diri ibu, jangan sampai ibu sakit atau Jio akan marah!"

"Heyy lihatlah anak remaja ini, kau bahkan berani mengancam ibumu sekarang? Tidak ingatkah dulu saat kau menangis ketakutan dan mengetuk pintu kamar ibu?"

"Ibu sudah jangan diingat aku malu."

Nana terkekeh melihat reaksi anak nya, remaja yang bahkan diusia nya 18 tahun ini sudah tumbuh setinggi ayah nya. Namun sayang nya lagi lagi waktu remaja nya diisi dengan membantu ayah nya mengurus pemerintahan.

"Kapan kau akan berangkat ke negara bagian tenggara nak?"

"Nanti setelah makan siang ibu."

"Mau ikut dengan ibu sebentar saja?"

"Baiklah, tapi pekerjaan ibu?"

"Nanti saja nak."

Mereka berjalan beriringan keluar dari gedung istana dan menaiki golf car menuju penthouse milik sang ratu yang terletak masih di kompleks istana namun sudah di ujung.

"untuk apa kita kesini ibu?"

"minum teh? Ayo ke lantai atas," tangan sang ratu menarik tangan putra nya untuk pergi ke lantai atas.

Disana ada balcony dengan meja dan kursi tempat sang ratu terkadang menikmati teh nya.

"Wahh ternyata bisa melihat keadaan pasar dari dekat."

Nana tersenyum melihat anak nya memperhatikan keadaan diluar istana.

Namun atensi kedua nya lagi lagi tersita melihat anak kecil yang sedang meminta minta di pasar tersebut.

"Apa ada banyak orang seperti itu Bu?"

"Ada beberapa, harus nya mereka dibawa ke panti asuhan tapi mereka menolak. Katanya tak bisa mendapatkan uang."

"Mereka tidak sekolah?"

"Ibu rasa tidak."

Giordan hanya bergumam tidak jelas,

"Nak, ini pr mu untuk bisa mensejahterakan semua rakyat kita tanpa terkecuali, ibu yakin Jio bisa."

"Apakah Jio bisa Bu?"

"Tentu saja Jio pangeran mahkota yang kuat."

Jio tersenyum, ibu nya selalu berada di pihak nya.

"Dunia akan semakin berat nak kedepan nya, nanti semua tugas ayah akan di alihkan pada Jio, ibu harap Jio bisa sehebat ayah atau bahkan lebih hebat. Bisa Jio janjikan itu pada ibu?"

"Bisa ibu, Jio akan berusaha yang terbaik untuk negeri ini."

"Terimakasih sudah bisa diandalkan nak, ibu menyayangi mu."



Giordan tersenyum mengingat percakapan nya dua bulan lalu dengan sang ayah dan ibu.
Tanpa sadar kaki nya sudah membawa nya masuk ke dalam aula.
Dilihat nya mahkota raja yang bersinar mewah penuh berlian.

Mahkota berharga kerajaan yang kini harus ia jaga. Yang kini akan menjadi tanggung jawab nya.








To be continue

Our Little PrinceWhere stories live. Discover now