2. SYNDROM

217 24 6
                                    

Pagi ini aku dan Mas Jagat sudah saling melempar pandangan layaknya orang kasmaran. Suasana di meja makan menjadi aneh karena kami sedang berebut nugget daging. Hal ini sudah berlangsung selama beberapa menit.

"Ini jatahku, loh, Raya." Mas Jagat engga mau melepaskan garpunya dari nugget itu.

"Hey, ini punyaku." Aku tidak mau kalah. Enak saja.

"Istri itu harus nurut sama suami," katanya, "jadi, singkirkan garpumu dari sana, ya, istriku tercinta."

Bagaimana ceritanya istri yang harus mengalah? Aku tidak pernah dengar ada sejarah yang seperti itu. Mas Jagat ini senang sekali mengada-ada.

"Mas, menyenangkan istri itu ibadah. Kamu engga boleh dzalim."

Mata Mas Jagat melotot, "Dzalim dari mana?" Sepertinya dia tidak terima dengan ucapanku barusan.

"Ini apa?" Mas Jagat memberi isyarat kepadakubuntuk melihat piring.

Mataku melirik nugget yang ada di atas piring, di mana garpu kami masih menusuk satu nugget yang sama.

Mas Jagat memperhatikan nugget itu cukup lama, tapi kejadian berikutnya sungguh di luar dugaanku. Dia membelah nugget itu menjadi dua bagian dan memakannya separuh.

"Adil 'kan?" ujar Mas Jagat lalu pergi meninggalkan piring bekas makannya begitu saja.

Aku ternganga. "Mas Jagat! Kamu dzalim sama istrimu!" teriakku.

"Itu adalah bukti kasih sayangku yang adil, Raya," katanya.

Adilnya dilihat dari mana?
Ya Tuhan, mengapa suamiku menyebalkan?

Piring bekas makan Mas Jagat agak berantakan. Sisa cabai dan tulang ikannya  tidak rapi, bahkan ada sisa nasi di piringnya. Rahangku mengeras.

"Dasar jorok!"

Kelakuan Mas Jagat ini selalu membuat tensi naik. Ada saja hal yang membuatku ingin memakinya.

Untung sayang.
Untung cinta.
Untung ganteng.
Sayangnya ngeselin, jadi tidak ada untungnya.

Kubereskan meja makan dan mencuci piring bekas makan kami. Setelahnya, aku kembali ke kamar untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang belum sempat kuselesaikan di kantor tadi, tapi saat kembali ke dalam kamar, Mas Jagat ternyata sedang bermain game di kamar sambil berteriak.

"Woh! Keren kalian. Ayok semangat, demi ivent."

Aku melirik Mas Jagat lalu menggeleng pelan. Kalau sudah asyik dengan gamenya, dia tidak mungkin bisa diganggu. Jadi, mengabaikan Mas Jagat adalah pilihan terbaik daripada mengajakya bicara tapi diabaikan. Bukannya senang tapi tekanan batin.

Kupikir memang begitu, tapi suara Mas Jagat sangat mengganggu pekerjaanku. Telingaku rasanya gatal setiap kali mendengar Mas Jagat membahas sesuatu dengan kawannya.

Aku mencolek Mas Jagat dan memberi isyarat untuk diam. Dia mengangguk, dan mulai tenang. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, dia malah berteriak lagi bahkan kali ini sampai berkata kasar.

Aku reflek memukulnya dengan bantal. "Astaga, Mas Jagat!" gumamku.

Dia menepuk mulutnya beberapa kali dengan pelan dan menunjukkan dua jari tanda damai.

"Keceplosan," bisik Maa Jagat.

Aku hanya menggeleng lalu kembali fokus pada laptop dan beberapa kertas. Keadaan kamar saat ini cukup tenang, aku jadi bisa lebih fokus mengerjakan tugas kantor.

Hari semakin malam, mataku mulai sayup-sayup, Mas Jagat juga sudah tidur. Untunglah pekerjaanku sudah selesai, jadi aku bisa tidur awal.

Namun, baru juga ingin memejamkan mata, tiba-tiba Mas Jagat berteriak sambil menggerakkan tangannya seolah sedang bermain game.

"Astaga! Kanan! Kanan!" teriaknya.

Aku terkekejut. Bisa-bisanya dia tidur sampai bermimpi main game. Memangnya sevelum tidur tadi tidak baca doa dulu?

"Argh!"

Kubangunkan dia dengan cara apa pun. Mulai dari menggoyangkan tubuhnya, mencubit hidungnya, sampai menarik pipinya, tapi tidak bangun juga. Sampai akhirnya kupukul bahunya dan memanggil namanya agak keras.

Dia terbangun sambil melotot, "Kenapa mukul sih, Raya!"

"Harusnya aku yang tanya, Mas bisa diam engga, sih? Aku mau tidur jadi keganggu terus karena kamu ngigau engga jelas."

Dahi Mas Jagat mengerenyit, "Memangnya aku ngigau gimana?"

Aku mengerling sambil menghela napas. Mencoba mempraktikkan apa yang dia lakukan tadi saat mengigau.

"Mas juga bilang gini, 'Dasar engga guna! Mati aja lo', lalu tangan kamugentayangan ke mana-mana."

Mas Jagat berkedip beberapa kali lalu mendekatkan diri ke arahku.

"Tanganku gentayangan?" katanya, aku mengangguk, "gentayangan ke kamu juga engga, Sayang?"

"Kalau tanganmu berani gentayangan ke aku," aku mengepalkan tangan tepat ke depan wajahnya, "ini bakal melayang ke mukamu duluan!"

Mas Jagat tergelak. Sebelum kembali tidur, dia sempat bilang wajahku kalau sedang marah tampak cantik. Dasar gombal. Aku kanemang sudah cantik dari dulu.

Bersambung ....

Wife's AttackWhere stories live. Discover now