7* Surat Pernyataan Perang

122 17 0
                                    

Aku tidak habis pikir, ternyata Mas Jagat benar-benar ingin aku berhenti kerja. Hari ini Mas Jagat datang ke tempat kerjaku dan menemui atasan. Dia juga tidak segan mengatakan kalau aku akan resign hari ini juga. Apa-apaan dengan Mas Jagat ini? Dia tidak pernah bilang akan datang ke kantorku. Di mana sih otaknya itu?

“Nah, ini bukti kalau kamu sudah bukan karyawan di perusahaan itu.” Mas Jagat memberikan selembar surat padaku yang mana kertas itu berisi surat pengelaman kerjaku selama di kimia farma. “Kamu harus nurut apa yang aku bilang, Ra. Aku ini suamimu, dan aku mau yang terbaik untuk kamu. Lagian enggak ada ruginya kalau nurut sama suami, kan?”

Perasaanku saat ini tidak bisa aku jabarkan dengan kata-kata. Kesal, marah, sedih, sesak semuanya menjadi satu dalam dada. Bisa-bisanya Mas Jagat mengambil keputusan sepihak begini. Kalau dari awal dia berencana mendatangi tempat kerjaku, untuk apa ada kontrak kerja sama? Semua tidak ada gunanya kalau dari awal dia memang berencana untuk memutuskan sendiri.

“Kamu egois, Mas!” ujarku, lalu masuk ke dalam kamar. Aku bisa dengar Mas Jagat berteriak memanggil namaku beberapa kali bahkan sampai mengetuk-ngetuk pintu. Terserah, aku tidak peduli, dia saja tidak mengerti bagaimana perasaanku.

“Raya, aku melakukan ini demi kebaikanmu. Kamu itu enggak boleh terlalu banyak berpikir. Kadang kamu bawa kerjaan ke rumah. Malam-malam pun kamu masih bergelut sama kerjaan. Kamu pikir suamimu ini bakal diam saja kalau melihat istrinya bekerja terlalu keras?” ujar Mas Jagat dari balik pintu kamar.

“Baik, aku tunggu sampai amarahmu meredam. Kalau suasana hatimu sudah membaik kita akan bicara. Maaf, kalau sikap dan keputusanku ini egois dan bikin kamu jadi enggak nyaman. Aku Cuma mau kamu paham kalau ada seorang suami yang enggak tega kalau melihat istri tercintanya kelelahan. Aku harap kamu paham dengan maksudku.”

Usai mengatakan itu, cukup lama aku tidak mendengar suara Mas Jagat lagi, aku juga sempat mendengar suara langkah kaki yang mulai mejauh dari pintu kamar. Mungkin Mas Jagat sudah pergi dari sana. Baguslah, dengan begitu aku tidak perlu mendengar suaranya lagi. Aku masih ingin sendiri untuk menenangkan pikiran. Kalau bicara dengannya sekarang, aku berani jamin kami tidak akan bisa menemukan jalan keluar dengan kepala dingin, justru yang ada semakin memperburuk suasana.

***

Rasa kesak yang berujung tangisan membuatku tertidur. Jam di dinding sudah pukul empat sore. Perutku juga sudah mulai berdemo untuk minta diberikan makan. Aku baru ingat kalau sejak tadi pagi belum sarapan, lalu di tempat kerja malah melihat Mas Jagat yang sudah bicara pada atasanku soal pengunduran diri. Hal itu membuat kami berdua bertengkar sampai tenagaku rasanya mau habis, jadi aku memilih mengurung diri di dalam kamar.

Mengingat itu rasa kesalku kembali muncul.

Rasa lapar membuatku harus keluar kamar dan memakan sesuatu di dapur. Namun, saat kubuka pintu, mataku terkejut melihat makanan yang diletakkan di atas bangku depan kamar. Sepiring nasi dengan fried chicken, gorengan dan jus jeruk. Bukan hanya itu saja, di bawah piring juga ada selipan kertas yang bertuliskan, Selamat makan, Istriku.

Aku memperhatikan makanan yang ada di bangku tersebut. Memangnya tidak ada makanan lain selain ayam? Ini sudah pasti beli di luar. Rasanya tidak mungkin Mas Jagat masak, dia itu tidak pandai masak.

Aku mengambil piring tersebut dan membawanya ke sofa depan televisi. Kunikmati makanan itu sampai habis begitu juga dengan jus jeruk yang kini tinggal setengah gelas. Perutku  sudah terisi, tapi hal itu tidak akan membuatku luluh untuk memaafkan Mas Jagat. Memangnya membujukku itu cukup hanya dengan sebuah makanan saja? Tidak!

Mas Jagat sudah menghilangkan banyak hal. Pekerjaanku, hobiku, duniaku, padahal semua itu kudapatkan dengan susah payah sejak usiaku masih usia 18 tahun. Lalu dengan semudah itu Mas Jagat mengambil keputusan padahal perjanjiannya belum diputuskan. Ya Tuhan, mengingatnya saja aku mulai kesal lagi.

Aku mengganti chanel televisi berkali-kali tapi tidak menemukan acara yang bagus. Suasana di rumah juga terasa sangat sepi. Padahal sudah hampir 30 menit aku duduk di sofa, tapi tidak sekali pun melihat Mas Jagat. Bahkan ruang kerjanya pun tidak bising seperti biasa. Suara teriakan ataupun speaker tidak terdengar sama sekali. Apa dia sedang pergi keluar atau malah tidur?

Terserah lah, setidaknya sore ini aku bisa merasakan ketenangan dari suara bising yang ditimbulkan Mas jagat seperti biasanya. Bahkan gombalan yang biasa dilontarkannya pun engga terdengar sama sekali. Aku kembali melirik pintu ruang kerja Mas Jagat dan jam dinding secara bergantian. Namun, sudah sepuluh menit aku menunggu pintu itu terbuka, tapi enggak ada juga tanda kalau Mas Jagat akan keluar kamar. Orang itu tidak mati, kan?

Aku mencoba untuk menghampiri kamarnya dan mengetuk pintu tapi enggak ada jawaban. Bahkan waktu kubuka ternyata pintunya tidak dikunci. Aku mengintip sedikit ke dalam. Bangku yang biasa menjadi singgasananya kosong. Aku masuk ke dalam untuk memastikan Mas Jagat ada di sana atau tidak, dan hasilnya ruangan itu kosong. Komputer yang biasanya hidup selama 24 jam kini mati, bahkan ruangannya terlihat lebih rapi.

Karena Mas Jagat tidak ada di dalam ruang kerjanya, aku keluar. Namun, saat itu aku mendengar ada suara ponsel berdering. Aku menoleh ke atas meja, di sana ada ponsel Mas Jagat. Tumben sekali Mas Jagat tidak membawa ponselnya, biasanya benda itu tidak pernah lepas dari tangannya kecuali saat makan, mandi dan tidur.

Aku melihat nama pemanggil yang ada di layar ponselnya, di sana terlihat nama ‘Diana.’

“Diana?” gumamku, aku mencoba untuk mengingat-ingat semua nama yang pernah berkenalan denganku waktu pergi dengan Mas Jagat ke tempat makan waktu itu bersama squad Mas Jagat, tapi rasanya tidak ada yang namanya Diana. Aku tidak berani menjawab panggilan itu sampai ponselnya berhenti berdering. Namun tidak lama setelah itu ponselnya kembali berdering sampai lima kali.

Aku mengangkatnya, tapi sebelum bicara orang ini tiba-tiba berkata, “Mas, nanti malam jadi ketemuan di tempat biasa, kan?”

Aku bergeming waktu mendengar ucapan Diana. Ketemuan? Tempat biasa? Apa Mas Jagat ada main gila di belakangku? Aku sama sekali tidak menjawab dan langsung mematikan poselnya. Aku keluar dari ruang kerja Mas Jagat bermaskud mencarinya, tapi tidak ada tanda sedikit pun kalau dia ada di rumah ini, malahan motor di rumah juga tidak ada.

Nama Diana terus terngiang dalam kepalaku, bahkan perkataannya masih terasa hangat dalam telinga. Ketemuan? Tempat biasa? Apa mereka sering bertemu di belakangku? Masa iya Mas Jagat setega ini sama aku yang jelas-jelas istri sahnya? Ya Tuhan ….

“Awas kamu, Mas kalau macam-macam di belakangku. Aku akan laporkan semua kelakuanmu ke orangtuaku!”


Bersambung ....

Wife's AttackWhere stories live. Discover now