9*

161 19 5
                                    

Mas Jagat pernah berkata, jangan pernah marah kepada manusia karena hal sepele. Kata-kata itu selalu kuingat dengan baik dalam memori kepala. Namum, ada kata mutiara yang sering kali kudengar. Kira-kira seperti ini, “Kesabaran setiap manusia itu ada batasnya.”

Aku tidak pernah menganggap setiap kata mutiara itu hanyalah bualan, tapi tidak setiap orang bisa termotivasi hanya dengan sebuah kata-kata yang bahkan tidak tahu punya kekuatan untuk memotivasi atau justru semakin memperburuk suatu keadaan.

Sebenarnya aku sendiri tidak terlalu memedulikan soal kata-kata mutiara, yang saat ini sedang terpikirkan adalah bagaimana caranya membuat Mas Jagat tidak terlalu menomorsatukan dunianya sendiri. Di kehidupan nyata ada aku yang berstatus istrinya, jadi aku berhak untuk meminta sesuatu darinya termasuk menghabiskan waktu bersama lebih banyak. Dalam sebuah pernikahan tidak selalu soal kebutuhan lahir tapi juga batin yang harus terpenuhi, kan?

Keadaan kami berdua memang sudah lebih baik. Mas Jagat sudah mulai makan denganku lagi. Kadang kami bercanda seperti biasa, tapi semua itu tidak membuatku merasa puas. Setiap kali kami bercengkrama, mas Jagat tampak lebih asik menikmati ponselnya sembari tertawa sendiri. Bukan itu saja, dia sering tidak nyambung kalau diajak bicara. Aku tanya apa, jawabnya malah ke mana. Aku bahas hal lain, dia malah bertanya tadi aku bicara apa.

Ya Tuhan ... apa semua laki-laki itu begini? Bersikap seolah mereka raja, makanya semaunya, tapi kalau perempuan yang melakukan sesuatu, ada saja yang diprotes. Bahkan tidak jarang ada laki-laki yang selalu mengabaikan perempuannya. Manusia jenis seperti ini benar-benar tidak bisa dikasih hati, sesekali harus dihajar pakai sandal bakiak.

Oh, ya. Tadi malam mas Jagat bilang mau ada acara pagi ini dengan teman-temannya, jadi dia tidak akan ada di rumah sampai nanti malam.

Aku menawarkan diri untuk menemaninya, tapi ditolak. Menyerah? Enak saja, aku terus memaksa untuk ikut. Sejujurnya aku penasaran dengan perempuan yang bernama Diana. Kenapa dia terkesan sangat akrab dengan mas Jagat sampai membuat janji untuk bertemu di tempat biasa. Memangnya di mana mereka biasa bertemu?

Aku gemas ingin bertanya, tapi sebisa mungkin aku menahan diri. Aku takut Mas Jagat berpikir kalau aku ini tidak sopan karena sudah menyentuh ponselnya. Meski sudah mendapat izin untuk menerima semua panggilan dan membaca pesan, aku tidak pernah mau melakukan hal itu kalau tidak benar-benar terpaksa. Misalnya ada panggilan yang terus masuk dan berlangsung lama, apa lagi kalau sampai tiga kali memanggil.

Aku melihat jam yang sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Sejak tadi kami sama sekali tidak mengobrol, Mas Jagat yang biasanya ramai sendiri kini tampak lebih banyak diam. Pandangannya lurus ke depan tanpa menoleh ke arahku sejak kami memulai perjalanan.

“Masih jauh, Mas?” tanyaku.
“Enggak, sebentar lagi.”

“Dari tadi sebentar terus. Sebenarnya sebentar lagi sampai atau sebentar lagi nyasar!”

Sumpah, ya. Sudah dua jam perjalanan, kenapa tidak sampai-sampai. Kalau ditanya, jawabannya selalu sebentar lagi. Ini sudah masuk kota Tangerang. Memangnya janjian di mana sampai memakan waktu dua jam.

“Nanti ada orang yang mau aku kenalin ke kamu, Ra.” Ujar mas Jagat. Dia menoleh ke arahku sekilas sambil tersenyum. “Aku harap kalian bisa berteman baik.”

Aku hanya menoleh ke mas Jagat sekilas lalu kembali memperhatikan jalanan di depan. Sejak awal kami kenal, Mas Jagat senang sekali mengenalkanku dengan teman-temannya. Bukan hanya teman, kadang guru sekolah bahkan ke piaraannya yang saat ini tinggal bersama kami. Tony,  itulah nama kucing di rumah. Kali ini siapa yang akan dia kenalkan padaku?

Mas Jagat menghentikan mobilnya di sebuah mall. Katanya di sini lah dia akan bertemu dengan teman-temannya. Tumben sekali, biasanya mas Jagat bertemu dengan temannya di rumah makan sederhana atau rumah temannya, tapi kali ini justru di dalam mall.

Wife's AttackWhere stories live. Discover now