5. Sebuah Keinginan

114 19 4
                                    

Ini sudah hari ketiga Mbok Jana libur. Tadi pagi aku dan Mas Jagat juga mulai bekerja sama untuk mengurus rumah. Namun, kalau soal memasak, aku sendiri yang akan mengurusnya. Aku tidak mau dapur kesayanganku berubah jadi medan pertempuran karena ulah Mas Jagat. Untuk berjaga-jaga aku sudah memasak sarapan dan makan siang nanti. Setidaknya, aku bisa tenang meninggalkan rumah dengan makanan yang sudah tersaji untuk Mas Jagat, jadi dia tidak akan menyentuh kompor.

Pekerjaan hari ini lumayan banyak, aku sendiri tidak yakin bisa pulang tepat waktu atau malah terlambat. Direktur memintaku untuk mengurus beberapa hal soal meeting besok pagi. Sebenarnya persiapan meeting untuk besok sudah selesai, hanya saja aku harus mengurus beberapa hal di perusahaan cabang karena produksi obat di sana sedikit terkendala.

Aku sudah bersiap untuk pergi ke kantor cabang, tapi tiba-tiba direktur menelpon. Katanya aku tidak usah pergi. Urusan di kantor cabang sudah ada yang menghandle, anaknya sendiri.

"Baik, Pak. Kalau begitu sekarang saya pulang saja." Pak Direktur mengiyakannya ucapanku.

Aku bergegas ke parkiran dan masuk ke dalam mobil. Waktu kunyalakan mobil, Mas Jagat menelponku. Aku pikir ada apa, ternyata dia cuma bilang di rumah tidak ada makan malam jadi dia mau bikin makanan. Aku langsung melarangnya dan menyuruh Mas Jagat menungguku sebentar.

"Enggak usah macam-macam sama komporku!" ucapku.

***


Perjalanan dari kantor ke rumah tidak terlalu jauh, hanya memakan waktu 15 menit. Saat ini baru pukul empat sore, yang artinya tidak terlalu banyak karyawan yang sudah pulang. Kebanyakan dari mereka pulang jam lima sampai jam enam sore. Jadi jalanan lebih renggang.

Aku sudah sampai di rumah. Mobil juga sudah aku parkir di garasi. "Mas, aku sudah pulang," ujarku.

Kuletakkan tas dan map di atas meja lalu berkalan ke dapur. Namun, saat aku hendak mencuci tangan, kulihat cucian piring tadi pagi masih pada posisinya. Tidak ada perubahan sama sekali. Tempat sampah juga masih penuh.

Ya Tuhan ....

"MAS JAGAT!" teriakku, tapi tidak ada tanda-tanda Mas Jagat datang. Pasti lagi pacaran sama komputernya.

Aku menghampiri Mas Jagat ke dalam kamar, tidak pakai ketuk pintu atau basa-basi lainnya. Kulihat Mas Jagat sedang berbaring sambil memainkan ponselnya dan berteriak tidak jelas.

Aku tercengang saat melihat keadaan kamar yang tidak jauh berbeda dengan keadaan dapur. Kamarku berubah menjadi kapal pecah. Selimut yang tadi pagi sudah kulipat, sekarang berubah ada di ujung tempat tidur. Kucing di atas kasur, bahkan ada bekas makanan kucing di lantai. Komputer yang masih menyala, dan juga Mas Jagat yang belum ganti pakaian. Ya Tuhan, dia belum mandi sejak tadi pagi!

"Mas Jagat!" panggilku sedikit berteriak.

Dia melihatku sambil melambaikan tangan. Benar-benar tidak tahu kalau saat ini istrinya sedang marah, ya.

"Mas Jagat katanya mau cuci piring! Mana? Itu sampah di dapur juga belum dibuang! Komputer masih nyala! Sayang listriknya!, Terus ini!" Aku menunjuk lantai dan juga si kucing, "bekas makan kucing kenapa enggak dibereskan!"

Mas Jagat langsung meletakkan ponsel dan menggaruk kepalanya, "A-ah. Itu ... maaf Raya, Mas lupa!" ujarnya sambil meletakkan kedua tangannya tepat di depan dada.

"Beresin sekarang atau enggak ada makan malam!" titahku, lalu pergi meninggalkan Mas Jagat sambil menutup pintu kamar agak keras.

***

Ikan goreng, tumis bincis dan sambal terasi. Itu semua adalah menu makan malam kami berdua. Memang tidak terlalu banyak. Lagi pula di rumah ini hanya ada kami berdua jadi tidak perlu masak banyak-banyak, kalau tidak habis nanti mubazir.

Aku melihat Mas Jagat hanya bergeming memperhatikan makanan. Dia hanya memerhatikan makanan lalu tiba-tiba memberiku piring sambil melihatku cukup lama. Aku tidak mengambil piringnya dan ikut memperhatikan Mas Jagat. Jadilah kami saling lihat satu sama lain tanpa menyentuh makanan.

Mas Jagat tiba-tiba mencubit punggung tanganku dan berkata, "Aku mau minta tolong ambilkan nasinya, kenapa kamu malah melihatku terus?"

Ternyata dia sejak tadi menungguku mengambilkan makanan untuknya. Aku kira Mas Jagat mengajak adu pandang dan melihat siapa yang paling lama tidak berkedip, tapi ternyata pikiranku salah. Dia hanya meminta tolong untuk diambilkan nasi.

"Kenapa enggak ngomong saja dan malah melihatku terus? Aku enggak paham bahasa mata!" geramku.

"Bahasa mata itu bagaimana, Ra?"

Sudahlah, enggak usah dibahas lagi. Bukannya selesai nanti malah tambah panjang karena Mas Jagat banyak tanya.

Kuambil piring yang ada di tangannya lalu mengambilkan nasi serta lauk pauk. Mas Jagat ini memang jarang makan, tapi sekalinya makan sudah seperti kuli bangunan yang kelaparan. Luar biasa banyak. Aku saja tidak akan sanggup makan sebanyak itu. Bisa-bisa perutku buncit karena terlalu banyak menampung makanan.

Mas Jagat menunjuk sambal, "Sambalnya yang banyak, Ra."

"Enggak! Nanti kamu mules, mencret, rewel. Kalau Mas Jagat sakit itu rewelnya enggak ada yang bisa nandingin. Apa lagi kalau malam. Sudah enggak bisa tidur, rewel, banyak maunya, ngelebih-lebihin anak kecil."

Aku meletakkan piring nasi Mas Jagat dan giliranku yang mengambil makan sendiri. Sambal yang ada di hadapan Mas Jagat kusingkirkan ke dalam lemari dan kami mulai makan. Saat itu wajah Mas Jagat masam ketika sambalnya kusimpan ke dalam lemari. Dia juga bilang kalau aku ini pelit. Biarlah, daripada dia sakit perut.

Selama makan malam kami tidak bersuara sama sekali. Malam ini terasa lebih hening. Padahal waktu ada Mbok Jana kami sering mengobrol, tapi semenjak Mbok Jana pulang, Mas Jagat jadi agak diam di meja makan. Bahkan saat mau tidur pun dia tidak menggangguku. Biasanya dia menggodaku dengan gombalan anehnya.

Mas Jagat meletakkan sendoknya lalu mengambil ponsel yang ada di sampingnya, "Uang bulanan barusan kutransfer, ya. Mumpung aku ingat, jadi aku kirim sekarang, kalau ditunda takut lupa."

Aku melihat jumlah uang yang dikirim Mas Jagat. Hari ini lebih banyak dari biasanya. Padahal setiap bulan Mas Jagat hanya memberiku enam juta khusus untuk dapur. Apa dia sedang banyak pemasukan, tapi yasudah lah tidak usah ditanya. Sebagai istri rasanyaa kurang pantas kalau terlalu banyak tanya ini dan itu ke suami. Bisa-bisa dikira tidak percaya sama suami sendiri dan itu malah bikin perang dunia dalam rumah.

"Oh, ya, Ra. Sebelumnya aku minta maaf. Seandainya uang bulanan yang aku kasih ke kamu lebih dari biasanya. Langsung ke intinya saja, kamu mau resign?" tanya Mas Jagat.

Kenapa tiba-tiba bahas ini lagi? Padahal beberapa hari lalu Mas Jagat baru membahasnya. Apa seingin itu aku resign, ya?

"Tapi aku suka sama pekerjaaku, Mas," ujarku.

Mas Jagat memperhatikanku, "Aku tau,Ra. Tapi aku mau kamu di rumah saja. Urusan biaya rumah tangga akan aku usahakan."

Tidak. Ini bukan soal uang, tapi hobi dan kesukaanku pada pekerjaan ini. Kenapa Mas Jagat ingin sekali aku resign? Padahal dia tau seberapa sukanya aku dengan pekerjaan ini. Lagi pula usiaku masih muda, rasanya sayang sekali kalau menghabiskan waktu hanya di rumah saja.

"Tapi aku masih suka sama pekerjaan ini, Mas." Aku menatap Mas Jagat sambil menggenggam kedua tangannya.

Mas Jagat hanya menyunggingkan senyum dan melepas genggamanku. Tangannya mengusap kepalaku sembari mencium kening lalu pergi ke dalam kamar. Tidak ada godaan yang dilontarkan seperti biasa. Apa Mas Jagat tidak suka dengan jawabanku barusan?

Bersambung ....

Wife's AttackWhere stories live. Discover now