4. Persoalan

121 19 3
                                    

Ada satu hal yang paling aku suka dari Mas Jagat, yaitu saat melihatnya fokus bekerja. Sayangnya, pemandangan indah itu tidak pernah bisa bertahan lama. Mas Jagat mudah bosan dan sering melalukan sesuatu untuk menghilangkan kejenuhannya. Seperti bernyanyi, menggangguku, main game, menonton youtobe.

Terkadang aku kasihan melihat Mas Jagat yang bekerja sampai malam. Ralat, bukan bekerja tapi bermain game dengan timnya sampai tengah malam. Kalau aku menyuruhnya tidur, dia hanya tersenyum tapi tidak mengalihkan perhatiannya dari layar komputer. Aku sampai bingung harus mengingatkannya dengan cara apa.

Hari ini juga sama. Sejak semalam, Mas Jagat belum tidur. Dia masih asik di depan komputernya padahal sekarang sudah jam empat pagi!

"Mas, kamu belum selesai mainnya?" tanyaku, Mas Jagat hanya mengangguk saja.

"Ya ampun, sudah jam empat, Mas! Sudah pagi. Mau sampai jam berapa mainnya? Kamu belum tidur dari semalam."

Mas Jagat tidak menjawab, dia malah sibuk sendiri dengan game itu. Sungguh, rasanya ingin kubanting saja komputernya.

Mas Jagat berteriak, "Bangsat!"

"Astaghfirullah!" Aku reflek memukul bahu Mas Jagat.

"Raya diam sebentar. Aku mau menyelesaikan ini dulu."

Aku terkejut mendengar ucapan Mas Jagat. Tadi dia bicara kasar, sekarang malah menyuruhku diam. Aku penasaran, apa yang membuat Mas Jagat sampai terlihat kesal begini.

Aku mendekatinya sambil memerhatikan komputer Mas Jagat. Di sana karakter game Mas Jagat tampak berlari sembari mengambil sesuatu di dalam peti.

"Kamu mau maling ya, Mas? Kok ngambil sesuatu di sana?" tanyaku asal.

"Kok maling, Sayang. Ini ngambil material. Semua orang bisa mengambilnya."

"Lalu, kenapa Mas cuma sendiri? Kamu solo?"

"Aku Jakarta, Ra. Bukan solo."

Aku mengerenyit, "Solo game, Mas! Bukan kota Solo!"

Mas Jagat tergelak sambil mencubit pipi dan mengusap pucuk kepalaku, setelah itu kembali pada gamenya. Kulihat karakter Mas Jagat sedang mengeluarkan senjatanya. Dari arah berlawanan muncul tiga karakter lain yang sedang menghampiri Mas Jagat.

Musuh? Ah, sepertinya bukan. Aku menarik kursi rias dan meletakkannya di samping Mas Jagat. Tanpa sadar aku mulai memerhatikan game Mas Jagat sambil menyandarkan kepalaku di bahunya. Jujur saja, aku tidak terlalu mengerti game yang sedang dimainkan Mas Jagat ini.

Mas Jagat melawan sebuah monster naga bersama tiga karakter tadi sampai monster itu mati.

Mas Jagat bersorak dan mengangkat tangannya, "Yes beres! Bisa tidur nyenyak!"

Aku terjatuh dari kursi. Kursi yang akubgunakan juga sudah terbalik. Ya Tuhan, apa dia lupa kalau istrinya sedang bersandar di bahunya?

Mas Jagat menoleh dan bertanya mengapa aku duduk di bawah. Orang ini, benar-benar deh.

"Mas Jagat enggak sadar atau memang sengaja?  Aku lagi nyender, kenapa malah angkat tangan?"

Mas Jagat berkedip beberapa kali. Kemudian tersenyum sambil mengulurkan tangannya dan meminta maaf. Aku tidak memedulikannya, pantatku jadi sakit karena jatuh barusan.

Aku menendang kursi rias sampai kembali ke tempat asalnya, setelah itu kutinggalkan Mas Jagat di dalam kamar.

"Kalau aku panggil sampai tiga kali kamu enggak turun juga, semua sarapan bakal aku umpetin," ujarku.

Mas Jagat melihatku cukup lama lalu berteriak, "Ahh, Raya! Kenapa kamu senang  sekali ngumpetin makanan!"

***

Aku dan Mbok Jana menata menu makan malam di meja. Sesuai ucapanku tadi, kalau sampai panggilan ketiga Mas Jagat tidak juga keluar kamar, makanan ini akan kusembunyikan. Aku sudah memanggilnya sekali, artinya masih ada dua kali lagi.

"Mas Jagat! Mau makan enggak?" teriakku.

Mbok Jana mencubit pelan lenganku sambil tertawa. Katanya, aku ini senang sekali mengerjai Mas Jagat. Yah, sebenarnya enggak senang sih, hanya suka saja. Apa lagi waktu lihat wajahnya yang agak merajuk. Gemas, ingin kupukul pakai sandal.

Aku dan Mbok Jana mendengar suara langkah kaki dari tangga. Kami berdua tertawa karena melihat Mas Jagat agak berlari saat menghampiri kami ke meja makan.

"Aku sudah datang," ujar Mas jagat, "mana makanannya?"

Aku melirik meja makan lalu kembali melihat Mas Jagat, "Memangnya di hadapan Mas Jagat ini bukan makanan?"

Mas Jagat tiba-tiba mencubit pipiku dengan gemas, "Tumben banget istriku masak orek tempe kesukaanku. Biasanya kalau disuruh masakin orek selalu nolak."

Aku hanya tersenyum tanpa menyanggah. Perkataan Mas Jagat memang benar, aku paling malas kalau disuruh masak orek. Bagiku, makanan yang satu itu terlihat aneh. Warnanya hitam karena dicampur kecap, manis pedas mejadi satu, bahkan kadang qdaminyaknya. Aku memang enggak pernah masak, tapi pernah mencobanya waktu aku dan Mas Jagat makan di warteg tetangga.

"Habiskan makanannya ya, Mas. Aku mau ke kamar sebentar."

Sebelum kembali ke kamar, aku menuangkan segelas air putih ke gelas dan meneguknya sedikit lalu kuberikan ke Mas Jagat. Itu adalah rutinitas kecil yang selau kulakukan karena Mas Jagat yang memintanya. Katanya mantra supaya kami sakin lengket dan engak bisa dipisahkan.

Aku ke kamar hamya untuk meletakkan kaca mata dan kembali ke meja makan.

Kami berdua menikmati makan malam penuh canda tawa. Mas Jagat menggodaku seperti biasanya. Bilang kalau aku ini wanita tercantik setelah ibunya, paling manis, tapi diujung kalimat dia bilang kalau aku ini seperti Mak Lampir karena senang sekali marah-marah.

Aku sudah terbiasa dengan ucapannya yang agak menyebalkan. Jika saja yang bicara seperti itu temanku, mungkin sudah kusumpal dengan kaus kaki yang belum dicuci selama tiga bulan.

Aku dan Mas Jagat masih berbicara sampai kami selesai makan. Mbok Jana tiba-tiba datang menghampiri kami. Katanya mau membicarakan sesuatu. Saat itu aku melihat wajah Mbok Jana agak gelisah, apakah terjadi sesuatu?

"Anu, Mbak Raya, Mas Jagat. Sebelumnya saya minta maaf, saya mau izin pulang ke kampung. Tadi suami saya nelpon, bilang kalau anak lagi sakit. Lalu saya diminta pulang ke kampung," jelas Mbok Jana.

Mas Jagat menyuruh Mbok Jana duduk di kursi,"Memang anaknya sakit apa?"

"Demam berdarah, Mas."

Aku dan Mas Jagat saling melihat satu sama lain. Lalu Mas Jagat berdeham dan kembali melihat Mbok Jana yang sedang menunduk. Sungguh, aku tak tega melihatnya.

"Boleh kok, Bi. Besok pagi aku antar Bibi ke terminal jam sepuluh," ujar Mas Jagat. Dia menoleh ke arahku, "Kamu ikut kan, Ra?"

Aku mengangguk, "Ikut."

Kami berdua sudah sepakat untuk mengantar Mbok Janah besok pagi jam sepuluh. Aku bisa meminta izin ke atasan untuk datang terlambat. Lagi pula Mbok Jana ini sudah bekerja dengan Mas Jagat cukup lama, dari zaman aku dan Mas Jagat belum saling kenal. Rasanya kalau engga ikut mengantar itu engga enak.

Mbok Jana pamit undur diri karena dia mau istirahat awal, sedangkan aku dan Mas Jagat masih di ruang makan. Kami berdua berbincang sejenak membahas soal Mbok Jana dan pekerjaanku yang semakin banyak di kantor.

"Berarti mulai besok kita bagi dua soal tugas rumah, ya," ujarku pada Mas Jagat.

"Kenapa harus bagi dua?"

"Aku ini pagi kerja, pulang sore. Kalau Mas Jagat kerjanya kan di rumah. Pasti bisa bantu aku beres-beres rumah."

Dia mencibir tidak jelas sambil memperhatikan ke arah lain lalu kembali melihat ke arahku sambil berkata, "Kenapa kamu enggak resign saja, Ra? Cukup aku yang kerja."

Aku bergeming mendengar ucapan Mas Jagat. Aku tidak salah dengar? Barusan dia menyuruhku untuk berhenti kerja? Yang benar saja, aku menyukai pekerjaanku sebagai sekertaris di perusahaan Kimia Farma. Sebuah pekerjaan yang aku inginkan sejak aku SMA.

"Aku enggak mau resign!" ujarku dan pergi meninggalkan Mas Jagat sendirian di meja makan.


Bersambung .....

Wife's AttackWhere stories live. Discover now