6. Memaksa

96 16 0
                                    

Sudah seminggu lamanya sejak Mas Jagat memintaku untuk keluar dari tempat kerja. Dia bahkan memberikan banyak tawaran kesepakatan, tapi aku tetap menolaknya. Dia tidak pernah bosan untuk menyuruhku resign. Misalnya hari ini, Mas Jagat membelikanku banyak makanan ringan, dan juga eskrim. Sogokannya murah sekali.

“Raya, kamu serius enggak mau makan ini?” tanya Mas Jagat, dia bahkan menyodorkan eskrim cup kepadaku.

“Enggak lah, aku diet, Mas.”

Mas Jagat memperhatikanku, lalu tiba-tiba memiringkan kepalanya sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku. Dia bilang, “Ngapain diet? Kamu itu sudah kurus, kalau diet nanti malah tambah kurus kaya triplek. Memangnya mau?”

Kurang asem, benar-benar minta dipukul.

Mas Jagat tidak pernah tahu cara bicara yang manis ke istrinya, ya? Kenapa harus memperjelas soal badanku yang kurus. Harusnya kalau mau membujuk istri itu pakai cara yang romantis sedikit.

Aku lupa, Mas Jagat ini bukan tipe orang yang mudah bicara manis. Dia itu kalau bicara selalu apa adanya, tapi ucapannya itu sering bikin orang ingin sekai memukulnya.

Aku bisa mendengar Mas Jagat menghela napas, dia juga menyandarkan kepalanya di atas meja sembari melihatku. Jari telunjuknya terus mengetuk-ngetuk meja makan.

“Raya, kamu tahu kalau aku jarang minta sesuatu sama kamu. Bahkan hampir enggak pernah kecuali soal jatah makan yang sering kamu sembunyikan. Bahkan aku enggak pernah melarang kamu pergi sama teman-temanmu, kubebaskan kamu selama itu aman dan baik buatmu. Tapi, untuk kali ini, aku ingin kamu keluar dari tempat kerjamu, Raya. Urusan biaya rumah tangga akan kuusahakan semaksimal mungkin.”

Bukan, ini bukan soal biaya rumah tangga. Rupanya Mas Jagat masih belum paham dengan apa yang aku maksud. Pekerjaanku adalah kesukaanku, hal itu sama seperti Mas Jagat yang menyukai pekerjaannya sebagai youtober game. Aku hanya bekerja, kalau pulang tidak mampir sana sini, tidak menghabiskan uang suami untuk belanja ini dan itu, dan lagi aku juga mendapat banyak pengetahuan di tempat kerja. Lalu, kenapa aku harus resign?

“Aku enggak bisa, Mas. Aku suka sama pekerjaanku, kalau aku resign dan menghabiskan waktu di rumah saja, lama-lama aku jenuh  karena enggak ada hal yang bisa kulakukan selain pekerjaan rumah.”

Mas Jagat langsung mengangkat kepalanya sambil menggengam tanganku, “Kamu bisa nulis, Raya. Jadi bloger, atau jadi youtouber sepertiku. Kamu sering melakukan itu sebelum kita menikah.”

“Aku enggak ada bakat dibidang menulis atau bloger.” Aku melepas genggaman Mas Jagat dan tetap pada pendirianku untuk tidak resign. Selama ini aku juga tidak pernah protes sama pekerjaannya, kan? Selama dia suka, aku tidak akan menyuruhnya berhenti.

“Oke, kalau gitu kita bikin kontrak saja.” Wajah Mas Jagat terlihat lebih bersemangat. Dia berlari ke dalam ruang kerjanya dan kembali sambil membawa selembar kertas dan pena lalu meletakkannya di atas meja makan. tampaknya dia ingin menuliskan sesuatu.

Mas Jagat terlihat serius ketika menuliskan sesuatu di atas kertasnya. Aku sedikit mendekat karena penasaran dengan apa yang dia lakukan, tapi Mas Jagat langsung menghindar dan bilang, “Jangan lihat-lihat. Ini bukan ujian nasional.”

Aku mencibir, apanya yang ujian nasional. Dia pikir kita ini masih anak sekolahan yang kalau ujian lembar jawabannya pasti ditutupi dengan dalih supaya tidak ada yang bisa mencontek, tapi kalau ada salah satu nomor yang tidak bisa dijawab malah bertanya ke teman dan memakasa untuk diberikan jawaban.

Mas jagat memberikan kertas itu padaku. Dia menuliskan sesuatu yang berisi kontrak kerjasama antara suami istri. Di sana hanya ada sepuluh syarat. Yang mana semua itu enggak jauh dari persoalan resignku. Rupanya Mas Jagat masih enggak menyerah untuk membuatku keluar dari pekerjaanku saat ini.

Tuhan, mengapa Mas Jagat keras kepala sekali. Aku hanya ingin bekerja, bukan bermain apa lagi main gila dengan laki-laki lain. Padahal sebelum menikah dia enggak pernah melarangku bekerja. Dia juga pernah bilang kalau aku boleh meneruskan pekerjaanku walau sudah menikah dengannya, tapi kenyataannya Mas Jagat enggak bisa menepati janji itu. Aku disuruh resign dan di rumah saja. Apa dia enggak tahu kalau di rumah itu sangat membosankan?

Mas Jagat masih bergeming di kursi. Enggak ada sedikit pun suara yang keluar dari mulutnya. Sepertinya dia masih menunggu jawaban dariku perihal kontrak kerjasama itu. Enggak, aku enggak mau menyetujui kontrak kerjasama suami istri. Kami berdua menatap satu sama lain, enggak ada yang berkedip, rasanya kalau aku berkedip aku akan kalah.

“Ah, Raya. Jangan keras kepala dong. Aku cuma minta kamu untuk enggak kerja di luar. Enggak baik kalau perempuan sering ketemu laki-laki.” Wajah Mas Jagat tampak merah.

“Astaga, Mas. Aku enggak ketemu laki-laki terus. Kerjaanku di dalam kantor, yang sering menemani bos keluar itu Andini. Dia salah satu orang kepercayaan bosku.” Aku mendekatkan wajahku ke wajah Mas Jagat sambil menyentuh dagunya dengan jari telunjuk, “atau jangan-jangan kamu lagi cemburu ya? Makanya bawaan hati tuh selalu sensi.”

Mas Jagat menepis tanganku dengan pelan, kini giliran dia yang menusuk hidungku dengan jari telunjuknya sambil berkata, “Engga ada gunanya cemburu. Lagian hanya aku satu-satunya orang yang tahan sama sifat Mak Lampirmu.” Usai mengatakan iu Mas Jagat memberikan kertas kontrak yang ditulisnya tadi padaku dan dia masuk ke dalam ruang kerjanya.

“A-apa? Heh! Tadi Mas bilang apa? Mak Lampir?”

“Iya, Mak Lampir dari kahyangan.” Aku mendengar suara gelak tawa Mas Jagat dari dalam ruangan. Sudahlah, enggak ada gunanya berdebat dengannya, hal itu hanya akan membuang-buang waktu karena kami berdua memang engak ada yang mau mengalah. Lagi pula, dia sendiri yang mau menikah dengan Mak Lampir sepertiku.

Pintu ruang kerja Mas Jagat kembali terbuka, kali ini Mas Jagat menghampiriku tanpa membawa apapun. Namun, dia mengambil kembali kertas yang ada di tanganku. Katanya, sebelum aku menandatangani surat itu, dia mau membenahi isi dari kontraknya. Ah sudahlah, biarkan Mas Jagat melakukan apa yang mau dilakukannya. Aku enggak perlu melarangnya.

Aku melihat jam di dinding sudah pukul 11 siang, tapi cuaca enggak terasa panas sama sekali. Langit tampak mendung bahkan angin bertiup kencang. Sepertinya akan turun hujan. Aku melihat ke luar jendela, ibu-ibu di sana sedang sibuk mengangkati jemuran, bahkan ada yang berteriak memanggil anak mereka untuk pulang.

Ada beberapa anak yang menolak untuk pulang dan memilih menunggu hujan datang. Katanya, mereka ingin mandi hujan karena sudah lama tidak hujan-hujanan. Aku melihat ke atas langit, nampaknya hujan akan turun dengan deras. Sebagian dari mereka adalah anak-anak yang sering bermain ke rumahku di hari minggu dan malam sabtu. Biasanya ketemu Mas Jagat buat main game bareng.

Aku berteriak ke anak-anak di dekat rumah yang sedang duduk  sambil tertawa, "Hei, hujannya akan turun deras. Kalau kalian nekat hujan-hujanan, aku jamin besok akan masuk angin semua." Aku tergelak.

Mereka melihatku sambil tertawa, "Hujan turun itu enak. Bisa basah-basahan. Nanti airnya naik karena banjir. Kalau air naik, kita semua bisa berenang, Tante." Mereka menjelaskan padaku walau kalimat merek ahak berantakan.

"Yasudah, selamat hujan-hujanan. Awas kalau besok masuk angin, Tante enggak mau jenguk kalian semua, ya," ujarku yang dibalas anggukan dan tawa dari mereka.

Sepertinya memiliki anak itu kebahagiaan yang tidak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata, ya. Aku menutup jendela dan beteriak,  “Mas Jagat! Aku mau punya anak!”

Bersambung ....

Wife's AttackWhere stories live. Discover now