Sakit Perut

2.3K 279 93
                                    

Setelah Gempa memperkenalkan Halilintar dengan Blaze dan Ice, Gempa tidak berbicara lagi dengan Halilintar. Dia juga tidak menoleh sedikitpun ke arah Halilintar walaupun dia tahu sosok Halilintar selalu memperhatikannya.

"Tempat bekalnya Abang bawa sendiri, Gem mau balik ke kelas. Aze, Ice, Gem duluan ya."

Gempa berdiri dari tempatnya, lalu beranjak dari tempat itu. Halilintar yang awalnya ingin menahan Gempa agar tetap menemaninya menghabiskan bekal itu kini mengurungkan niatnya karena Gempa kembali menatap Halilintar dengan tatapan yang seolah mengatakan, 'jangan berani menyentuh Gem!'

Akhirnya Gempa pergi dari kantin meninggalkan kelima orang itu menghabiskan makanan mereka.

"Gue masih nggak nyangka Gempa itu anak pemilik sekolah! Dua tahun gue nggak tahu menahu sama berita sepenting itu?!"

Blaze berseru heboh. Walaupun suaranya cukup kecil karena dia takut membocorkan siapa Gempa sebenarnya. Dia cukup pintar untuk mengetahui bahwa pasti ada alasan mengapa keberadaan Gempa sebagai anak keluarga Aldebaran disembunyikan.

"Gue juga nggak sangka kalau saudara Gempa itu benar-benar Kak Hali," kata Ice.

"Eh? Serius? Lo berdua nggak tahu mereka saudaraan?" kata Solar terkejut.

"Beneran, Bang. Gempa cuma bilang dia punya abang yang sekolah disini. Tapi dia nggak pernah ngasih tahu siapa abangnya itu," kata Blaze.

"Yaudah, biar itu tetap jadi rahasia. Mereka berdua pasti punya alasan sendiri," kata Solar sembari melihat Halilintar yang menusuk-nusuk ayam goreng miliknya sembari melihat Taufan. Solar hanya membiarkan saja. Mungkin Halilintar sedang belajar bagaimana cara menyantet orang dengan baik dan benar.

"Padahal gue nggak nuangin banyak sambal deh, tapi perut gue kok mules ya?" kata Taufan sembari memegang perutnya.

"Mungkin ada yang ngasih jampi-jampi di mie ayam lo, Fan"

"Tapi kan Hali yang traktir gue, apa jangan jangan--"

Taufan melirik sekilas Halilintar yang kembali menelan bekal miliknya.

"Cuma mesen dan bayar. Gue nggak ada hubungannya," sinis Halilintar.

"Mungkin lo lupa kali kalau lo tuangin banyak sambal, Bang. Kadang lo kan rada geser dikit," celetuk Blaze.

"Sialan. Gue ke toilet dulu!"

Taufan buru-buru berlari meninggalkan mereka semua. Perutnya semakin menjadi-jadi seakan perutnya sedang di remas-remas oleh sesuatu. Taufan perlu mengeluarkan 'benda' itu sesegera mungkin.

Disisi lain, Halilintar tersenyum sinis ke arah Taufan. Tampaknya rencana Halilintar berhasil. Tidak sia-sia dia mampir ke UKS dan meminta satu kotak penuh obat pencahar untuk Taufan.

"Hm, aneh sekali dia. Padahal mie ayam ini nggak pedas," komentar Solar yang diangguki oleh Blaze. Jangan tanya dimana Ice, dia sedang menikmati berbagai hidangan kantin yang ada. Kapan lagi coba bisa ditraktir oleh anak pemilik sekolah. Ice tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang didapatkan olehnya.

'Jangan pernah main-main sama gue ya, Fan.'

Halilintar pun kembali menyuap bekal miliknya. Masakan Gempa memang selalu cocok di lidah Halilintar. Karena baginya, cuma masakan Bundanya ataupun Gempa yang paling enak di dunia. Dia tidak peduli sesederhana apapun masakan yang dibuat mereka, Halilintar tetap akan menghabisnya. Halilintar selalu diajarkan untuk menghargai setiap rezeki yang diterimanya sehingga Halilintar tidak akan menyisahkan makanan yang telah dihidangkan untuknya.

Disisi lain, Gempa berjalan melewati koridor itu. Sebagai Ketua OSIS, tidak heran Gempa selalu berkeliling untuk memantau keadaan sekolah itu. Namun tetap saja, walaupun Gempa telah menjabat sebagai Ketua OSIS, Gempa kerap kali mendapat caci maki atau bully-an dari siswa siswi yang tentu saja tidak menyukainya. Tapi Gempa tidak pernah sedikitpun peduli, dia juga tidak pernah mengadu kepada Halilintar ataupun Ayahnya tentang masalah itu. Gempa benar-benar tidak mau merepotkan mereka berdua dengan masalah sepele tersebut. Selain itu, Gempa juga tidak mau melihat Halilintar berkelahi karena ingin membela Gempa. Walaupun Halilintar dan Gempa adalah anak pemilik sekolah, hukum dan peraturan sekolah tetap berlaku bagi mereka. Ayah mereka bahkan tidak akan membantu mereka jika mereka benar-benar terbukti bersalah.

"Halo, Kak Thorn. Apa kabar?" sapa Gempa kepada salah satu seniornya--Thorn Artazka Orlando--ketua ekskul Graha Pecinta Alam.

Thorn menoleh ke arah Gempa, lalu tersenyum manis ke arahnya, "halo juga, Gemgem. Ada apa kamu kesini?" tanya Thorn.

"Hanya mengecek keadaan sekitar, Kak. Sekalian mau kembali ke kelas," jawab Gempa.

"Begitukah? Tumbenan kamu nggak bareng sama Blaze dan Ice, dimana mereka?"

"Mereka lagi makan, Gem lagi malas saja di kantin. Ada setan soalnya," kata Gempa.

"Setan? Emang di sekolah ini ada setan? Ih~ kok jadi seram ya?"

Thorn langsung memeluk tubuh. Tak dipungkiri bahwa dia takut dengan yang namanya mahkluk halus, walaupun dia sudah terbilang cukup dewasa, Thorn punya tingkat toleransi yang rendah dengan mahkluk halus.

Melihat tingkah Thorn yang mulai cemas pun membuat Gempa tertawa kecil.

"Sudahlah, Gem cuma bercanda doang kok."

Setelah Gempa berkata seperti itu, barulah Thorn mulai merasa sedikit lebih tenang walaupun dia tetap tampak gelisah.

"Ah iya, berhubungan karena kamu ada disini, aku mau bilang kalau adikku akan segera pindah ke sekolah ini. Mungkin dia sedikit susah beradaptasi, namun kamu bisa menyogoknya dengan buah durian kalau kamu butuh sesuatu darinya. Aku mohon bantuannya ya, Gemgem. Semoga kalian bisa berteman baik nantinya," kata Thorn sembari tersenyum.

"Ah, adik Kakak yang selama ini tinggal di luar negeri ya? Gem akan menunggunya nanti!"

"Terimakasih, Gemgem. Kalau begitu aku pergi dulu ya, masih banyak yang harus aku kerjakan. See you!"

Gempa tersenyum lalu mengangguk dan membiarkan Thorn berlalu dan meninggalkannya sendirian. Gempa menghela napas, menjadi Ketua OSIS itu sangat berat baginya. Menjaga reputasi sekolah di depan khalayak umum bukan perkara mudah, belum lagi berkas-berkas yang menggunung ataupun masalah dari dalam sekolah itu sendiri.

"Hey, lihat! Ketua OSIS yang terhormat ada disini," sinis salah seorang siswa yang Gempa tahu betul siapa pemilik suara itu.

"Eh? Dia bawa bekal? Ah, orang miskin sepertinya mungkin tidak mampu membeli makanan di kantin sekolah elit ini," kata seorang siswi.

"Mungkin dia masuk ke sekolah ini lewat jalur kasihan, bagaimana mungkin dia bisa masuk ke sekolah dengan tingkat seleksi yang tinggi, terlebih SPP disini juga nggak murah," kata seorang siswa lagi.

Gempa tidak menggubrisnya. Dia lalu berjalan meninggalkan mereka bertiga. Gempa tahu betul siapa orang itu. Namun dia tidak perlu meladeni mereka.

Suara tawa terdengar menggema di koridor itu, Gempa hanya tersenyum. Selama kontak fisik belum terjadi, maka Gempa tidak akan mempermasalahkannya. Namun, jangan pernah bermain-main dengan seorang anak yang berasal dari keluarga yang 'tidak berada' ini.[]

╔ 《To be continued》 ╝

Childish | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang