Persiapan

1K 177 22
                                    

Gempa menepuk pipinya pelan berulang-ulang. Berusaha menyadarkan diri agar tidak termenung dengan keputusan yang diberikan oleh sang Ayah. Gempa tidak merasa kecewa karena dia sudah menebak apa yang akan dikatakan oleh Amato. Seharusnya dia tahu diri akan fisiknya yang jauh dari kata baik-baik saja.

Gempa mengidap Hipotermia, mengakibatkan tubuhnya rentan dengan cuaca ekstrim. Gempa juga selalu menghindari hujan, berenang, ataupun kegiatan lainnya yang mungkin dapat membuat suhu tubuhnya turun secara drastis. Gempa masih cukup waras untuk tidak melakukannya karena tentu dia tahu bahaya yang mengintai dirinya saat Hipotermia-nya kambuh. Nyawanya mungkin akan melayang jika terlambat ditangani.

Kini, dia berada di kamar milik Halilintar. Kamar dengan nuansa hitam merah itu secara sekilas terlihat suram. Namun, kamar ini jauh lebih baik dari apa yang dapat dibayangkan. Kamar Halilintar itu minimalis. Sebuah single bet dengan bed cover yang senada dengan cat kamar itu. Di samping kanan kasur ada sebuah meja nakas. Sebuah lampu tidur berwarna warm white menghuni nakas itu. Tidak lupa juga sebuah pigura berisikan foto Halilintar bersama dengan Gempa.

Gempa tersenyum melihat foto itu. Dia ingat foto itu diambil saat Gempa berhasil memenangkan sebuah olimpiade tingkat nasional. Dia tidak menyangka bahwa Halilintar masih menyimpan foto yang sepertinya sudah lama itu.

Kamar Halilintar juga terkesan polos. Hanya sedikit ornamen ataupun poster yang menghiasi dinding kamarnya. Ada sebuah gitar yang tergantung apik di dinding, sebuah jersey basket, dan ring basket di balik pintu kamarnya. Gempa juga bisa melihat sebuah bola basket yang terdampar di sudut ruangan itu.

Sebagai pecinta novel, Halilintar punya sebuah lemari khusus untuk menyimpan seluruh koleksi novelnya. Tidak besar, namun isinya tidak bisa dibilang sedikit. Semuanya disusun rapi oleh Halilintar. Di sampingnya ada meja belajar yang menghadap langsung ke arah jendela kamarnya.

Ada sebuah rak baju di sudut ruangan--menampilkan deretan baju Halilintar yang tergantung rapi di sana. Halilintar memang sengaja memilih rak baju daripada sebuah lemari. Alasannya simple, bajunya tidak terlalu banyak.

Ngomong-ngomong, Gempa berada di sini untuk menyiapkan beberapa baju dan keperluan lainnya akan dibawa oleh Halilintar saat perkemahan nantinya.

Bukannya apa, Halilintar itu orangnya cuek dengan segala hal--selain Gempa tentunya. Dia bahkan tidak peduli pakaiannya tidak diganti saat berkemah. Mengingatnya saja membuat Gempa malu sendiri. Dia ingat saat datang menghadiri perkemahan tahunan, dia melihat pakaian Halilintar yang tidak berganti sejak hari pertama dia pamit dari rumah.

Gempa heran kenapa banyak gadis yang suka dengan Halilintar. Padahal saudaranya itu bahkan jarang sekali mandi pagi.

Sebuah hoodie diambil oleh Gempa. Dua buah kaos berwarna gelap, satu celana training, dan tentunya boxer serta seperangkat pakaian dalam lainnya. Mengingat perkemahan kali ini hanya dilaksanakan tiga hari, Gempa tidak mau merepotkan Halilintar dengan membawa begitu banyak pakaian di tasnya. Lagipula, Gempa bisa saja membawakan pakaian bersih untuk Halilintar saat bertamu nanti.

"Adek?"

Gempa menoleh. Mendapati Halilintar yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. Di tangannya ada sebuah paper bag yang Gempa tidak tahu apa isinya.

"Saya?"

"Ngapain? Tumbenan di kamar Abang," tanya Halilintar heran.

"Cuma siapin pakaian Abang untuk perkemahan nanti. Gem nggak mau ya lihat Abang nggak ganti baju cuma karena males bawa ganti!"

Halilintar tertawa canggung. Dia tidak menyangka bahwa Gempa masih mengingatnya. Untung saja badannya tidak bau saat itu. Kalau saja iya, bisa-bisa Halilintar disembur oleh Gempa.

"Nanti pakaian Abang dicuri lagi. Adek lupa kalau boxer dan seperangkatnya hilang setiap Abang kemah? Kan sayang banget," ujar Halilintar. Dia tidak bohong dengan apa yang dikatakannya. Benda-benda pribadi Halilintar terkadang hilang tanpa jejak saat dia menjemurnya di jemuran umum pada saat perkemahan berlangsung. Jujur dia kesal barangnya harus hilang, namun disatu sisi dia juga malu kenapa harus barang-barang seperti boxer yang harus dicuri oleh mereka. Kurang kerjaan sekali.

Gempa hanya merotasikan matanya malas. Dia mengancing tas ransel milik Halilintar, lalu meletakkannya di samping rak baju di sudut ruangan itu.

"Abang beli apa?" tanya Gempa. Biasanya Gempa tidak ambil pusing dengan barang apapun yang dibeli oleh Halilintar. Mungkin kali ini dia hanya sedikit penasaran saja.

Halilintar tidak langsung menjawabnya. Dia malah merentangkan tangannya sembari menutup mata. Berharap mendapat pelukan gratis dari beruang kecilnya itu.

"Abang mau ngapain? Terbang?" tanya Gempa heran. Sungguh, Gempa makin bingung dengan tingkah Halilintar yang kadang terlalu absurd di otak kecilnya. Kemana perginya perangai dingin tak tersentuh miliknya itu?

"Pelukan... mungkin?" jawab Halilintar. Mengintip sejenak Gempa yang tidak bergeming dari tempatnya. Lalu kembali menutup mata sembari berharap kecil agar dia mendapat pelukan dari Gempa.

"Tidak. Abang bau. Belum mandi. Baru dari luar rumah juga. Abang itu penuh dengan virus. Hush hush. Jauh-jauh!" ketus Gempa.

Halilintar tertohok. Kedua matanya melotot seketika mendengar perkataan Gempa barusan. Astaga, di luar sana bahkan banyak orang yang mengantri demi bisa mendapat pelukan gratis dari sulung Aldebaran itu. Ini Gempa sudah dapat gratis malah disia-siakan. Astaga Gempa! Sepertinya dia memang harus bertukar posisi dengan para fans Halilintar di alam sana.

"Adek kok jahat? Abang salah apa?" lirih Halilintar dramatis. Wajahnya tertunduk sedih. Terlihat menjijikkan.

"Gem cuma bilang apa adanya. Abang belum mandi dari pagi. Dan abang juga baru pulang. Mandi dulu sana," ucap Gempa. Dia bersedekap dada. Menatap jijik seonggok manusia yang berdiri di depannya itu.

"Peluk dulu~" rengek Halilintar.

"Tidak mau!"

"Adek~~"

Gempa hanya bisa menatap Halilintar. Astaga, apa Halilintar tidak malu dengan tubuh penuh dengan otot itu merengek hanya untuk sebuah pelukan? Padahal Gempa saja sudah iri dengan perut kotak-kotak dan badan tegap berotot milik Halilintar.

Gempa menghela napas. Lebih baik menuruti permintaan kecil saudaranya itu atau tidak masalah yang lebih besar akan timbul nantinya. Dia memeluk tubuh tegap Halilintar. Menyembunyikan wajahnya di dada bidang Halilintar karena tinggi mereka yang jauh dari kata sebanding itu. Dia bisa merasakan detak jantung Halilintar yang berdetak sedikit tidak normal. Hangat. Dan Gempa selalu suka dengan hal itu.

Dapat dirasakan olehnya bahwa Halilintar membalas pelukan itu. Mengelus pelan puncak kepala Gempa. Membiarkan waktu berlalu sebagaimana mestinya.

"Mau dengar sesuatu?" tanya Halilintar.

"Hm?"

"Kamu dibolehin kemah sama Ayah. Jadi berkemaslah," jawab Halilintar. Dia terkekeh pelan saat merasakan tubuh Gempa yang menegang seketika. Ah, mungkin lain kali Halilintar akan lebih melakukan hal ini sebelum menyampaikan sesuatu kepada Gempa.

Dia senang sekali. Sangat senang.[]

╔ 《To be continued》 ╝

Childish | ✔Where stories live. Discover now