Berangkat Bersama Lagi(?)

1.5K 219 64
                                    

"Abang! Dalam hitungan lima Abang belum juga turun, Gem bakalan pergi sama Ayah!"

Gempa kembali melirik jam tangannya. Ini sudah pukul 7 tepat. Sebentar lagi gerbang sekolahnya akan ditutup. Bisa rusak reputasi Gempa sebagai murid yang terkenal tidak pernah telat datang kesekolah. Bahkan Gempa pernah datang kesekolah itu padahal satpam penjaga gerbang saja belum datang. Entah apa yang dipikirkan Gempa. Tapi memang itulah kenyataannya.

"Sabar! Jangan pergi dulu!"

Halilintar langsung berlari dari kamarnya. Memakai jaketnya asal, rambut acak-acakan, ranselnya yang tidak tertutup, serta menggemgam kunci motor itu di tangan kanannya. Salahkan saja Gempa yang tiba-tiba ingin berangkat bersama dengan Halilintar. Jujur saja, Halilintar senang kok. Tapi bukan berarti secara tiba-tiba juga. Halilintar kan jadi jantungan! Bagaimana kalau dirinya meninggal karena serangan jantung? Kan kasihan Gempa kehilangan Abangnya yang ganteng itu.

"Ayo, Pangeran! Saya siap mengantarkan Pangeran sampai tujuan," kata Halilintar sembari mengatur napasnya. Dia tersenyum manis kepada Gempa. Senyuman yang tidak dia berikan kepada sembarangan orang.

Namun, Gempa menatap aneh kepada Halilintar. Lupakan panggilan yang diberikan oleh Halilintar kepadanya karena itu bukan satu-satunya panggilan yang Halilintar pernah gunakan. Bahkan Gempa saja sudah lupa apa saja nama panggilan yang sudah Halilintar berikan padanya itu.

Kembali ke topik awal, Gempa kembali menghela napas. Bagaimana banyak gadis yang begitu tergila-gila dengan sosok Halilntar? Model pas-pasan seperti Halilintar kan banyak sih di luar sana. Bahkan menurut Gempa, sepupunya masih lebih tampan dari Halilintar.

Gempa dengan telaten merapikan rambut Halilintar. Setelahnya, dia mengancingkan ransel Halilintar yang masih terbuka itu. Merapikan jaketnya agar Halilintar tampak lebih enak jika dilihat.

Abaikan Halilintar yang kini tersenyum bak orang gila itu. Dia senang sekali bisa mendapatkan perhatian kecil dari adiknya. Duh, Halilintar tidak tahu saja bahwa sejak tadi Gempa sudah membicarakan hal buruk tentangnya.

"Tiap hari saja Abang berantakan seperti ini biar kamu perhatian sama Abang," seru Halilintar semangat.

Hati Gempa menghangat seketika. Dia suka saat Halilintar bersemangat seperti ini. Melupakan sikap Halilintar yang seperti bayi jika sudah sakit. Dia senang Halilintar sudah kembali seperti biasanya.

"Jangan mikir aneh-aneh. Ayo berangkat, Abang. Nanti Gem telat," rengek Gempa.

"Abang yakin kalau satpam sekolah itu tidak akan membiarkanmu terlantar karena gerbang sekolah yang sudah ditutup, Gempa."

Ayolah, apakah Gempa lupa sekolah tempatnya menuntut ilmu itu milik siapa? Ingatkan Gempa bahwa sekolahnya itu masih milik orang tuanya--lebih tepatnya milik Amato Dezio Aldebaran.

"Walaupun sekolah itu milik Ayah, bukan berarti Gempa boleh sesuka hati datang kesana, Abang."

Gempa mengerucutkan bibirnya kesal, tidak lupa pipinya juga menggembung kecil. Ah, bukankah buntelan lemak itu tampak menggemaskan?

Halilintar kembali tersenyum. Mengusak rambut Gempa pelan lalu mencubit pipi adiknya itu. Sekilas dia memberikan kecupan pelan di pipi adiknya. Ingin sekali Halilintar memakan pipi pau adiknya itu. Namun dia ingat bahwa sang Bunda masih ada disini. Mana mau Halilintar dihukum oleh sang Bunda karena mengusili adiknya itu.

"Iya deh. Ayo berangkat. Tapi peluk Abang, ya?"

Gempa tetaplah Gempa. Dia tidak pernah sekalipun memanfaatkan status sosialnya demi kepuasan dirinya semata. Gempa tahu bahwa status miliknya adalah berkat kedua orangtuanya--berkat nama keluarga yang disandang oleh Gempa--berkat dirinya terlahir di keluarga Aldebaran.

"Ih! Kenapa harus peluk-peluk?!"

"Yaudah nanti Abang ngebut lagi," kata Halilintar.

"Dasar tidak berperikegempaan," cicit Gempa.

Halilintar tertawa. Ah, dia senang karena perannya telah kembali setelah direbut oleh Amato beberapa jam terakhir ini.

|《¤》|

Hari ini adalah hari yang sempurna untuk Halilintar. Bagaimana tidak, pertama Halilintar sudah mendapatkan perhatian kecil dari Gempa. Kedua, Gempa juga berangkat bersama dengan Halilintar ditambah bonus pelukan dari adik kecilnya itu. Dia ingat bagaimana Gempa memeluknya erat karena Halilintar yang terkadang menaikkan kecepatan motor miliknya. Ketiga, Gempa memberikan Halilintar sebuah gantungan tas bermotif petir berwarna ruby yang entah sejak kapan Gempa memasangkannya di tas Halilintar.

"Lihat! Abang dingin kita tersenyum! Oh my god! Astaga! Apakah ini salah satu tanda kiamat?!" pekik pemuda beriris biru shappire itu. Siapa lagi jika bukan Taufan.

"Lo jangan ngadi-ngadi! Positive thingking saja. Mungkin dia sudah gila," celetuk pemuda dengan kacamata visor itu--Solar tentunya.

Halilintar memilih mengabaikan dua titisan hooman itu. Menuju tempat duduknya dan duduk disana. Dia juga mengeluarkan sebuah novel yang selalu dia bawa di dalam tas nya itu. Sekilas dia melihat gantungan tas yang diberikan oleh Gempa padanya, dia kembali tersenyum.

"Solar, mungkin dia memang sudah gila," cicit Taufan.

"Mungkin ini juga salah satu tanda kiamat. Lo harus segera mungkin bertobat, Fan."

"Sialan! Tapi benar juga, dosa gue terlalu banyak."

Dasar hooman.

"Lin? Lo nggak gila kan?" tanya Taufan.

Bugh!

Halilintar memukul kepala Taufan dengan novel tebal miliknya itu.

"Ah, dia sehat ternyata," cicit Solar. Dia perlahan menjauh dari tempat itu. Tentu saja untuk menghindari amukan dari sang singa di kelasnya itu.

"Kok gue ditimpuk sih?! Gue salah apa?!"

"Nggak ada," jawab Halilintar.

"Tapi lo mukul kepala gue!"

"Sengaja."

"Bangs--"

"Lo nge-toxic, gue lempar lo dari sini," ancam Halilintar.

"Ampun, Ndoro Lintar."

Bugh!

Halilintar kembali memukul Taufan.

Salah gue muluh kayaknya, batin Taufan.

Semoga tenang Taufan. Kami mendoakanmu.

|《¤》|

"Selamat pagi, Anak-anak!"

"Pagi, Bu!"

Seorang wanita dewasa memasuki kelas itu. Sebuah senyuman terpatri si wajahnya yang masih tampak muda walaupun usianya sudah hampir menginjak kepala empat itu. Di belakangnya ada seorang siswa yang mengikuti sang guru dengan posisi kepalanya yang tertunduk. Mungkin dia takut sekarang.

"Hey? Apa dia murid baru yang sering dibicarakan akhir-akhir ini?" tanya Blaze antusias.

"Hoam, entahlah. Gue nggak peduli," sahut Ice.

Gempa hanya geleng-geleng kepala. Mereka berdua kembar, hanya saja sikap mereka begitu bertolak belakang.

"Baiklah, anak-anak. Hari ini, kelas kita akan memiliki anggota baru. Saya harap kalian bisa membantunya untuk mengenal lingkungan sekolah ini. Saya harap juga kalian menerimanya sebaik mungkin. Kalian paham?!"

"Paham, Bu."

Guru tersebut mengangguk paham. Lalu tersenyum hangat dan menepuk pelan pemuda di sampingnya itu.

"Jangan takut. Ayo, perkenalkan diri kamu."

Pemuda itu mengangguk pelan. Dia mulai mengangkat wajahnya. Berusaha sekuat mungkin agar tidak gugup karena dihadapkan oleh banyaknya pasang mata itu.

Menarik napas, dia mulai mengeluarkan suaranya.

"H-halo! P-perkenalkan, nama saya Sori Anggana Orlando. Panggil saja Sori. S-salam kenal!"[]

╔ 《To be continued》 ╝

Childish | ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang