[Dua Puluh Sembilan]

24.3K 2.1K 35
                                    

Di sepanjang perjalanannya menuju divisi editing, Ryu tak pernah memudarkan senyumnya memandang surat berwarna biru di tangannya. Ia akan bertemu ibunya dan menyerahkan surat Sofia. Ia sungguh tak sabar berbincang-bincang lagi dengan mom Amber dan membahas keluarga mereka. Ryu tak sadar jika senyumnya yang sumringah baru saja membuat beberapa orang wanita kehilangan konsentrasi mereka.

"Hi, Mom." Ryu langsung menyapa Amber yang sedang duduk di kursinya dengan kaca mata yang bertengger manis di ujung hidungnya di depan laptop yang menyala.

Ibunya melotot.

"Ah, I mean good morning Ma'am." Ryu menggaruk tengkuknya menyadari jika beberapa orang mendengar sapaan itu.

Amber menghela nafas panjang. "Good morning." Jawabnya singkat. "Ada apa kemari? Apa pekerjaan mu sudah selesai?"

Ryu menggeleng dengan polosnya. "Saya bahkan belum membuka map-nya?" Jawabnya enteng.

Astaga, Pierre memang menyusahkan.

"Jadi?" Amber menyipit.

Ryu melirik kiri dan kanan kemudian sedikit mendekat ke arah meja ibunya. Ia meletakkan amplop biru yang sedari tadi di pegangnya itu di dekat sang ibu.

"Apa ini?" Amber tidak paham gelagat Ryu yang mencurigakan.

"Surat cinta." Ryu tersenyum aneh.

"Dari siapa?" Dan Amber meladeninya.

"Dari Sofia." Bisik Ryu tak kalah bangga karena berhasil menunaikan janjinya pada sang adik.

Air muka Amber berubah. Wajahnya menyendu melihat dengan seksama surat beramplop warna di tangannya itu. Melihat ekspresi sang ibu Ryu merasa jika ia salah mengambil waktu. Teringat jika semalam ibunya masih berduka dan ia malah menambah masalah. Jika diperhatikan ibunya terlihat lebih buruk dari kemarin. Bibirnya pucat dan pipinya sedikit mencekung.

"Apa mom baik-baik saja?" Ia bertanya khawatir.

Amber mengangkat kepalanya dan memaksakan diri untuk tersenyum. "I am fine. Hanya sedikit lelah. Dan kamu sebaiknya kembali ke meja mu dan buka map nya. Jangan jadi karyawan magang beban tim." Tegurnya sedikit tegas membuat Ryu langsung berdiri tegak.

"Yes, ma'am." Ujarnya semangat kemudian berbalik berjalan kembali ke mejanya yang tak jauh.

"Dia sangat semangat." Ujar Kelly teman satu kubikelnya yang baru saja tiba.

Amber melihat ke arah Ryu dimana Kelly melabuhkan tatapan nya. "Magang memang begitu." Jawabnya singkat kembali menyibukkan diri setelah mengantongi amplopnya.

"Aku dengar dia cukup terkenal di kalangan wanita lantai satu." Kelly sepertinya berniat untuk sedikit basa-basi.

"Apa yang kau dengar?" Biasanya ia tak tertarik tapi ini Ryu putranya jadi ia sedikit ingin tahu.

"Mereka bilang dia tampan." Jawaban Kelly tak begitu penting.

"Oh." Kalau itu Amber sudah tahu. Siapa juga ayahnya? Tentu saja tampannya menular.

"Jangan tergoda ya." Kelly menggodanya.

"Dia seperti anakku." Amber sedikit kesal.

Kelly tertawa kecil. "Ah, jangan tergoda dengan ayahnya kalau begitu." Imbuhnya.

"Kau bahkan tak kenal dengan ayahnya." Cibir Amber mendengar ceplosan teman kerjanya itu.

"Aku kenal." Kata Kelly membuat Amber langsung menoleh.

"Benarkah?'

Kelly mengangguk. "Dia tinggal di sekita rumah kakekku." Jawabnya santai.

"Siapa?"

Last Hope [ END ] Where stories live. Discover now