1 | Perihal yang Enggak Penting-penting Amat

21 5 12
                                    

Dari 36 siswa di kelasku, ada dua puluh yang punya tahi lalat di muka. Fakta ini aku dapatkan setelah tiga hari survey dari tempat duduk. Selain itu, aku bersama dengan lima belas manusia lainnya yang enggak bertahi lalat, punya suatu kesamaan.

Kami semua sama-sama bego.

Cuma di bidang akademis, sih, seenggaknya.

Aku enggak mau membicarakan hal ini kepada teman-teman karena dua hal. Pertama, aku survey dari bangku. Siapa tahu aku salah mengira tahi lalat dengan bekas jerawat yang menghitam. Kedua, masih ada satu orang yang belum pasti bertahi lalat atau enggak. Orang ini sangat penting untuk mendukung hipotesisku dan hari ini aku bertekad untuk membuktikannya.

"Nalen belom masuk, ya?" tanyaku pada Khafi, yang belakangan ini rajin duduk bareng Nalen. Cowok di kelasku enggak punya chairmate yang pasti. Mereka selalu duduk seenak jidat.

"Belom," jawabnya singkat tanpa memandang ke arahku. Matanya hanya tertuju kepada buku matematika milik Nikita, sesekali menyalin tulisan ke bukunya yang setengah kosong.

"Eh, itu kata Nikita bedain dikit."

Khafi menatapku datar, lalu menatap buku Nikita yang dipenuhi lim, x kuadrat, dan lingkaran, lalu kembali menatapku. Kini ekspresinya menyedihkan.

"Aku pindah ke IPS aja kali, ya?" tanyanya pasrah. Oh iya ya, Khafi enggak punya tahi lalat di muka.

"Udah telat," jawabku.

Mataku menelusuri dua barisan paling pojok, yang biasa ditempati para cowok, tetapi enggak ada tanda-tanda keberadaan tas milik Nalen. Aku pergi meninggalkan Khafi dan berdiri di depan pintu masuk.

Jam dinding menunjukkan pukul 6.50. Aku pun menghela napas. Jam segini masih kepagian untuk Nalen datang, biasanya dia bakal datang bertepatan dengan bel masuk.

"Nungguin Nalen?" tanya Nikita.

Aku mengangguk. "Mau nanya sesuatu. Penting banget."

"Gak mungkin lah dia dateng jam segini."

Aku mengerang. "Iya, kan? Lelet banget emang tuh orang. Emang rumahnya di-"

Orang yang dibilang pun lewat.

Kami kaget. Nalen enggak pernah datang sepagi ini, benar-benar enggak pernah.

Masih dari tempat duduknya, Khafi berseru, "Wih, udah dateng lu? Tumben amat."

Nah kan.

Namun, apapun alasannya itu bukanlah hal yang penting sekarang. Aku berjalan perlahan ke bangkunya, tepat di sebelah Khafi. Sebenarnya aku belum menyiapkan rencana apapun untuk ngobrol dengannya. Jadinya aku memikirkan topik pembicaraan sambil melangkah.

Kami sekelas sudah dua tahun lebih tapi aku enggak tahu kesamaan apa yang kami punya.

Nalen sukanya apa? tanyaku dalam hati. Belajar.

Iya, terus apa lagi?

Aku berpikir dan berpikir. Langkah kakiku pun belum berhenti sampai aku sadar bangkunya Nalen sudah lewat.

Dengan lemas aku kembali ke bangkuku. Aku terlalu menganggap enteng Nalen, makanya bisa kayak begini. Aku taruh tas di atas meja lalu membenamkan wajahku ke dalamnya. Hari ini ada pelajaran PJOK, jadi tasku menjadi ekstra empuk karena ada baju olahraga.

Aku masih anteng tidur-tiduran. Kemudian, bel sekolah berbunyi. Beberapa murid ada yang sudah berjalan ke depan kelas sambil menunggu instrumen Indonesia Raya diperdengarkan.

"WOY, DPR DATENG! BURU KELUAR!" teriak Yusuf, si ketua kelas.

Mendengar kata DPR, sontak aku pun bangkit berdiri dan berlari kecil ke luar kelas. Intro sudah dimulai, tetapi aku baru mau keluar pintu dan Khafi mengikuti di belakangku.

Bukan Masalah Kalau Kita BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang