2 | Setan Terkuat di Sekolah

11 5 11
                                    

Karena Papa sakit, pasti minggu ini jadwalku berantakan. Entah kapan Papa bakal collapse lagi, bahkan mungkin Papa harus dirawat di rumah sakit dan aku harus gantian sama Mama untuk jagain Papa. Di sana enggak ada meja yang cukup besar buat belajar, jadi untuk berjaga-jaga aku harus bikin catatan di sekolah atau mungkin pinjam buku ke perpustakaan.

Perutku yang keroncongan mengingatkanku kalau aku belum sarapan karena Mama yang buru-buru ke rumah sakit. Aku merogoh saku celanaku tapi aku enggak bisa menemukan dompetku. Aku menengok ke sebelah dan ada Khafi yang lagi menyalin PR Nikita dengan secepat kilat.

"Khaf, pinjem duit dong. Gua lupa bawa duit lagi, nih."

Khafi berdecak. "Hadeh, kebiasaan ya lu. Untung ada gua, kalo lu lagi naik angkot terus tiba-tiba gak ada duit, abis lu diomelin supirnya."

Kemudian Khafi memberikan uang 50 ribu kepadaku.

"Eh, kebanyakan. Gua bawa motor, kok."

Khafi membuka dompetnya dan terlihat berlembar-lembar kertas biru dan merah di dalamnya.

Dia menatapku. "Gak ada receh, Nal. Gini aja deh, kalo sampe balik sekolah ada kembalian, kasih aja ke gua. Sekarang pake itu dulu aja."

"Oke."

Aku pun melesat ke kantin untuk membeli roti dan susu.

***

Jam kosong saat ini sebenarnya menguntungkanku, karena aku bisa merevisi jadwalku selama seminggu ke depan dan mencicil belajar untuk ulangan harian nanti. Namun, kelas ini terlalu ribut! Pojok kanan belakang kelas udah ditempati cowok-cowok yang lagi mabar, pojok kiri dipakai yang lain buat main Uno, dan di depan kelas lagi ada konser mini. Kalau begini jadinya, enggak mungkin aku bisa belajar.

"Khaf, pinjem headset, dong!" teriakku ke arah pojok kanan kelas.

"AKU PUNYA!"

Aku mengalihkan pandangan ke sumber suara dan melihat Binan yang buru-buru berlari ke bangkunya, meninggalkan teman-teman lain yang lagi main Uno.

"Bentar, ya!" serunya sambil merogoh tasnya.

Tak lama kemudian, dia menghampiriku dengan headset putih di tangan. Sebenarnya, aku mau aja datang ke dia, tetapi Binan kelihatan terlalu semangat. Jadi, aku enggak ngomong apa-apa. Baru tanganku terulur mau mengambil headset-nya, tangannya malah menjauh.

"Eh, bentar dulu. Aku mau nanya."

"Nanya apa?"

"Kamu punya tahi lalat gak di muka?"

Aku mengangguk.

"Nih," ucapku sambil menujuk sebuah titik yang sedikit tertutup oleh alis sebelah kananku. Mata Binan langsung berbinar-binar. Seolah baru dapat pencerahan hidup.

"Oke," jawabnya sambil memberiku headsetnya, "makasih!"

...Bukannya harusnya aku yang bilang, ya? 

Terserah lah. Setelah memutar lagu, aku baru bisa mengabaikan suara-suara pengganggu dan fokus merangkum materi. 

Setidaknya, untuk lima belas menit.

"WOI GOBLOK! BURUAN, KHAFI!"

"ITU DI BELAKANG LU!"

"BIMA, AWAS!"

"AAAHH! MELEDAK, KAN!"

Aku membereskan buku kimiaku dan memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Saat aku berjalan ke luar kelas, Binan dan Nikita masuk. Kami pun hampir bertabrakan.

"Eh, liat-liat dong kalo jalan!" seru Nikita.

"Nik, kamu tuh murid apa preman? Tinggal minggir emang susah?" responku.

Bukan Masalah Kalau Kita BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang