10 | Bukan Untuk Anak-anak

8 2 10
                                    

"Nal, kamu dari pagi kok di kamar terus?" tanya Mama sambil berdiri di daun pintu kamarku.

"Coba keluar sebentar, nonton TV atau temenin Papa yang lagi ngopi di luar. Belajar boleh, tapi jangan lupa istirahat."

Aku menggeleng. "Aku habis main game, kok. Ini baru mau belajar."

Mama memicingkan matanya. "Kamu gak bisa bohongin Mama. Dari luar kedengeran kok suara bapak-bapak lagi bahas soal persamaan garis singgung."

Aku berdecak. "Aku gak capek, Ma."

Mama mengambil handphone-ku dan memasukkannya ke saku celananya lalu menyeretku ke luar kamar.

"Ayo, temenin Mama di warung aja kalo begitu."

"Aku masih harus belajar, Ma. Aku udah lupa sama materi itu!"

"Kamu jadi kasirnya. Emang bukan belajar persamaan garis singgung, tapi matematika duit juga penting."

Kami berjalan melewati Papa yang lagi membaca di halaman. Aku bingung dengan Papa yang hobi membaca di halaman. Pemandangan di depannya adalah jalan raya dan jejeran ruko. Bukannya nyaman, yang ada hanyalah suara kendaraan dan debu jalan. Matahari sangat terik meskipun sudah sore, aku jadi berbalik menarik Mama untuk cepat-cepat masuk ke warung yang berada persis di seberang jalan. Warung tersebut sebenarnya lebih cocok disebut gudang. Mama menjual berbagai makanan ringan, frozen food, dan juga minuman. Masih banyak dus-dus yang belum disusun rapi di pojok ruangan.

"Bu, Nal," sapa Pak Dayat, karyawan Mama, sambil mendata kelengkapan barang.

Aku dan Mama membalasnya dengan anggukan.

"Hm, kamu jadi kuli aja, ya. Beresin dus-dus yang ada di pojokan situ. Biar Mama yang jadi kasir."

Aku mengerang. "Ma...."

"Kenapa?" tanyanya. "Mama punya anak cowok masa gak bisa dimintain tolong beresin barang. Kalau Papamu masih muda, dia yang Mama suruh-suruh, bukan kamu."

Mama dan Papa memang memiliki perbedaan umur yang cukup jauh, enam tahun. Banyak orang yang berandai-andai bagaimana seorang Mama yang dulunya bekerja sebagai perawat di rumah sakit di Jakarta bisa menikah dengan Papa yang adalah seorang guru di Bogor. Bahkan Mama dan Papa enggak pernah satu sekolah ataupun satu kampus. Jawabannya, aku enggak tahu, atau lebih tepatnya enggak pernah nanya.

"Ya udah aku bantu, tapi habis ini aku langsung ke rumah, ya."

Mama mengangguk. "Buruan."

Aku langsung menyusun dus-dus mie instan di dekat kulkas berisi frozen food. Pak Dayat juga ikut membantuku. Kipas yang menyala sama sekali tidak membantu mendinginkan temperatur yang panas. Keringat mulai mengucur dari kulitku.

"Eh, itu ada warung, ya? Jajan, yuk!" seru seseorang dari luar.

"Itu grosiran, Khaf. Kita cari supermarket aja," ucap seorang cewek yang suaranya sangat kukenal.

Aku berjalan perlahan menuju lantai 2, menghindari perjumpaan dengan manusia-manusia di luar. Apa enggak cukup kami bertemu di sekolah aja? Lagian bagaimana mereka bisa sampai ke sini! Kalau sampai Mama tahu, pasti aku akan dipanggil ke bawah. 

"Nal, kamu lihat Pak Dayat gak?" teriak Mama dari lantai 1. 

Anjir lah.

Aku mengintip dari tangga dan Mama memandangiku dengan bingung. Aku membalas Mama dengan gelengan kepala.

"Kamu ngapain di situ?" tanya Mama.

Aku kembali menggeleng dan pergi melesat ke lantai 2. Setelah beberapa menit, aku berjalan ke arah jendela, mataku menelusuri tiap sisi jalan dan trotoar. Setelah kupastikan tanda-tanda keberadaan Khafi dan Binan enggak lagi terpantau, aku mengambil napas lega.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 29, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bukan Masalah Kalau Kita BerbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang