↪ineffable 14

2K 515 34
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Entah sejak kapan, jemari lentiknya sudah menarik pelan korset yang menyesakan pinggang. [Fullname], anak bungsu keluarga [Surname] itu dengan tidak tahu malu melepaskan gaun mewah yang membalut tubuh indahnya.

"Gaun brengsek."

Tidak luput juga kerangka bagian dalam yang berfungsi untuk mengembangkan gaun. Mengumpat pelan, dengan enteng melemparkan gaun seharga ratusan emas itu sembarangan.

Jemari lentiknya bergerak memijit pelipis yang terasa nyeri, begitu juga pipi putihnya yang kini terasa luar biasa pegal. Etika bangsawan yang menuntut dirinya untuk selalu tersenyum manis membuat pipinya terasa luar biasa sakit. Belum lagi adegan menemui para penjilat itu masih terpatri diingatan. Emosi sendiri saat mendengar mereka membicarakan sesuatu tidak masuk akal.

"Nona [Surname]! Saya tidak menyangka anda akan datang kesini. Saya dengar anda sibuk mempersiapkan acara pertunangan anda dengan Tuan Blitz?"

Pertunangan katanya? Jangan bercanda.

[Name] tidak memiliki waktu untuk hal sekonyol itu. Walaupun umurnya sudah menginjak usia menikah, dirinya tidak akan pernah sudi menikah. Apalagi jika itu bersama bangsawan menjijikan yang hanya mencintai harta dan kecantikan yang sang nona punya.

Sebut [Name] naif karena ingin menikah dengan pria yang ia cintai. Faktanya, alasan dirinya tidak ingin menikah hingga di umur 26 adalah karena ia belum menemukan pria yang dicintainya. Kalau boleh jujur, [Name] sudah lelah dengan rentetan omelan orang tua yang terus menerus memaksanya untuk menikah. Bahkan mereka sudah memberikan kandidat calon pria untuk sang nona.

Pernah satu kali dirinya menyerah, namun akhirnya rasa sakit itu yang datang.

"Mana mungkin aku mau bertunangan dengan bajingan itu."

Di matanya, Blitz tidak lebih dari seogok sampah yang diselimuti oleh emas. Sengaja ditutupi kebusukannya dengan status bodoh yang disematkan untuk para bangsawan.

[Name] jelas ingat saat dimana pria itu dengan tidak tahu malunya mengajak dirinya berdansa saat pesta kedewasaan. Itu adalah pesta paling menjijikan dalam sejarah. Melihat Blitz yang langsung mengajukan surat pertunangan setelah melihat sang nona dalam balutan gaun indah membuat dirinya merasa luar biasa muak.

Label 'nona bangsawan paling cantik di Inggris' tidak lebih dari sebuah batu sandungan. [Name] ingin memaki saat orang-orang memberikan julukan itu padanya. Adapun, beberapa orang diantara mereka ada yang menentang. Contohnya para nona di kalangan bangsawan.

Tentangan itu didasari oleh rasa iri. Benar, sebagian besar kalangan nona bangsawan benar-benar merasa iri dengan segala yang dimiliki oleh anak bungsu Keluarga Marquess.

Bagaimana mungkin mereka yang dengan suka rela bangun jam empat pagi hanya untuk mempercantik diri bisa dikalahkan oleh seorang nona bangsawan tanpa etika?

Susah payah memakai korset ketat hingga sulit bernafas pun mereka tidak bisa menyaingi keindahan tubuh sang nona.

"Oh, Nona [Surname] sangat beruntung, bukan? Gadis secantik anda pasti tidak perlu khawatir dengan segalanya."

Jika bisa, [Name] juga ingin memberikan label dan gelarnya pada mereka. Toh, semua itu tidak ada apa-apanya. Kecantikan dan gelar tinggi ini justru membuat [Name] kesusahan lantaran tidak bisa terbebas dari kekangan keluarga.

Menjadi bangsawan itu tidak seindah novel-novel dengan teman kerajaan, sungguh.

"Kenapa tidak ada pria tampan yang sesuai dengan seleraku?!"

Bukankah Inggris adalah negara yang besar? Harusnya salah satu diantara bangsawan di negara ini ada yang sesuai dengan selera sang nona. Tidak masalah kalau ia adalah rakyat jelata, yang terpenting tampan. Jauh lebih tampan dari para bangsawan menjijikan diluar sana.

"Memangnya seleramu yang seperti apa?"

Sebuah suara baritone rendah mengalun, membuat sang nona mendecak kesal. Tubuh ramping dengan balutan pakaian dalam itu hanya tertutupi sehelai selimut tipis. Mengumpat pelan, sang nona terlihat makin frustasi hingga memilih menendang gaun yang berada diatas kasur dengan sekuat tenaga.

"Seleraku yang tampan, tinggi, berbadan kekar dan kokoh, garis rahang yang tajam, dan memiliki iris mata obsidian atau hitam."

Membenarkan posisi, kini sang nona telentang rapih diatas kasur. Iris matanya memandang langit-langit ruangan. Sang nona terlihat tengah membayangkan netra legam yang selalu membuat dirinya terpesona. Padahal awalnya [Name] kurang menyukai warna-warna gelap lantaran terlihat suram untuknya.

"Lebih bagus lagi kalau dia memiliki pangkat tinggi di dunia militer serta ahli memakai sniper."

Siapapun tau bahwa nona bungsu keluarga Marquess itu kurang menyukai dunia militer. Kakaknya yang merupakan seseorang dengan pangkat tinggi di militer membuat [Name] kurang menyukai hal tersebut. Sebenarnya tidak masalah, karena itu semua demi keamanan negara tercinta. Tapi, membayangkan sang kakak bertempur dan mati di medan perang membuat [Name] ingin mengamuk dan menjemput kakaknya saja.

"Dan namanya Sebastian Moran, benar?"

Tubuh ramping itu langsung terduduk. Memukul kasur dengan keras sebelum akhirnya berteriak kencang.

"Iya! Kalau bisa yang namanya Sebastian Moran, sialan!"

Usai mengucapkan itu, [Name] langsung bungkam. Seingatnya, kepala pelayannya tidak ikut menaiki Noahtic lantaran sang ibu berada dirumah. [Name] sendiri datang ke kapal ini bersama ayahnya yang kini tengah menonton acara ballet di aula sana. Seingatnya, lorong kabin tempat para bangsawan juga sepi karna banyak dari mereka yang memiliki tujuan sama, menonton penayangan perdana tarian ballet.

"Kalau begitu kau beruntung, nona."

[Name] membeku saat tubuh kekar sang pria berdiri disana. Pakaian petugas kapal membaluti tubuh tingginya. [Name] nyaris dibuat tidak bisa bernafas saat kaki panjang sang pria mendekat, kemudian mengurung sang nona dalam kukungan tangan kokohnya.

"Kebetulan orang yang sesuai dengan seleramu tengah berdiri didepanmu."

Senyum miring khasnya terpatri di bibir tipis sang tuan.

"S-sebastian?!"

Ah, sial, Moran tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak mengecup setiap inchi dari tubuh indah sang nona.





























Ah, sial, Moran tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak mengecup setiap inchi dari tubuh indah sang nona

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
 INEFFABLE | S. MoranWhere stories live. Discover now