💰JURNAL💰

2 0 0
                                    

Hari ini aku tengah sibuk mengerjakan tugas. Mumpung hari libur, aku bisa memanfaatkan untuk mengerjakan tugas. Akan tetapi, tiba-tiba ada bunyi pesan masuk dari ponselku. Ternyata dari Aidan yang memintaku untuk menemuinya di depan rumah. Aku pun ke depan rumah dan benar saja, dia sudah sampai di depan rumah.

“Kenapa bisa ke sini?” ujarku kesal saat dia datang tiba-tiba tanpa memberi tahu sebelumnya.

Dia tersenyum dan berkata, "Mau mengerjakan tugas jurnal sama Zazaku.”

Perkataannya membuatku terdiam sebentar dan menatapnya sinis. Apa tadi? Zazaku? Batinku, untuk meyakinkan kalau pendengaranku tidak salah. Akhirnya aku mempersilakan dirinya masuk rumah.

Saat duduk di ruang tamu, Nenek yang melihat aku tengah duduk bersama Aidan, akhirnya menghampiri kami sambil bertanya, “Dia siapa, Za? Anaknya siapa? Asal mana?”

Pertanyaan yang sering aku dengar hingga bosan. Saat ada temanku datang pasti diberi pertanyaan yang sama. Semacam polisi rumah yang sedang mengintrogasi sebuah kasus. “Dia Aidan, Nek. Anaknya siapa enggak tahu, karena belum kenalan sama orang tuanya. Asal dari perumahan, katanya. Dia teman sekelasku, Nek. Dia ke sini katanya mau mengerjakan tugas bersama,”  jawabku dengan nada rendah.

Setelah aku menjawab pertanyaan dari Nenek. Aidan langsung berdiri dan bersalaman dengan Nenek. Nenek pun meninggalkan kami di ruang tamu. Segeralah aku pergi ke dapur membuatkan minuman dan membawakan camilan untuk menemani kami mengerjakan tugas.

Aku menaruh camilan dan minuman ke ruang tamu, lalu aku pergi ke kamar untuk mengambil perlengkapan buat mengerjakan tugas. Aku yang merasa tidak ada barang yang terlewatkan, bergegas menemui Aidan dengan membawa buku batik, kalkulator, penggaris, dan tempat pensil yang isinya lengkap.

“Za, tadi kamu bilang belum kenalan sama orang tuaku. Mau aku kenalin ke orang tuaku enggak?” ujarnya tiba-tiba saat aku tengah menata semua perlengkapan tugasku.

Aku pun terdiam seketika untuk mencerna apa yang dibicarakan olehnya tadi. “Mengenalkan? Maksudnya? Jangan aneh-aneh, deh. Ayo fokus sama tugas sekarang.” Aku sambil menyodorkan beberapa lembar soal ke arahnya.

“Hmm, ya sudah. Ayo!” ajaknya dan kami pun mulai mengerjakan tugas.

Dari satu soal ke soal lainnya. Banyak nominal yang aku temui, dari satu juta hingga puluhan juta lainnya. Aku mulai tidak paham apa yang harus ditulis, karena sedari tadi sudah mencoba memasukkan nominal ke laporan berikutnya tetapi tidak kunjung balance.

Lalu, mataku melihat ke arah Aidan, dia kelihatannya fokus sekali dan sibuk dengan tugasnya. Beberapa menit sudah berlalu, tetapi pandanganku tidak kunjung beralih dari Aidan. Dia yang merasa aku perhatikan, akhirnya melihat ke arahku balik, bertemulah mata kami berdua tanpa sengaja.

“Kenapa lihatin aku, Za? Sudah mulai tertarik?” candanya yang membuatku langsung menampilkan wajah tidak suka.

“Tidak juga, hanya saja kamu terlalu fokus sama tugasmu. Aku ingin bertanya jadi tidak tega,” elakku agar tidak dikasih pertanyaan lebih dalam lagi.

“Mau tanya apa?” tanyanya sambil meminta buku batik sebagai tempat jawabanku.

Aku serahkan buku batikku kepadanya. Dia pun mulai mengamati dari awal, dari jurnal hingga laporan neraca. “Oh, ini. Kamu salah memasukkan nominal neraca saldo setelah disesuaikan. Yang harusnya delapan puluh ribu, kamu tulis menjadi delapan ratus. Pantaslah tidak balance,” jelasnya yang hanya bisa aku angguki kepala.

Lalu, aku minta kembali buku batikku dari tangannya. Akhirnya laporan neraca lajur pun sudah selesai dan balance. Selesai mengerjakannya, aku bertanya kepada Aidan soal hasil semuanya.

“Dan, aku sudah selesai. Ayo samakan jawaban,” ujarku yang langsung diberinya buku batik miliknya.

“Dari jurnal umum, jurnal penyesuaian, dan neraca saldo setelah disesuaikan. Punyaku dan punyamu sudah benar semua. Tapi, kenapa saat laporan laba rugi dan neraca bagian selisih nominalnya berbeda? Punyaku  yang salah bagian mana?” ujarku dengan nada yang setengah pasrah karena berbeda nominal.

“Coba cek lagi, deh. Itu kamu sudah buat laporan laba rugi dan neraca terlebih dahulu, kan? Nah, kalau sudah tinggal masukkan saja ke laporan neraca lajur.” Dia dengan nada santai serta tersenyum jahil ke arahku.

“Bentar, aku cek laporanku dulu.” Akhirnya aku mengecek kembali laporan yang sudah kubuat.

Dari awal hingga akhir tetapi tidak kunjung bertemu, lalu aku coba baca dan amati kembali untuk kesekian kalinya. Ternyata di jurnal umum ada yang masih salah. Ke belakangnya pun pasti banyak yang salah dan harus diganti.

Akhirnya aku mengambil penghapus dan menghapusnya, lalu mengganti dengan nominal yang benar dan sesuai soal tentunya. Satu jam sudah berlalu, akhirnya sudah selesai tugasku. Aku melihat ke arah Aidan, dia sedang sibuk melihat anime di ponselnya.

Namun, dia peka dan sadar kalau tugasku sudah selesai. Dia pun meletakkan ponselnya. “Sudah lega, Za? Atau masih ada yang salah?” tanyanya kepadaku.

Aku tersenyum, lalu berkata, "Sudah, kok. Terima kasih, Dan. Hmm, aku ambil ponselku dulu, ya.”

Dia pun menganggukkan kepala untuk menyetujui izinku. Akhirnya aku masuk ke kamar dan mengambil ponsel, lalu bergegas keluar untuk menemui Aidan. Dia yang melihatku membawa ponsel, langsung menampilkan wajah bingung.

Aku pun duduk kembali di depannya. “Kamu pasti bingung soal ponselku? Aku baru dibelikan setelah pendaftaran penerimaan anggota baru pramuka waktu itu. Kata Ibu kasihan denganku. Di mana yang lain membawa ponsel bagus, sementara aku hanya membawa ponsel jelek dan kadang mati. Hmmm, soal waktu itu, aku minta maaf, ya. Sekarang aku sudah ada WhatsApp. Silakan isi nomormu di ponselku," jelasku sambil menyodorkan ponselku.

Dia pun menerima ponselku lalu mengetikkan nomornya. Setelah itu memberikan kembali kepadaku. “Jadi ... itu alasanmu waktu itu bilang tidak ada WhatsApp. Oke, aku paham. Udah aku isi nomorku di sana, ya. Terima kasih sudah mau bercerita kepadaku,” ujarnya, lalu tersenyum ke arahku. Aku pun tersenyum ke arahnya.

Beberapa jam kami isi dengan bercerita dan tukar pikiran satu sama lain. Hubungan kami juga mulai membaik, dan aku mulai bisa menerima sikapnya. Aku melihat dia itu seperti sosok Kakak yang tulus menyayangi adiknya. Hingga waktu sudah menandakan pukul 16.00 WIB. Aidan pun berpamitan untuk pulang ke Nenek dan aku. Setelah itu, aku antar dia ke depan rumah dan melambaikan tangan.

¬¬¬¬Accounting Dilemmas¬¬¬¬

“Za, tadi siapa?” tanya Ibu yang tiba-tiba sudah datang ke rumah.

“Aidan, Bu. Dia temanku di sekolah. Tadi kami mengerjakan tugas jurnal.” Aku langsung pergi mengambil sapu, lalu menyapu lantai.

“Jangan pacaran! Kamu harus pikirkan sekolahmu,” titah Ibu dengan nada tegasnya.

Hal itu membuatku terdiam. Dalam hatiku, aku juga tidak ada niat untuk pacaran. Kan pacaran itu berdosa. Aku pun melanjutkan aktivitasku tanpa ada niat membalas omongan dari Ibu.

“Memang rumit kalau sudah berhubungan dengan nominal. Salah sedikit, harus mengulang dari awal. Akan tetapi, anggaplah ini sebuah ujian dari-Nya. Sebelum diberikan ujian lebih berat lagi.”
—Fariza Ghasmira Hafthah—

Accounting Dilemmas [TERBIT] जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें