💰PERSIAPAN💰

3 0 0
                                    

Malam ini aku meminta izin ke orang tua untuk mengikuti lomba nanti saat liburan. Rasanya seperti mau dapat sidang kasus yang benar-benar berat dan aku sebagai tersangkanya. Aku sekarang menuju ke ruang televisi, di sana kedua orang tuaku tengah berkumpul untuk menonton acara televisi.

Aku pun bergabung dengan mereka yang tengah asyik menonton. Aku amati keadaan sekitar, suasananya cukup mendukung untuk bilang kepada orang tua perihal izin. Aku beranikan diri untuk berkata kepada mereka.

“Bu, Yah. Aku mau ngomong,” ucapku dengan nada sedikit gugup.

Ibu dan Ayah menoleh ke arahku. “Ada apa, Za?” sahut mereka.

Aku menundukkan kepala dan menarik napas panjang lalu membuangnya. “Nanti, sebelum liburan tahun baru. Aku ada lomba di tapak perkemahan kota. Sekitar tanggal 27 sampai 30 Desember.  Kira-kira Ibu dan Ayah memberikan izin atau tidak?” tanyaku dengan nada rendah.

Lalu, pandanganku ke arah Ibu yang menampilkan raut wajah tidak setuju. Sedangkan Ayah dengan santai menjawab, "Terserah kamu aja.”

Kemudian Ibu menjawab, "Kalau asmamu kambuh bagaimana? Ada yang merawat enggak? Yakin kuat enggak? Kalau kuat, silakan aja ikut. Kalau sakit tanggung sendiri, ya. Jangan merengek-rengek atau lainnya.”

Nada yang diucapkan oleh Ibu membuatku agak ragu. Akan tetapi, aku sudah bertekad untuk ikut lomba. Kapan lagi bisa ikut lomba mewakili sekolah? Aku pernah menolak permintaan guru sewaktu SD yang menawarkan perlombaan matematika. Sekarang aku tidak mau penyesalan datang untuk kedua kali.

“Ya, Bu. Ya, Yah. Terima kasih.” Aku bergegas kembali ke kamar.

¬¬¬¬Accounting Dilemmas¬¬¬¬

Pagi ini aku sudah berada di sekolah dengan suasana yang masih sepi. Ini adalah hari ketiga kalau tidak salah, aku berangkat dengan suasana sepi seperti ini. Aku pun segera bergegas ke kelas untuk menaruh tasku.

Setibanya di kelas ternyata ada Aidan di sana. Tumben sekali dia sudah datang lebih awal dari hari biasanya. Dia yang melihatku sudah datang, segera dia menghampiriku di bangku.

“Pagi, Zaza Manis,” sapanya kepadaku.

Aku tersenyum ke arahnya dan membalas, "Pagi juga, Dan.”

Setelah membalas sapaannya, aku terdiam dan merenung di bangkuku. Aidan yang melihatku seperti tidak ada semangat, dia langsung bertanya, “Kamu kenapa, Za? Ada masalah?”

Aku menggelengkan kepala, menandakan baik-baik saja. “Pernah merasa ingin menyerah dengan keadaan enggak, Dan?” ujarku tiba-tiba yang membuatnya langsung melihatku serius.

“Sering sekali, Za. Kamu pasti lagi ada masalah, kan? Cerita sama aku aja, Za.” Dia sambil mencari posisi yang tepat.

“Orang tuaku sering bertengkar, Dan. Meskipun itu hal kecil tapi selalu saja dibesarkan. Ditambah tugas sekolah juga selalu berdatangan, masih ada lagi sama kegiatan organisasi. Rasanya begitu melelahkan, Dan. Kalau aku udah kelelahan pasti penyakitku kambuh. Aku ingin nyerah tapi enggak bisa. Ada tanggung jawab yang harus diselesaikan. Ada mimpi-mimpi yang harus diwujudkan. Aku harus bagaimana?” keluhku kepadanya yang hanya dibalas senyuman.

“Akhirnya kamu cerita juga, Za. Aku sudah tahu sejak awal kalau kamu ada masalah. Tapi, aku memilih diam dan tidak bertanya padamu. Aku menunggu waktu yang tepat agar kamu bercerita. Kamu harus bersyukur, Za. Masih diberikan kedua orang tua yang utuh meskipun sering bertengkar. Kenyataannya masih bersama, kan? Berbeda denganku yang hanya tinggal Ibu saja yang aku punya. Beliaulah yang sekarang menjadi sumber kebahagiaanku. Jangan menyerah dan patah semangat, Za. Aku yakin kamu gadis yang kuat. Ada aku di sini yang bisa membantumu selalu, Za. Datanglah kepadaku kalau kamu butuh bantuan. Sekarang kamu fokus sama ujian kenaikan kelas dan lomba dulu, ya. Jangan pikirkan yang lain dulu,” Aidan yang langsung berpindah ke tempatnya semula karena kelas sudah ramai.

Seketika aku terdiam dan merenungkan ucapan Aidan. Benar apa yang dikatakan oleh Aidan, aku tidak bisa untuk terus memikirkan semua. Aku harus bisa fokus sama perlombaan dan ujian kenaikan kelas, batinku untuk menguatkan diri sendiri.

Tidak lama kemudian, ibu guru datang lalu memberi kami tugas. Dengan batas pengumpulan minggu depan harus sudah selesai. Aku pun mulai menyicil tugas yang baru saja diberikan.

Akan tetapi, tiba-tiba aku mendengar percakapan teman kelasku, terutama segerombolannya Ina. Inti dari pembicaraan mereka adalah tentang kedekatanku dengan Aidan, dan juga keakrabanku dengan Elina beserta Nuriah. Awalnya aku cuek mendengar omongan Ina.

Namun, semakin didengarkan bukan jadi baik, justru makin buruk dan keterlaluan. Ditambah saat Elina dan Nuriah berjalan di depan mereka. Dengan keras mereka mengatakan kalau Elina dan Nuriah tidak pantas bersekolah di sini.

Aku yang semula diam, kini memberanikan diri untuk mendekat ke arah Ina dan teman-temannya. Mereka beneran keterlaluan kali ini. Aku menatap ke arah Ina dan yang lain, mereka menatapku balik dengan tatapan tidak suka.

“Kenapa kalian suka banget nyinyirin orang, sih? Ada masalah apa kalian dengan kami?” ujarku dengan tegas.

Ina menatapku dengan tatapan sangat tidak suka, lalu membalas, "Terserah kami, dong. Mulutnya siapa? Kenapa kamu yang repot?”

“Aku enggak akan kayak gini kalau kalian enggak buat masalah. Tapi kenyataannya justru semakin memburuk. Kalau kalian aku perlakuan begitu. Apa kalian mau?” tegasku, lalu pergi meninggalkan mereka.

Akan tetapi, tiba-tiba ada yang menghampiriku dan tangannya dilambaikan ke wajahku. “Kamu kenapa, Za?” ujar Atma yang menyadarkanku dari lamunan.

Ternyata dari tadi aku melamun. Jadi, kejadian tadi juga hanyalah ilusi saja? Batinku yang masih tidak menyangka tentang semuanya. “Tidak ada apa-apa, Ma.” Aku dengan senyuman di wajah lalu pergi ke arah kamar mandi.

“Za,” panggil Aidan yang melihatku di kamar mandi.

Aku menoleh ke arahnya, "Ada apa, Dan? Aku mau ke kamar mandi.”  Dia tersenyum, lalu menganggukkan kepala dan mempersilakan aku pergi ke kamar mandi.

Habis dari kamar mandi, ternyata Aidan masih menungguku. Aku pun terkejut dengan Aidan yang tiba-tiba muncul di hadapanku. “Kamu kenapa, Dan?” tanyaku yang terkejut dengan kedatangannya.

“Aku temani ke kelas, yuk. Aku tahu kalau kamu tadi melamun karena mendengar ucapan Ina dan teman-temannya. Kamu pasti memikirkan tentang percakapan mereka, kan? Jangan pikirkan ucapan mereka, Za. Percakapan mereka itu enggak akan memengaruhi masa depanmu. Hal yang bisa memengaruhi masa depanmu adalah dirimu sendiri. Jadi, kamu harus kuatkan hati, ya. Terima dulu ujian dari-Nya. Yakin kalau nanti ada akhir yang membahagiakan dan memuaskan. Semangat terus ya, Za.”

Aku tersenyum dan merasa tenang atas ucapan Aidan, lalu aku ajaklah Aidan untuk jalan bersama ke kelas. Sampai di depan kelas, aku meminta Aidan untuk meninggalkanku terlebih dahulu. Aku tidak ingin jadi bahan omongan lagi. Setelah beberapa menit kemudian, barulah aku masuk ke kelas dan duduk di bangkuku.

“Jangan pernah pedulikan omongan orang lain yang tidak membuatmu berubah menjadi lebih baik. Kalau kamu mendengarkannya, kamu bukannya jadi lebih baik, justru makin buruk.”
—Fariza Ghasmira Hafthah—

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 14, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Accounting Dilemmas [TERBIT] Where stories live. Discover now