Bagian 3

11 3 0
                                    

REGINA

Pagi ini, aku berangkat lebih awal. Ini kulakukan untuk menghindari Kak Gavin yang ingin menjemput dan mengantarkanku ke kampus. Mengenai buku semalam, aku menyudahi pesan dengan Kak Ansel dan beralih ke Kak Gavin, kulakukan karena terpaksa, benar-benar terpaksa. Aku tidak punya pilihan lain. Dan aku tidak minta maaf soal tamparan itu, bahkan tidak kusinggung sama sekali.

Begitu sampai di kampus, aku tidak langsung masuk ke dalam ruang kuliah. Aku memutuskan untuk menunggu di parkiran fakultas agar tidak perlu bolak-balik.

Aku antar sebelum kamu masuk kelas.

Begitu pesan terakhir yang dikirim oleh Kak Gavin.

Aku menunggu sekitar 15 menit dengan sesekali melirik jam di ponsel. Lama, ya?

Aku tidak tau Kak Gavin akan datang dengan ojek, motor, atau mobil. Kalaupun salah satu kendaraan miliknya terparkir di sana, aku tidak hapal juga. Omong-omong tentang mobil, di sana sudah terparkir mobil Kak Ansel. Kenapa aku baru menyadarinya? Sudah ada di sana sebelum aku datang sepertinya.

Seingatku semalam Kak Gavin menghampiriku dengan mengendarai mobil Kak Ansel. Aku tidak salah dengar kalau kemarin sore Kak Gavin bilang mobilnya masih di bengkel sehingga butuh tumpangan saat pulang.

Kakiku perlahan berjalan meninggalkan parkiran menuju sekret. Bisa saja mobil Kak Ansel masih dibawa oleh Kak Gavin pagi ini, menurutku. Dan menemui di sekret adalah pikiran yang terlintas di kepalaku.

Aku mengetuk pintu sekret sebelum masuk. Kalau saja sepatu di luar hanya satu, yang bisa kupastikan itu milik Kak Gavin, aku tidak akan melakukan ini. Sayangnya, ada sepatu perempuan juga di sana. Ada beberapa bahkan.

Aku menyapa orang-orang di sana sebelum akhirnya menghampiri Kak Gavin yang tengah berbincang dengan Kak Sania, sekretaris Sosmas. Aku berdiri di belakang Kak Sania, memberi jarak, tidak ingin mengganggu pembicaraan mereka. Yang penting Kak Gavin sudah melihat kehadiranku di sini.

"Gak percaya gue," ujar Kak Sania. "Lo ada kelas aja datang telat, ini gak ada kelas sok-sokan jadi yang pertama di sekret,"

Kak Gavin tersenyum dengan menunjukkan deretan giginya yang rapi, lalu tertawa. "Semalas itu gue?"

"Lo malas juga masih tetap pintar, apalagi rajin. Jangan deh," ujar Kak Sania dengan tawa.

"San, mau sarapan dulu gak? Masih ada waktu ini," panggilan itu membuat Kak Sania menoleh dan melambaikan tangannya.

"Boleh," Kak Sania beranjak dan melakukan tos dengan Kak Gavin sebelum berlalu. Mereka kelihatan dekat sekali.

"Gak ikut, Vin?" tanya Kak Sania sebelum menutup pintu. Menyisakan kami berdua di sana.

"Hai, Re?" sapaan yang memuakkan bagiku. "Aku tadi kirim pesan ke kamu, tapi kamu centang satu. Aku gak tau kamu kuliah pagi ini di ruangan mana, makanya aku nunggu di sini," jelasnya.

Aku mengangguk. "Oh, iya," kelihatannya dia baik-baik aja, masih banyak bicara. Tamparanku semalam gak ada pengaruh untuknya.

Terdengar tawa kecil khas Kak Gavin, "Iya aja?"

Lalu?

"Ini," aku menyodorkan paper bag semalam. Lengkap dengan buku dan cokelat di dalamnya.

"Kalo aku bilang pegang aja dulu, kamu bisa pakai nanti. Kamu tetap akan bersikeras untuk ngembaliin ke aku 'kan?" ujar Kak Gavin tanpa bermaksud menyudutkanku. Masih dengan senyuman yang seolah-olah memang merekat di sana selama 24/7. Dan aku membenci itu.

"Cokelatnya ambil aja, gak apa-apa," tawar Kak Gavin.

"Enggak. Gak suka cokelat,"

Kak Gavin tertawa kecil. "Gak suka cokelat atau gak suka karena aku yang kasih?"

COMETHRU | Jungwoo & TzuyuWhere stories live. Discover now